Euforia perhelatan Olimpiade Paris 2024 turut dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Dukungan terus mengalir pada atlet yang berjuang mengharumkan nama Indonesia di ajang internasional. Berlaga di Olimpiade adalah pada kesempatan yang sangat berharga bagi para atlet. Dalam catatan sejarah, Indonesia pernah gagal berlaga di Olimpade. Kegagalan itu terjadi pada ajang Olimpiade London tahun 1948. Sebagai negara yang telah merdeka pada 17 Agustus 1945, Indonesia ingin menunjukan eksistensinya di bidang olahraga ke dunia Internasional dengan mengikuti ajang olimpiade. Komite Olimpiade Republik Indonesia (KORI) pada saat itu berusaha mendaftarkan Indonesia pada Olimpiade tersebut. Namun, usaha itu gagal untuk diwujudkan.
Kegagalan untuk mengikuti olimpiade itu membuat Indonesia tergerak untuk menyelenggarakan acara serupa dalam skala nasional dengan nama Pekan Olahraga Nasional (PON). PON untuk pertama kalinya diselenggarakan di Solo pada tanggal 9-12 September 1948.
Keinginan Untuk Berlaga di Ajang Internasional
Sebagai negara yang baru merdeka, Indonesia membutuhkan organisasi terstruktur guna mempercepat pembinaan kegiatan olahraga. Untuk tujuan itu kemudian diselenggrakanlah Kongres Olahraga pada 18-20 Januari 1947. Bertempat di balai pertemuan Habipraya Surakarta, berkumpullah para pemimpin olahraga dari seluruh daerah di Indonesia. Kongres ini membahas langkah-langkah yang akan dilakukan untuk mengembangkan kegiatan olahraga di Indonesia. Kongres yang dipimpin oleh Dr. Abdulrachman Saleh, seorang tokoh pergerakan olahraga.
Dari Kongres Olahraga ini kemudian menghasilkan keputusan untuk membentuk PORI (Persatuan Olahraga Republik Indonesia), badan yang akan mengatur dan memusatkan segala urusan olahraga di seluruh Indonesia. Disamping membentuk PORI, pada saat yang sama juga dibentuklah KORI (Komite Olimpiade Republik Indonesia) guna mewujudkan keinginan Indonesia untuk turut serta dalam Olimpiade XIV di London 1948.
Semenjak PORI dan KORI terbentuk, kedua badan ini secara intensif melakukan kontak dengan badan-badan olahraga internasional, seperti FIFA dan IOC (International Olympic Comitte). Hal itu dilakukan dengan harapan agar Indonesia dapat mengikuti Olimpiade XIV di London. Namun, harapan itu harus pupus karena kedaulatan Indonesia belum diakui oleh dunia internasional. Alasan lain adalah Indonesia saat itu belum terdaftar sebagai anggota resmi IOC. Sebenarnya bisa saja kontingen Indonesia bisa saja turun dalam ajang olimpiade, namun dengan syarat harus bergabung dengan kontingen berbendera Belanda.
Gagasan Pekan Olahraga Nasional
Dengan berbekal kekecewaan atas gagalnya Indonesia berpartisipasi pada Olimpiade London 1948, muncullah gagasan dari PORI untuk menghidupkan kembali Pekan Olahraga yang pernah diselenggarakan di Solo pada 1938, yang bernama ISI (Ikatan Sports Indonesia). ISI ini terbentuk dari ide Soeratin Sosrosoegondo yang melihat bagaimana Jerman bisa keluar dari pengucilan dunia melalui pembinaan olahraga. ISI ini diselenggarakan pada 15-22 Oktober 1938 dengan mempertandingkan tenis, bulutangkis, panahan, balap sepeda, atletik, renang, bola keranjang, catur, billiar, dan sepak bola.
Namun Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang saat itu menjabat sebagai ketua KORI, berpesan bahwa Pekan Olahraga yang akan dihidupkan kembali itu harus didasari tujuan yang lebih luas, yaitu seluruh potensi dalam masyarakat dapat dikerahkan. Dengan demikian terbentuklah sebuah kompetisi olahraga tingkat nasional yang pertama di Indonesia dengan nama Pekan Olahraga Nasional atau yang kemudian disebut PON. Sri Sultan Hamengkubuwono IX ditunjuk sebagai ketua penyelenggara didampingi oleh Pangeran Surjo Hamidjojo sebagai ketua pelaksana. PON pertama ini akan diselenggarakan di Solo pada 9-12 September 1948 dengan cabang olahrga yang akan dipertandingkan adalah tennis, basketball, panahan, bola keranjang, atletik, renang, pencak silat dan sepakbola.
Untuk menyelenggarakan PON, maka Pengurus Besar PORI mengirimkan delegasi ke pemerintah pusat yang berkedudukan di Yogyakarta, dengan maksud meminta izin serta bantuan dari pemerintah. Delegasi diterima oleh Menteri Pembangunan dan Pemuda, yaitu Supeno. Berdasarkan informasi dalam buku Sejarah Olahraga Indonesia yang diterbitkan oleh Kantor Menteri Pemuda dan Olahraga tahun 1991, Penyelenggaraan PON pertama ini memakan biaya kurang lebih Rp 150.000 yang ditanggung oleh pemerintah melalui Kementrian Pembangunan dan Pemuda.
Â