[caption id="attachment_368447" align="aligncenter" width="640" caption="Sang Penjaga Situs Buni, Kong Sakiyudin"][/caption]
Hari ini, Rabu (22/10), tepat pukul 14.00 WIB kami mendapatkan kabar duka, yaitu berpulangnya salah seorang pria tua yang menjaga artefak dan fosil berusia ratusan tahun. Ya, beliau adalah Sakiyudin. Usianya terhenti di 61 akibat penyakit demam berdarah dan juga TB paru. Itu yang dikatakan Kepala Ruangan Tulip RSUD Kabupaten Bekasi, saat kami temui setengah jam setelah mendapat kabar kepergiannya. Sayangnya kami agak terlambat dan tidak dapat melihat jenazahnya untuk terakhir kalinya. Almarhum telah dibawa mobil jenazah ke rumah duka di Kampung Buni Pasar Emas, Desa Muara Bakti, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi.
Mungkin sebagian besar bertanya siapa beliau. Orang Bekasi belum tentu tahu siapa beliau. Justru beberapa orang luar Bekasi tahu siapa beliau. Terutama para mahasiswa dan arkeolog yang pernah mengunjungi Situs Buni. Ya, beliau adalah seorang penjaga atau biasa juga disebut kuncen Situs Buni, sebuah situs dimana terdapat banyak fosil dan artefak yang usianya berabad-abad.
[caption id="attachment_368448" align="aligncenter" width="640" caption="Kong Saki tengah memperlihatkan pecahan gerabah yang dikumpulkannya pada salah satu ember"]
Beliau adalah satu-satunya orang yang peduli dan rajin untuk mengumpulkan artefak, lalu menyimpannya. Pertemuan pertama kami pada hari Minggu, 5 Januari 2014. Saat itu saya hendak memulai untuk menjelajahi Bekasi. Awalnya saya bertujuan untuk pergi ke Saung Rangon di Desa Cikedokan, Cikarang Barat. Namun, entah. Saat saya tidak sengaja googling dan menemukan kata Situs Buni Babelan, saya langsung tertarik untuk pergi kesana. Tuhan mengizinkan, kami pun bertemu. Berbincang. Lalu beliau mengajak saya mengelilingi areal kebun keluargannya.
"Disini masih banyak yang sengaja gak engkong gali, Cu," kata Kong Saki kepada saya. Beliau mengakui jika menggali semua yang ada di halamannya (luasnya sekitar 2000 meter persegi), rumahnya bakal penuh dan tidak muat menampung.
"Inilah yang engkong bisa lakukan, sebisanya aja," curhatnya kepada kami. "Habis mau lebih kita gak punya uang, pemerintah gak ngasih," lanjutnya.
Kong Saki memang berusaha semaksimalnya. Dulu di wilayah Situs Buni yang terbentang luas, banyak emas ditemukan. Puncaknya pada tahun 1970-an dimana pemburu emas dari segala penjuru ramai-ramai menggali tanah Kampung Buni Pasar Emas, Kampung Buni Wates dan Kampung Buni Pendayakan. Ironisnya emas itu bukan sekadar emas melainkan benda bernilai historis tinggi. Akhirnya benda itu berpindah tangan kepada tengkulak yang saat itu banyak di Pasar Buni. Dijual dengan harga biasa, tragis.
Terkendala biaya, Kong Saki suka sedih. Beliau mengaku pernah menemukan artefak emas, namun untuk memenuhi kebutuhan hidupnya terpaksa emas itu dijualnya. Dia sedih melakukan itu, namun apa daya.
Ada lagi cerita lain. Tetangganya pernah menemukan sebuah kalung emas berbentuk naga. Kong Saki pun ingin membeli itu untuk dimasukkan ke rumahnya dan disimpan, lagi-lagi Kong Saki terbentur biaya. Perih hatinya melihat kalung bersejarah tersebut melayang ke tangan tengkulak.
[caption id="attachment_368450" align="aligncenter" width="640" caption="Kong Saki mengajak kami untuk pergi menelusuri kebunnya. Banyak artefak dan fosil sengaja tidak diambil Kong Saki. Hal tersebut karena keterbatasan ruang di rumahnya."]
"Apa yang saya lakukan ini untuk menjaga sejarah Indonesia," jelasnya kepada kami. Dia benar-benar menungguaction Pemkab Bekasi untuk pendirian museum di area rumahnya. Selain itu Situs Buni juga terancam digusur karena sebuah proyek Pembangkit Listrik Tenaga Batu-Bara (PLTB) Muara Bakti.
Sampai akhir hayat, Kong Saki belum mendapatkan hal itu. Kami sangat sedih ketika menulis artikel ini. Menahan tangis. Kami belum sempat berfoto bersama dengannya. Saat itu kami terus menunda-nunda sampai akhirnya mendapatkan kabar duka kepergiannya. Proyek kami yang ingin lebih dalam mengupas Situs Buni pun belum sempat tercapai. Kami ingin sekali menyebarluaskan kepada khalayak jika Situs Buni adalahemergency kebudayaan dan juga mengangkat sosok Kong Saki yang ikhlas dalam menjaga benda peninggalan bersejarah. Takdir tak bisa ditolak, rencana kami hangus dibakar kehendak Tuhan Yang Maha Esa.
Perlu diketahui, Kong Saki belum memiliki anak sampai akhir hayatnya. Dia mengangkat seorang anak dan banyak memberikan kasih sayang kepada keponakannya. Kami pun dipanggil cucu olehnya. Siapa pun dianggap anaknya dan siapa pun dianggap cucunya.
Selamat jalan Kong Sakiyudin. Kami tidak akan pernah melupakanmu. Semoga amal baikmu, keikhlasanmu dan segala manfaat yang telah engkau berikan diterima kehadirat-Nya. Kami tidak akan pernah melupakan sosok sepertimu. Terima kasih untuk selama ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H