Mohon tunggu...
Andhika Zulkarnaen
Andhika Zulkarnaen Mohon Tunggu... Wiraswasta - Founder of Cultura Magazine

A creativepreneur with more than 15 years of professional experience in communication, branding, and new media.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"Pihu" dan Mimpi Buruk Para Orangtua

24 Januari 2019   18:12 Diperbarui: 2 April 2019   17:32 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diangkat dari kisah nyata yang terjadi di apartemen tahun 2017, seorang anak bernama Pihu (2 tahun) yang terkurung di apartemen mencoba bertahan hidup.

Film ini sepertinya dibuat secara khusus dengan maksud untuk melemahkan penonton (emosional). Ini bukan komedi atau drama imut; ini film thriller-horror. Pihu memaksa orangtua, baik nyata maupun prospektif, untuk menghadapi salah satu mimpi terburuk mereka-seorang anak sendiri di rumah yang dipenuhi benda-benda berbahaya.

Kapri Vinod mengubah flat kosong menjadi ladang ranjau yang potensial. Peralatan sehari-hari seperti setrika, kulkas, microwave, dan kompor gas mewakili setiap risiko yang mengancam keselamatan balita ini-sendirian, ketakutan, bosan, lapar, bingung-merangkak dengan putus asa, memutar kenop, menekan sakelar, dan menjatuhkan barang-barang, tidak menyadari konsekuensi yang mungkin terjadi.

Selama 90 menit, Pihu (Myra Vishwakarma) berkali-kali terlihat dalam bahaya dan sebagai penonton kita menghabiskan sebagian besar film dengan harapan ia akan selamat tanpa terluka.

Pihu adalah Trapped + Home Alone tanpa adegan lucu, Baby's Day Out tanpa nada imut yang dibuat-buat. Ini adalah film realis yang realistis dalam kehidupan sehari-hari. Tidak gampang menonton film ini karena membangun kesadaran yang tinggi akan bahaya yang ditimbulkan oleh barang-barang di dalam rumah. 

Setrika yang masih menyala, keran air di dapur yang mengalir, kompor gas, balkon di apartemen bertingkat- Kita sebagai orang dewasa akan berhati-hati dengan ini semua, bayangkan bagaimana seorang balita melalui semua ini, sendirian. Ini adalah mimpi buruk bagi setiap orang tua.

Plus

Sutradara mengakui ini drama intrinsik dengan keadaan Pihu apa adanya tanpa membesar-besarkan secara artifisial. Sinematografi dalam film ini berperan seiring dengan visi sang sutradara, mengamati dan mengikuti protagonis anak itu dengan tenang tanpa berusaha membangkitkan ketakutan stereotip. 

Kamera juga tidak eksploitatif dalam menangkap tubuh ibunya yang terbaring tak bernyawa, padahal ini sangat penting untuk sensitivitas film. Beberapa music/backsound terdengar cukup horor dan terasa lumayan pas untuk mendukung adegan dan menghidupkan suasa.

Minus

Audio dalam film kadang terdengar sedikit bermasalah. Filmmaker harusnya bisa lebih baik dalam menyampaikan monolog dari orang-orang yang menelefon tanpa harus menggunakan mode loud speaker setiap kali, akhirnya membuat adegan ini terlihat kurang natural.

(Warning spoiler) Di tubuh sang ibu terlihat tanda-tanda cedera digabungkan dengan apa yang dikatakan suami di telepon, menyiratkan bahwa mungkin ada kekerasan dalam rumah tangga. Apakah suami memukul atau ini cuma kasus pasangan yang anti sosial (kurang bergaul)? Apakah luka-luka disebabkan oleh dirinya sendiri atau dipukul suami? Apakah dia depresi? Tapi pada akhirnya tone film ini nampaknya menunjukkan kalau kedua orangtua sama-sama egois yang berdampak pada penyesalan. (Spoiler alert ends)

In this film, we did not direct Pihu. She directed us. She kept giving us the scenes.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun