Warna adalah sebuah spektrum dalam cahaya yang sering kita jumpai di kehidupan. Disaat kita membuka mata, disitulah kita bisa melihat warna.Â
Kita biasa mengenal warna dengan sebutan merah, biru, jingga, tergantung bagaimana jenisnya yang tentunya merupakan suatu hal abstrak diluar kemampuan manusia untuk mendeskripsikan perbedaannya secara detail dan mutlak. Namun apa kaitan warna dengan hakikat kehidupan yang didapat dari filsafat? Apakah filsafat memiliki 'warna' tersendiri dalam setiap perspektif pemikirannya?
Artikel ini ditulis didasari oleh buku keluaran terbaru karya Derek H. Brown dan Fiona Macpherson bertajuk Introduction to The Philosophy of Colour yang diterbitkan oleh Routledge Book Publisher pada tahun 2020 yang membuatnya masih diproduksi pada cetakan pertama.
Buku yang memiliki tebal halaman sebanyak 516 halaman ini berhasil menarik minat dan membuka mata kita bahwa filsafat bisa kita jumpai dari hal nyata yang benar-benar kita pahami dan rasakan sampai pembahasan abstrak seperti warna dan tidak hanya melulu tentang teori kehidupan yang itu-itu saja.Â
Studi tentang warna telah mengajari kita tentang banyak fenomena mengejutkan, termasuk berbagai jenis ilusi dan halusinasi. Di dalam bukunya, Brown dan Macpherson menyebutkan bahwa warna dalam filsafat merupakan asosiasi khusus antara persepsi, kognisi, dan bahasa.Â
Ini mencontohkan hubungan yang kaya antara penelitian empiris dan filosofis. Salah satu aspek pengaplikasian warna dari studi empiris yang krusial adalah, warna menjadi contoh nyata atas kesenjangan yang tampak di dunia dengan biru, hijau, merah, bahkan hitam dan putihnya.Â
Kegunaan warna dalam filsafat juga karena warna menjadi contoh abadi dari variasi persepsi. Jika kita mengalami sesuatu yang bervariasi dalam penglihatan warna, dan dunia objektif yang konon kita huni tidak begitu bervariasi, maka bisa dikatakan bahwa dunia yang tampak bagi kita berbeda dari dunia yang terpisah dari kita.
Pentingnya warna dalam filsafat
Dunia kita, secara simpel, adalah duplikat fisik dari dirinya sendiri: ia persis seperti dirinya sendiri dalam segala hal, dan demikian pula dalam setiap aspek fisik.Â
Seringkali, warna digunakan dalam diskusi kritis tentang fisikalisme, yang salah satunya membahas tentang pengalaman melihat warna. Kita memiliki pengalaman dalam melihat warna setiap kali sesuatu terlihat seperti warna atau warna lain didasari dengan perspektif yang subjektif yang mungkin dapat merepotkan jika ditinjau melalui fisikalisme.Â