Mohon tunggu...
andhita jasmine
andhita jasmine Mohon Tunggu... Lainnya - A student

for educational purposes.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Implementasi "The Ascetic Ideal" pada Aspek Kehidupan Manusia

17 Februari 2022   15:16 Diperbarui: 17 Februari 2022   15:26 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada kehidupan saat ini, kita sebagai manusia dituntut untuk dapat mempertahankan budaya diimbangi dengan moralitas dan agama yang sepadan. Manifestasi tersebut disebut oleh Friedrich Nietzsche, filsuf asal Jerman yang juga sebagai kritikus kultur, sebagai The Ascetic Ideal sebagai sistem nilai yang berlabelkan budak moralitas yang kemudian berkembang, bercabang, dan menyebar ke budaya barat kristiani yang lebih luas. 

Stephen Mulhall dalam bukunya berjudul The Ascetic Ideal Genealogies of Life-Denial in Religion, Morality, Art, Science, and Philosophy terbitan Oxford University Press 2021, yang bertebalkan halaman sebanyak 312 halaman menjadikan filosofi milik Nietzsche dalam Genealogy sebagai dasar tulisan yang menyajikan kajian kekristenan terutama sebagai bentuk kehidupan, dimana seperangkat nilai tertentu mengarahkan segala sesuatu yang orang percaya pikirkan, katakan, dan lakukan; tidak peduli tentang benar atau salah. 

Dengan memperhatikan etimologi kunci yang mengacu pada filosofi yang digunakan, Mulhall dengan demikian menafsirkan kembali advokasi moralitas budak tentang tidak mementingkan diri sendiri sebagai kepentingan diri sendiri dan juga menghapus kemunafikan dalam diri manusia. 

Kewenangan dan Ilham

Dalam bukunya, Stephen Mulhall memisahkan beberapa pokok bahasan dalam esai-esai terkait dan sejalan dengan pokok pikirannya dan juga filosofi yang mendasari. Pembahasan tentang otoritas dan dramatisasi pengalaman hidup yang juga disebut dengan ilham atau wahyu, dibaginya menjadi tiga bagian yaitu melalui sudut pandang agama, etika, dan seni. 

Dalam sudut pandang agama, menurutnya konsep otoritas dan wahyu saling terkait secara internal, karena siapapun yang menampilkan dirinya sebagai penerima wahyu ilahi dengan demikian menampilkan dirinya sebagai otoritas ilahi untuk mengkomunikasikannya kepada orang lain. 

Pada konteks kekristenan, pandangan ini dikaitkan dengan bagaimana bisa manusia secara koheren mengklaim otoritas untuk menetapkan batasan dan pemahaman tentang realitas, sedangkan tidak dapat dipungkiri bahwa ajaran Kristen menerapkan doktrin dan paradoks konstitutif yang kuat sehingga menyinggung kapasitas rasional manusia. 

Mulhall berpendapat terkait dengan isu tersebut, menurutnya setiap umat nasrani yang dilengkapi dengan pemahaman yang meyakinkan tentang konsep agamanya tentang wahyu akan mengetahui bahwa jika mereka mengalami pengalaman yang menghadirkan dirinya kepada mereka seperti itu, mereka harus menerimanya sebagai sesuatu yang berasal dari ilahi atau memutuskan bahwa itu tidak ditulis secara ilahi.

Di sisi etika, Mulhall membahas tentang bagaimana pentingnya etika dalam kehidupan dan perannya dalam menjembatani kewenangan dan ilham. Menurutnya, bagaimana kita melihat orang lain adalah hasil atau aspek dari konsep kita tentang manusia; dan konsep itu bukan hanya biologis tetapi lebih merupakan kristalisasi dari semua yang telah kita buat dari sifat spesies kita yang khas. 

Melihat orang lain sebagai manusia berarti melihatnya sebagai sesama makhluk---makhluk lain yang perwujudannya melekatkan dirinya dalam bentuk khas kehidupan bersama dengan bahasa dan budaya. 

Dalam bukunya dibeberkan tentang cara-cara manusia dalam mencontohkan tekstur moral individu yang kaya dari kehidupan manusia dalam memberikan kesaksian akan kehadirannya yang nyata dan relevansinya, seperti ketanggapan individu dalam kata dan perbuatan terhadap realitas orang lain dan dunia, kapasitas berbicara untuk diri sendiri sedemikian rupa untuk mengklaim otoritas dengan menampilkannya, dan juga kemampuan individu untuk mengungkapkan kebenaran.

Dalam urusan seni, Mulhall merasa urusan religius kerap kali dikaitkan dengan pemaknaan seni masa kini. Orang mungkin mengatakan bahwa itu membuka hubungan internal antara apa yang kita pahami tentang agama dan apa yang kita pahami tentang seni, karena jika konteks artistik baru mengundang dan memungkinkan proyeksi konsep-konsep agama yang semula, maka ia mengungkapkan jangkauan atau dimensi signifikansi lebih lanjut dari konsep-konsep asli tersebut. 

Dari perdebatan dialektika seni inilah, banyak seniman utamanya pada era modernisme mempertanyakan tentang kewenangan dan ilham yang mereka miliki terkait dengan pijakan-pijakan seni yang telah ada sebelumnya. Hal ini berdampak pada terungkapnya kenyataan atau kekurangannya dalam setiap karya individu yang mereka hasilkan.

Autobiografi, Biografi, dan Filsafat

Bagi masyarakat barat, autobiografi lebih penting bagi minat dan perkembangan filsafat daripada biografi. Bahkan dapat dikatakan seseorang dapat menulis sejarah filsafat Eropa Barat hanya dengan berkonsentrasi pada contoh-contoh autobiografi filosofis melalui tulisan Confessions milik Augustine, Meditations milik Descartes, dan Ecce Homo karya Nietzsche.

 Jika autobiografi filosofis sama pentingnya dengan sejarah dan perkembangan genre literatur tersebut, itu mungkin terjadi karena dorongan untuk membahas masalah filosofis tertentu terletak di jantung penulisan autobiografi.

Dari ilustrasi di atas, sepertinya apa yang kita sebut dengan filsafat tampaknya mampu menaruh minat, bahkan dengan anggapan untuk memutuskan setiap aspek kehidupan manusia, tidak mengherankan jika para filsuf harus menganggap autobiografi mampu menghasilkan pertanyaan filosofis seperti halnya karya lain yang mampu mendukung apa yang disebut sebagai 'filsafat autobiografi'. 

Filsafat autobiografi memungkinkan orang untuk berharap menemukan penyelidikan kritis terhadap asumsi dan konsep yang diandaikan oleh latihan autobiografi tertentu. 

Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa cara penulisan kehidupan biografi dan autobiografi adalah kemungkinan-kemungkinan yang terkait secara internal; dan bahwa sejarah filsafat dengan keteladanannya yang berulang-ulang beralih ke bentuk autobiografi dengan cara penyampaian yang menyiratkan hubungan internal antara filsafat dan autobiografi. Lantas, mengapa konsep dan asumsi yang berhubungan dengan filsafat ini menjadi perhatian khusus bahkan obsesi bagi para filsuf?

Mulhall menyatakan bahwa filsafat memiliki semacam perlakuan istimewa dibanding bidang materi lain. Filsafat tidak memiliki materi pelajaran yang khas; jenis pertanyaannya yang khas pada dasarnya parasit terhadap keberadaan disiplin dan bidang kehidupan manusia lainnya, mereka dapat muncul sehubungan dengan salah satu fenomena itu, dan tidak ada kumpulan pengetahuan, teknik, atau metode filosofis khusus yang harus dikuasai oleh siapa saja yang ingin mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. 

Jika kita memproyeksikan jawaban Mulhall pada realitas kehidupan saat ini, saya rasa saya setuju dengan apa yang dituliskan Mulhall dalam bukunya, dimana filsafat memang akan selalu menyertai ilmu disiplin lain dalam setiap praktiknya.

Genealogi dan Kebenaran, Skeptisisme dan Modernisme

Pada bab ini, Mulhall mengaitkan advokasi moralitas budak yang ingin mengungkap kebenaran dan menghapuskan kemunafikan dalam diri manusia yang berakar pada kemunafikan, sadomasokistik, dan penyangkalan kehidupan menggunakan pendekatan silsilah autobiografi yang dicetuskan oleh Nietzsche. 

Analisis genealogi yang digunakan Nietzsche untuk memaksakan pertanyaan-pertanyaan ini kepada kita sendiri berimplikasi pada fenomena yang dianalisisnya, karena karyanya adalah perkembangan dari keinginannya untuk memperoleh  kebenaran. Lebih khusus lagi manifestasi dari titik di mana ia merencanakan batasnya sendiri, dan dengan demikian membantu membuka kemungkinan mengkonfigurasi ulang atau sebaliknya melampaui mereka.

Penyimpangan ini jelas berhubungan dengan perubahan refleksif yang diambil dalam realisme seni dengan munculnya modernisme, yang menurut Mulhall paling baik dipahami bukan sebagai menangguhkan atau mematahkan dorongan pencarian kebenaran dari realisme, tetapi dengan mengikutinya sebagai pemenuhan dengan mengubahnya sendiri. 

Lagi pula, jika kehendak akan kebenaran benar-benar harus dipahami secara genealogis, maka pada titik tertentu berbagai unsur atau lapisan maknanya akan membuka kemungkinan untuk terjadi pengaturan ulang konstitusi internalnya, dan dengan demikian mengubah cara saat ini dalam menginformasikan dan merusak bentuk kehidupan manusia. 

Seseorang mungkin akan menghindari nasib yang merusak diri sendiri dengan hanya menyangkal kebenaran, dan sebaliknya menemukan cara-cara non-asketik untuk menjaga keyakinan dengannya, yang berarti mereformasi keyakinan itu dengan cara berbeda yang berpotensi mengejutkan. 

Cara mengatasi ini tentu saja akan dipengaruhi oleh cara modernisme dalam pengertian apa yang secara umum ingin dicapai oleh seni di era modernis; dan pengertian itu sendiri dibentuk oleh pengertian mereka tentang apa yang modernisme coba hindari, dan dengan demikian didefinisikan sebagai pertentangan yang sangat intim.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun