Namun usahanya menjaga Sahar gagal. Sahar dijual, ia ditukar dengan makanan. Zain lalu kabur dengan bertemu imigran gelap dari Ethiopia bernama Rahil dengan putranya yang masih bayi yaitu Yonas.
Zain mengalami kemalangan demi kemalangan tanpa henti. Di wajahnya hampir selalu tergurat amarah. Untuk ukuran anak 12 tahun pun bahasanya cenderung kasar. Sebut saja, "bajingan" atau "pelacur". Rahil yang dipenjara karena dianggap penduduk gelap membuat Zain harus membesarkan dan memberi makan Yonas. Tak sampai di situ, Zain akhirnya tahu adiknya meninggal karena hamil di usia terlalu muda. Zain membunuh suami adiknya. Di depan hakim ia menolak menyebut yang ia bunuh adalah manusia. Baginya yang ia tikam adalah anjing.
Patut digarisbawahi bahwa semua aktor maupun aktris dalam film ini bukanlah pekerja seni profesional. Rahil sendiri memang imigran gelap dan setelah syuting selesai ia benar-benar ditangkap.Â
Zain sebagai seorang imigran sudah melanjutkan hidupnya di Eropa. Kini ia bersekolah. Kalau dibilang apakah berlebihan bila Zain sampai menggugat orangtuanya karena tak ingin ayah ibunya punya anak lagi, sebenarnya tidak.Â
Nadine dalam wawancaranya dengan The Guardian mengatakan anak-anak Lebanon yang ia temui juga memiliki sikap serupa. Mereka bertanya kenapa mereka dilahirkan bila tanpa kasih sayang.
Ada banyak dialog menyedihkan dalam film ini. Ketika Ibu Zain dengan senang hati menyapa keponakan-keponakannya di penjara, ketika mengucap kalimat Tuhan untuk kondisi yang sesungguhnya tak patut, juga ketika menyeret anaknya ketika tak mau dijual.Â
Ayahnya pun berlaku serupa. Tanpa tahu malu, malah membela diri dengan kata-kata seharusnya anak lelakinya menjadi tulang punggung keluarga, bukan membikin malu dengan menikam orang.Â
Kita akan menemukan hal serupa di Indonesia. Ada banyak contohnya. Orangtua yang menjual anak karena butuh uang? Orangtua yang menyewakan bayi untuk dipakai pengemis? Kita pernah melihat beritanya setidaknya sekali seumur hidup.
Nadine terlalu cerdas dalam membuat film ini. Kita tidak dibuat bosan. Tak ada akting berlebihan dengan tangis menggerung-gerung. Hanya ada satu adegan tangis yang ditujukan untuk keperluan dramatis, itupun sangat beralasan: karena khawatir akan keselamatan bayinya. Adegan lain murni dialog-dialog polos, naif, jujur, hingga banal. Ada pula dialog yang seharusnya sangat tragis tapi justru diucapkan dengan wajah senang.
Nadine tak merasa perlu mengeksploitasi kemiskinan atau air mata demi keuntungan film ini. Ia membuat kita mencerna sendiri kenyataan yang ada. Capernaum (2018) mendapat rating yang sangat bagus di Rotten Tomatoes. Ia juga meraih penghargaan di Sarajevo Film Festival, Melbourne Film Festival, Mill Valley Film Festival, Miami Gems Film Festival, dan masih banyak lagi deretan penghargaan lainnya termasuk nominasi Oscar.