Mohon tunggu...
Andhika Zulkarnaen
Andhika Zulkarnaen Mohon Tunggu... Wiraswasta - Founder of Cultura Magazine

A creativepreneur with more than 15 years of professional experience in communication, branding, and new media.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Artikel Utama

Soft Skill, Kunci Berkompetisi dan Beradaptasi dengan Perubahan Zaman

3 April 2020   06:43 Diperbarui: 12 April 2023   11:39 1730
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi mencari inovasi. (sumber: g-stockphoto via kompas.com)

Sering sekali saya bertemu dan berhubungan dengan Millenial dan Gen Z, baik itu dalam bersosialisasi maupun bekerja sama. 

Mereka rata-rata dengan rentan usia 19-30 tahun (yang saya temui) sangat cepat belajar mengenai hal-hal baru, terutama yang berhubungan dengan teknologi dan kreativitas. Tak bisa dipungkiri kalau skill, knowledge dan ide kreatif mereka luar biasa. Sayangnya  masih sangat minim dengan soft skill.

Di zaman serba digital, perubahan semakin cepat, penuh ketidakpastian, rumit, dan diwarnai dengan keberagaman, manusia dituntut untuk terus meningkatkan kemampuannya.

Dengan berkembangnya teknologi dan era milenium saat ini, semua jauh lebih cepat dan mudah. Dengan itu banyak persoalan krusial yang saya rasakan terutama masalah mental, dan ini lebih banyak terjadi pada kaum muda tadi.

Setiap individu yang bekerja ataupun berbisnis harus mempersiapkkan diri dengan selalu belajar hal-hal baru dan melatih skill yang dibutuhkan dalam setiap pekerjaan. 

Semua orang tau itu. Sayangnya masih banyak yang tidak terlalu memerhatikan pentingnya soft skill. Kemampuan dalam menyikapi sebuah masalah, beradaptasi, bersikap/berperilaku, berkomunikasi, kepemimpinan dan sebagainya.

Hard Skills & Soft Skills | via djarumbeasiswaplus.org
Hard Skills & Soft Skills | via djarumbeasiswaplus.org
Hard skill bisa kita peroleh dari edukasi formal di sekolah dan kampus, juga dalam program pelatihan, magang, workshop, dan sebagainya. Hard skill bisa dievaluasi, dipelajari dan diukur langsung. 

Hard skill juga menjadi aspek utama yang dilihat pertama kali oleh pemberi kerja untuk membandingkan antara satu pekerja dan pekerja lainnya. Sedangkan soft skill adalah artribut personal (kepribadian), yang terlihat dari bagaimana cara kita berinteraksi dan kepekaan terhadap lingkungan sekitar.

Soft Skills | via qariaty.com
Soft Skills | via qariaty.com

Soft skill merupakan aspek penting dalam kesuksesan karir dan kehidupan kita. Menurut Lindsey Pollak (penulis buku "Becoming The Boss"), mengatakan bahwa soft skill adalah aspek yang paling penting untuk dimiliki ketika menjajaki dunia kerja. 

Performa kita dalam pekerjaan hanya dipandang sebagai 'tugas'. Sementara sebuah 'tugas' itu bisa dikerjakan ribuan orang lain, soft skill-lah yang membedakan kita dengan mereka dan bisa membawa kita ke tingkat yang lebih tinggi.

Generasi Instant

Dengan pengalaman saya bertemu banyak orang, bekerjasama dalam bisnis, dan khususnya merekrut freelancer untuk mengerjakan project-project klien, mayoritas mereka yang saya temui tidak memiliki soft skill yang baik. Ada yang etika/attitude-nya buruk, cara berkomunikasi dan tanggung jawabnya tidak baik, kemampuan problem-solving dan self-motivation rendah, dan tidak sanggup bekerja under pressure. 

Sebagai contoh: Saya complain karena pekerjaannya tidak sesuai yang dijanjikan, bukannya menerima malah jauh lebih keras dari saya, bahkan ada yang sampai memaki dan tidak mau melanjutkan pekerjaannya. Mungkin ini contoh buruknya attitude dan tidak bisa memanage emosi dengan baik. 

Pernah juga ada yang seenaknya mengatur jadwal dan lokasi meeting. Yang paling sering saya hadapi adalah cara mengirim CV/Portfolio, kadang tanpa judul email, kadang tanpa penjelasan singkat pada body email, dan masih banyak contoh-contoh lainnya, dan semua itu sangat disayangkan.

Sangat disayangkan itu semua lebih banyak  saya temui pada usia-usia di bawah 30 tahun, dimana mereka sedang dalam masa sangat produktif dengan kemampuan hard skill yang luar biasa sangat cepat berkembang mengikuti perkembangan zaman.

Apabila hard skill dan soft skill dikombinasikan dengan baik, maka saya sangat yakin individu-indivudi tadi bisa menjadi jauh lebih profesional dan pastinya mampu bersaing di era yang serba cepat dan supply/demand yang semakin tinggi.

Keadaan saat ini memang serba instant, apalagi dengan pesatnya perkembangan teknologi. Tapi jangan sampai generasi ini menjadi orang-orang yang ingin semuanya serba instant juga. Baik itu dalam pencapaian karir ataupun cepatnya meraih kesuksesan dalam berbisnis. 

Nikmati segala prosesnya, lalui setiap kegagalannya, perbaiki kegagalan-kegagalan tersebut dan jadilah lebih baik dengan semua yang pernah kita lalui.

Selain itu, kita juga terlalu mengadalkan "portfolio" dalam menawarkan jasa. Portfolio sangat penting, tapi tidak akan menjadi lebih baik tanpa "reputasi", dan reputasi tidak bisa dibangun dalam satu malam. Banyak yang punya portfolio mumpuni tapi akhirnya tidak bisa deliver pekerjaannya dengan baik karena kurangnya soft skill tadi.

Memanfaatkan Momentum Bonus Demografi

Saya bukan sok tua, sok paling benar bahkan sok bijak, tapi persoalan ini cukup perlu kita pikirkan bersama. Apalagi bonus demografi yang akan dialami Indonesia pada 2030-2040 akan menjadi tantangan sekaligus kesempatan besar bagi kita. 

Pada bonus demografi itu, penduduk usia produktif diprediksi mencapai 64% dari total jumlah penduduk yang diproyeksikan sebesar 297 juta jiwa.

Walaupun tidak sermua negara berhasil memanfaatkan momentum ini dengan baik. Jepang adalah salah satu yang sukses, Brasil dan Afrika Selatan yang dinilai gagal.

Saya kutip dari Okezone, Kasus di Afrika Selatan terjadi permasalahan utama terkait tingginya angka pengangguran. Terjadi diskoneksi antara tingkat pertumbuhan angkatan kerja yang tidak bisa diimbangi oleh tingkat pertumbuhan lapangan pekerjaan. 

Hal ini akibat adanya skill mismatch antara apa yang dibutuhkan oleh dunia kerja dengan apa yang bisa ditawarkan oleh pekerja. Mismatch yang ada disebabkan karena kualitas pendidikan yang kurang baik dan kegagalan pemerintah menghubungkan antara kurikulum pendidikan dengan kebutuhan pasar tenaga kerja. 

Kondisi yang terjadi mengakibatnya sekitar 53% generasi milenial di Afrika Selatan menganggur karena tidak terserap pasar tenaga kerja.

Pentingnya pendidikan formal yang menghasilkan hard skill harus diimbangi dengan pendidikan non-formal yang mampu menghasilkan soft skill dengan baik. 

Pentingnya soft skill tidak hanya akan dirasakan dalam dunia kerja, tapi juga kehidupan sehari-hari terutama dalam bersosialisasi. Apalagi Indonesia adalah negara dengan beragam budaya, dan berbagai macam perbedaan lainnya. Bukankah perbedaan akan terasa indah apabila kita bisa saling mengerti dan menghargai?

Help young people. Help small guys. Because small guys will be big. Young people will have the seeds you bury in their minds, and when they grow up, they will change the world. - Jack Ma

Sedikit Solusi (yang belum saya pikirkan lebih jauh)

Saya tidak akan masuk dalam ranah pendidikan formal, apalagi mengurusi kurikulum. Selain karena bukan kapasitas, saya juga termasuk salah satu dari sekian orang yang kurang beruntung bisa merasakan pendidikan formal dengan baik (baca; tidak kuliah). 

Alangkah baiknya kalau lebih banyak program-program edukasi seperti seminar atau training yang mengajarkan soft skill dengan metode-metode tertentu. Bukan hanya dibanjiri seminar-seminar "Cara Mendongkrak Penghasilan Dengan Menggunakan Facebook Ads", "Cara Membuat Startup Dalam Waktu Singkat", dan seminar-seminar sejenis lainnya.

Apalagi isi seminarnya "hanya menjual mimpi".  Bermimpi itu baik dan harus, karna tanpa mimpi kita tidak akan punya tujuan. Tapi bermimpilah yang baik, karna mimpi terbaik bukanlah bunga mimpi tapi mimpi yang diwujudkan dan menjadi kenyataan.

Selain masalah pendidikan, mungkin kita juga perlu kesadaraan. Sadar akan pentingnya soft skill, sadar bahwa hard skill tanpa soft skill tidak akan berguna dengan baik, sadar bahwa ilmu yang baik adalah yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. 

Sadar bahwa kecerdasaan yang berujung kesombongan akan menjatuhkan diri kita sendiri, sadar bahwa selain IQ kita juga butuh EQ dan SQ. Dan yang paling penting adalah sadar akan pentingnya empati.

Masa-masa pandemi ini memberikan saya banyak pelajaran berharga. Beberapa poin yang saya dapat bahwa kita (manusia) di saat seperti ini sepertinya membutuhkan lebih banyak "empati", lebih harus saling merangkul. Empati adalah salah satu bagian dari soft skill itu sendiri.

Sekali lagi, belum tentu saya sepenuhnya benar. Dan saya tidak menyamaratakan individu-individu tadi dengan individu lainnya, karena saya yakin tidak semua seperti itu. Mungkin kebetulan saja saya dipertemukan dengan yang seperti itu.

Semoga kita bisa belajar sama-sama demi kemajuan bersama. Semoga kita semua selalu diberikan kesehatan (jiwa, raga & pikirannya), dan semoga pandemi ini segera berakhir dan kita semua bisa mengambil pelajaran/hikmah dari kejadian ini. Tetaplah menjadi manusia!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun