Akhir-akhir ini banyak kabar beredar tentang startup yang pada layoff. Tahun ini, ada tiga startup yang melakukan PHK yakni Zenius, Tanihub, dan LinkAja.Â
Zenius dikabarkan PHK 200an karyawan, LinkAja melakukan PHK untuk reorganisasi SDM, dan TaniHub menghentikan operasional dua warehouse di Bandung dan Bali, dan melakukan PHK karyawan.
Penyebab adanya PHK besar ini, menurut para founder startup karena terjadi pergeseran di pasar dan diperlukan pivot yang serius dalam bisnis.Â
Dilansir dari CNBC, Pergeseran tersebut telah terjadi selama berbulan-bulan. Hal ini berdampak pada perusahaan teknologi publik dan kemudian perlahan-lahan berpengaruh kepada perusahaan yang sudah mencapai ronde pendanaan lanjutan, lalu berlanjut ke startup yang masih ada di tahap pendanaan awal.
Perubahan perilaku konsumen
Satu dekade ini konsumen cukup diuntungkan dengan banyaknya brand/produk lokal baru yang bermunculan. Coffee shop lokal semakin banyak, pilihan transportasi semakin beragam dan terjangkau. Selain itu, orang-orang yang mau berjualan produknya sendiri juga dimudahkan dengan banyaknya e-commerce atau marketplace.
Dengan adanya fenomena ini, perilaku konsumen pun banyak yang berubah. Saat ini konsumen sudah tidak terlalu loyal pada satu brand karena pilihan sangat banyak, dan semua brand juga bersaing merebut hati konsumen. Salah satu cara yang dilakukan startup adalah memberikan banyak promo/diskon, yang akhirnya terjadi perang harga karena persaingan usaha.
Saya punya satu pengalaman pribadi sebagai konsumen. Ada satu startup F&B yang meluncurkan brand baru dengan membuka banyak cabang dan memberikan banyak sekali promo saat baru diluncurkan.Â
Saya pun tergoda dengan promo mereka, buy one get one free, diskon sampai hampir 90%, dan sebagainya.Â
Saat itu saya sering membeli produk-produk mereka, tapi begitu promo berakhir, saya pun jarang sekali membeli produk mereka. Tentu saja dengan beberapa alasan, seperti rasa minumannya biasa saja, harga normal cukup mahal, staf berganti-ganti dalam kurun waktu cukup cepat, ada produk lain dengan kualitas yang lebih baik, dan berbagai alasan lainnya.
Mengorbankan kualitas, bakar uang, dan fenomena bubble burst
Kita semua tahu saat memberikan konsumen harga sangat murah sudah pasti ada yang dikorbankan. Ada yang mengorbankan kualitas produk dengan mengurangi cost produksi bahkan bahan baku, ada juga yang "bakar uang" atau sistem subsidi.Â
Startup mendapatkan uang untuk beroperasi sampai gencar berpromosi dengan mendapatkan beberapa seri pendanaan.
Khusus untuk startup di bidang teknologi yang dilihat adalah intangible atau future value. Sebuah startup bisa mendapatkan valuasi besar dengan semakin banyaknya aplikasi mereka diunduh, punya banyak active users dan sebagainya. Salah satu cara yang dilakukan adalah traction dan product market fit (dan banyak cara lainnya).Â
Untuk bisa penetrasi pasar startup harus punya banyak karyawan untuk mengembangkan produknya dan banyak melakukan promosi/iklan, otomatis harus banyak uang yang dikeluarkan. Pada tahap ini biasanya startup belum mendapatkan keuntungan alias masih rugi.
Dilansir dari Kumparan oleh para pengamat, peta persaingan startup adalah winner takes all. Di e-commerce 3 top players, jadi jangan berharap yang kecil bisa bersaing. Begitu juga di edutech, banyak yang tidak bisa bersaing akhirnya tersisih dari pasar. Faktor promo dan bakar uang juga efektif mengurangi jumlah persaingan secara signifikan.
Nah, bagaimana kalau terjadi kasus seperti pengalaman saya tadi?Â
Saat startup sudah banyak sekali bakar uang tapi konsumennya berkurang, saat investor sudah tidak bisa memberikan pendanaan tapi perusahaan sudah mulai kehabisan uang, saat ingin mendapatkan profit tapi pasar semakin ramai dan konsumen kabur satu per satu.
"If you know the enemy and know yourself, you need not fear the result of a hundred battles. If you know yourself but not the enemy, for every victory gained you will also suffer a defeat. If you know neither the enemy nor yourself, you will succumb in every battle." - Sun Tzu
Dalam kondisi seperti ini, startup harus mengubah strategi dan keluar dari cara "bakar uang" untuk meraih pasar.Â
Dunia usaha selalu penuh risiko dan ketidakpastian, apalagi kita baru saja mengalami pandemi yang membuat kondisi semakin tak menentu. Banyak startup yang dipaksa berkembang sebelum waktunya.Â
Seburuk-buruknya strategi adalah "perang harga", strategi ini juga sebaiknya dikurangi. Harusnya masih banyak cara elegan untuk memikat hati konsumen dan mendapatkan kesetiaan mereka.
Saya pun menjalankan startup sejak 2008, kala itu saya membuat media online dan tahun ke-4 baru mendapatkan pendanaan itu pun dari angel investor, dan waktu itu perusahaan saya sudah mendapatkan revenue dari project. Tapi akhirnya perusahaan saya pun bangkrut juga pada akhirnya di tahun ke-6.Â
Sampai saat ini, saya belum pernah mencari pendanaan dengan cara seperti startup-startup pada umumnya, karena saya tidak punya ilmu dan pengalaman bisnis seperti founder lainnya.
Sekarang saya masih menjalankan startup media online yang fokus dengan kualitas daripada kuantitas konten, untuk mendapatkan traksi tinggi layaknya startup lain itu sangat sulit. Jadi untuk mendapatkan seri pendanaan saya terus terang belum kepikiran.Â
Saya masih mengandalkan revenue dari project untuk operasional perusahaan. Saya memakai sistem manajemen yang ramping dan belum banyak mempekerjakan staf tetap yang fulltime, dan saya masih menjadi CEO (Chief Everything Officer) di perusahaan saya. Banyak pekerjaan yang saya lakukan sendiri, mempekerjakan freelancer dan memperbanyak kontributor.Â
Dua tahun pertama saya subsidi semua operasional yang ramping dari kocek sendiri, tahun ke-3 akhirnya saya mendapatkan kontrak 1 tahun dari salah satu perusahaan multinasional. Â
Saat ini saya sudah bisa lebih leluasa bergerak karena startup saya mendapatkan revenue yang cukup sehat dan fixed cost saya tidak terlalu bengkak. Saya lebih banyak memakai variable cost untuk saat ini.
Dilansir dari Detik, Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad menjelaskan, saat ini fenomena ledakan gelembung atau bubble burst sedang melanda startup-startup di Indonesia. Bubble burst bisa diketahui dari kinerja perusahaan yang kurang baik.
Untuk yang sedang merintis usaha harus lebih bijak mengambil keputusan, dan untuk yang baru mau mulai jangan terlalu gegabah. Kita harus tahu sampai mana kemampuan kita, harus tahu juga support system kita bisa mendukung sampai kapan.Â
Kita tidak bisa mengontrol keadaan di pasar, tapi kita bisa mengontrol internal kita. Kita tidak bisa mengontrol pikiran orang lain untuk suka sama kita, tapi kita bisa mengontrol pikiran kita mau berpikir seperti apa.Â
Kegagalan dan kesuksesan kita lebih banyak pengaruhnya dari faktor internal daripada eksternal.
Note: Tulisan ini sebagian besar opini pribadi awam saya selaku praktisi yang cukup mengamati industri satu dekade ini. Mohon maaf kalau ada yang salah karena keterbatasan ilmu saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H