Mohon tunggu...
Andi Azhar
Andi Azhar Mohon Tunggu... Dosen -

Indonesian Scholar, Buruh Akademik. Selengkapnya di www.andiazhar.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Surat untuk Sarjana Muda

4 Juli 2014   09:17 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:32 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dear rekan-rekan sarjana, Bagaimana kabar kalian setelah menjadi seorang sarjana? Apakah masih menggelora seperti saat baru diterima menjadi mahasiswa? Semoga saja kalian lebih beruntung dari saya. Saat ini di kota-kota besar sedang mewabah "Surat Terbuka". Endeminya adalah pemilu presiden 2014. Banyak blogger-blogger yang kemudian beralih tugas menjadi penulis, penerjemah, serta pengamat surat dadakan. Ini trend baru yang belum pernah terjadi di Indonesia. Dulu orang berbalas-balas surat secara pribadi. Tapi kini suratnya justru diumbar ke khalayak. Mungkin bangsa kita sudah berubah. Rekan-rekan sarjana, Disini saya juga mau menulis surat terbuka. Isinya tidak menyangkut pilpres kok. Tapi ke-galau-an hati saya. Mungkin rekan-rekan ada yang sudah pernah-sedang-belum merasakannya. Tapi boleh kan ya saya menuliskannya di surat ini. Barangkali ada yang berkenan membalasnya. Rekan-rekan sarjana. Ketika orang sibuk mencari pekerjaan, saya beruntung mendapat beberapa tawaran. Namun saat tawaran untuk menjadi pengajar datang dari beberapa institusi, saya justru menolaknya. Bukan saya sombong dan sok dibutuhkan serta pilih-pilih, bukan, bukan itu alasannya, tapi karena geografisnya yg belum sesuai. Dan entah kenapa sekarang ada sesuatu yg berat di hati ketika acapkali membaca lowongan kerja di internet. Ada sesuatu yang mengganjal. Kejadian ini sama persis dialami ketika S1 dulu. Bedanya dulu itu berlangsung sebelum menerima ijazah dan sebentar. Pasca wisuda, dulu langsung diterima menjadi seorang pengajar di sebuah gerakan populis yang mengirimkan sarjana muda ke pelosok negeri. Sebuh pengabdian yg sangat diidam-idamkan para sarjana muda saat itu. Ah, ternyata waktu sangat cepat berlalu ya. Kini dengan ijazah yg berbeda, aku malah bingung mau kemana.

Galau? Terserah orang mau ngomong apa. Tapi inilah yg terjadi. Setiap jam 12 malam ada yg menyeruak hebat di dada. Entah apakah itu penyakit fisik atau batin, dada rasanya sesak sekali untuk bernapas. Ada degup kencang tak tertahan, irama jantung selalu tak sejalan, seakan berlomba untuk menunjukkan degupan si saraf A lebih dulu bertalu dibanding degupan si saraf B. Degupan makin tak beraturan ketika membayangkan sebuah pekerjaan. Ada distorsi bayangan aneh tiap kali menerawang rangkaian kalimat di layar kaca. Apa ini yang dinamakan sindrome menerima ijazah? Aku bingung mau dibawa kemana ijazah ini? Apakah kalian mengalami hal yang sama? Sadar atau tidak kini status saya adalah pengangguran. Kata yang tidak mengenakkan dalam kacamata masyarakat. Seolah menjadi sampah, pengangguran akan dilihat sebagai masyarakat kelas 3. Dulu saat menjadi mahasiswa, kita selalu meneriakkan yel-yel "Hidup Mahasiswa". Atau sebuah jingle nan apik "Saatnya Kewirausahaan Menjadi Paradigma Para Sarjana". Dulu kita melihatnya sebagai sebuah pembakar motivasi bukan? Tapi pernah tidak kalian membayangkan bahwa ternyata setelah lulus kuliah, kalian susah mendapatkan pekerjaan karena jurusan yang kalian ambil tidak populer atau memang [sedang] tidak ada lowongan kerja untuk lulusan dari jurusan kalian? Boro-boro mau bikin sebuah usaha, untuk mendapatkan pinjaman modal saja susahnya minta ampun. Harus punya agunanlah, punya penghasilan tetaplah, dan seabreg persyaratan gila lainnya. Rekan-rekan sarjana Itu mungkin kegalauan spesifik yang tidak terjadi pada setiap sarjana. Hingga saat ini, yang saya belum habis pikir, kenapa perusahaan-perusahaan mensyaratkan pengalaman minimal bekerja. Bagaimana kita mau dapat kerja kalau semua perusahaan mensyaratkan harus sudah pernah bekerja sekian tahun menjadi ini. Belum lagi ada perusahaan yang mensyaratkan bahwa kita harus memiliki sertifikat kemampuan khusus. Bagaimana kita mau mendapatkan sertifikat itu ketika untuk mendapatkannya juga harus bekerja dibidang/pekerjaan itu. Ah, dunia kerja ternyata tak seindah yang dibayangkan ya. Susah ternyata untuk sekedar menyambung kehidupan setelah kampus. Lebih enak jadi mahasiswa ya sepertinya. Agaknya logika seperti ini yang kemudian dipakai sebagai alibi oleh rekan-rekan kita yang belum lulus-lulus juga dari kampus [mungkin]. Tapi apapun itu, jujur diakui bahwa dunia mahasiswa jauh lebih utopis dan mengesankan dibanding dunia kerja. Menjadi mahasiswa, kita dilatih untuk berpikir idealis, berdebat, beradu argumen, belajar mengendalikan pikiran sehingga bisa menatanya menjadi sebuah ide dan gagasan baru. Tapi setidakmenyenangkannya menjadi sarjana, saya masih sangat bersyukur karena dapat mengenyam pendidikan tinggi. Banyak orang berandai-andai berada di posisi kita. Namun kenapa sekarang kita justru berandai kembali menjadi seperti mereka? Bukankah Tuhan selalu mengirimkan kita pada sebuah tahapan untuk misi rahasia guna merangkai hidup kita menjadi seorang manusia seutuhnya? Semoga rekan-rekan semua tidak mengalami apa yang saya rasakan. Manfaatkan waktu untuk terus belajar mengeksplorasi diri dan mengelaborasi diri menjadi pribadi yang matang di berbagai bidang. Salam hormat, Dari Sarjana [yang tidak lagi] Muda dR. *Sumber Gambar : ini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun