Film ini diangkat dari kisah nyata sebuah kasus pemerkosaan di tahun 2008 yang dikenal dengan Na-young Case.
Hope (2013) bercerita tentang sebuah keluarga kecil bahagia di Korea Selatan. Sang ayah seorang pekerja pabrik dan ibu membuka toko kecil di depan rumahnya. So-won adalah anak semata wayang berusia 8 tahun.Â
So-won begitu dewasa mengurusi dirinya sendiri, mulai dari bangun tidur, mandi, sarapan, dan bersiap pergi ke sekolah. Sambil menonton kartun kesukaannya, So-won suka meminta bantuan untuk mengikat rambutnya. Selebihnya, ia selalu melakukan apapun sendiri.
Spoiler alert!
Suatu hari hujan deras mengguyur lingkungan tempat tinggal So-won. Pagi itu sang gadis kecil harus pergi ke sekolah sendiri karena ditinggal oleh teman-temannya. Awalnya sang ibu menawarkan untuk mengantar, tapi karena So-won sedang kesal dengan ibunya, ia menolak tawaran itu. Memang sekolahnya tak jauh dari rumah jadi bisa ditempuh dengan jalan kaki.
Berbekal payung kuning, So-won mengambil rute gang kecil yang memang sudah ia hapal di luar kepala dan itu jalur tercepat menuju sekolah. So-won terus berjalan ke sekolah ketika tiba-tiba seorang pria tua berdiri di depannya sambil memegang layangan putus.
Pria itu menyapa So-won dan ingin meminjam payung. So-won merasa takut dan melihat gerbang sekolah yang sangat sudah dekat, ia juga melihat ke belakang tapi tidak ada orang sama sekali. Hujan membuat jalanan sepi.Â
Beberapa jam kemudian sang ayah mendapat telepon dari polisi yang mengabarkan anaknya berada di rumah sakit. Bergegas sang ayah dan ibu menuju rumah sakit. Mereka melihat anak tercintanya terbaring dengan kondisi mengenaskan.
Sang ibu benar-benar shock melihat anaknya telah menjadi korban pelecehan seksual dengan tubuh penuh luka dari wajah hingga kaki. Bahkan banyak luka dan koyakan dari anus sampai usus sehingga ia harus memakai kantong kolostomi karena ususnya keluar.
Ia juga menderita PTSD atau stres paska kejadian traumatis. So-won harus hidup seperti itu seumur hidupnya. Kasus perkosaan itu tak hanya membuatnya takut dengan lelaki dewasa tetapi juga takut melihat ayahnya sendiri.
Ternyata tidak semudah itu menangkap pelaku karena kurangnya bukti mempersulit proses tersebut. Sedangkan keadaan So-won sendiri dalam trauma berat. Bersyukur ada seorang terapis dari sebuah yayasan bernama "Sunflower" yang membantu menangani trauma anak-anak yang dilecehkan secara seksual.
Terapis tersebut menyewa beberapa konstum tokoh kartun Kokomong untuk menghibur So-won. Bahkan sang Ayah rela memakai kostum kokomong setiap ingin berjumpa dengan anaknya karena So-won tidak mau melihat dan berbicara dengan ayahnya.
Beberapa kali terapis tersebut bertemu dengan So-won dan akhirnya ia mampu untuk bangkit walaupun tidak semudah yang dibayangkan.Â
Teman-teman So-won yang tidak mengetahui kejadian tersebut berupaya mencari tahu apa yang terjadi pada So-won, terutama saat ia menyembunyikan plastic bag kotorannya di dalam bajunya dan itu menjadi luka tersendiri pada diri So-won. Bersyukur para sahabat dan orangtua terus ada bersamanya.
Bagaimana dengan nasib pelaku? Pelaku terus membela diri kalau ia tidak ingat. Bahkan berkata kalau ia rela dihukum mati jika melakukannya, masalahnya ia tidak ingat melakukan hal tersebut.
Pelaku beralibi mabuk dan bajunya dicuri. Pembela juga memberikan hasil RS yang menyatakan kalau pelaku adalah pencandu alkohol dan membuatnya hanya dihukum 12 tahun.
Saya tidak berhenti mengucurkan air mata sejak tragedi dimulai. Dan ada satu adegan emosional yang membuat air mata saya mengucur lebih deras, yaitu saat So-won mengetahui kalau Kokomong yang selalu ada di dekatnya adalah sang ayah dan ia menyadari kalau selama ini ia mengacuhkan ayahnya (karena trauma).Â
So-won kemudian mengajak sang ayah pulang bersama sambil menggandeng tangannya, kemudian membasuh keringat sang ayah karena kepanasan memakai kostum Kokomong di hadapan ibunya.
Plot ceritanya cukup mendayu-dayu, tapi tidak membosankan. Penonton akan selalu terbawa oleh laju perkembangan kondisi So-won, karena rasa penasaran tentang apa yang akan terjadi selanjutnya maka film ini tidak berakhir membosankan.
Cerita dalam film ini dibangun dengan tidak terburu-buru. Setiap adegannya benar-benar dibuat agar membangun emosi penonton untuk peduli pada korbannya.
Marah, prihatin, sedih, semua sudah saya rasakan sejak So-won diperlakukan secara brutal oleh pelaku. Bahkan saya juga bisa merasakan bagaimana terpuruknya perasaan orangtua terutama sang ayah yang harus menghadapi masalah seperti itu.
Scoring dalam film ini cukup manis dan mampu membangun setiap adegan. Walaupun tidak terlalu menonjol tapi cukup memberikkan kesan mendalam.Â
Saya harus mengacungi jempol untuk penampilan para pemain yang memerankan karakter dengan sangat baik. Khususnya Lee Re yang menjalankan tugasnya dengan baik sebagai So-won.
Lee Re sangat terampil menjiwai perannya yang dalam cerita dipaparkan sebagai karakter paling tersiksa. Lee Re masuk dalam nominasi 'Best New Actress' di Baek Sang Art Awards 2014. Untuk sinematografi sendiri tidak ada yang spesial.
Selain memenangkan penghargaan film terbaik, film yang disutradarai oleh Joon-ik Lee dan ditulis oleh Ji-hye Kim juga menjadi favorit banyak orang karena berani mengangkat topik yang tabu ke layar lebar. Dari film ini saya belajar tentang kesabaran dan kasih sayang seorang ayah yang luar biasa.Â
Jika membutuhkan rekomendasi film yang mampu menguras air mata, saya sarankan untuk menonton film ini. Salah satu film tersedih yang pernah saya tonton.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H