Ekosistem laut Indonesia saat ini tidak luput dari fenomena degradasi yang disebabkan oleh banyak hal yang sangat beragam, diantaranya adalah overfishing ataupun polusi (Burke et al., 2011). Fenomena overfishing muncul dan tumbuh dengan pesat seiring kemajuan teknologi yang bersamaan dengan kemajuan ilmu pengetahuan.Â
Peralatan global satellite positioning dan alat pencari ikan sonar tidak dapat terlepas dari kemajuan ilmu fisika. Kemajuan suatu pengetahuan atau sains diukur dari sejauh mana ia dapat digunakan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan material dan praktis. Kebijaksanaan manusia lah yang akhirnya dapat menentukan bagaimana kita dapat terus memanfaatkan kemajuan teknologi tanpa merusak alam.
Penelitian Unsworth et al. (2018) menemukan fakta bahwa ekosistem laut Indonesia khususnya wilayah barat berada memandang overfishing sebagai ancaman yang serius. Overfishing (Hillborn, 2011) adalah proses pengambilan stok ikan secara berlebihan, terlalu banyak sampai pada tahap sebagian besar potensi makanan dan kekayaan yang diambil tidak berhasil dimanfaatkan sepenuhnya.Â
JENIS OVERFISHING
Jenis-jenis overfishing dapat dilihat pada uraian berikut:
- Growth Overfishing
Growth overfishing adalah jenis overfishing yang mengganggu tingkat pertumbuhan ikan. Jenis overfishing ini terjadi berdasarkan umur ikan yang ditangkap. Ikan yang ditangkap masih belum cukup umur atau masih dalam masa pertumbuhan (growth), sehingga akan mengganggu komunitas ikan. Ukuran ikan yang dipanen rata-rata lebih kecil dari ukuran yang seharusnya yang akan memberikan hasil produksi maksimum sekali tangkap. Hal ini akan menyebabkan hasil total yang lebih kecil bila ikan dipanen pada umur yang seharusnya diperbolehkan.Â
Jumlah ikan yang berkembang biak nantinya akan lebih sedikit karena jumlah induk ikan yang berkurang akibat adanya pemanenan ikan pada masa pertumbuhan. Growth overfishing ini juga dapat menjadi masalah ekonomi yang substansial dan jauh lebih penting daripada recruitment overfishing yang akan dibahas di poin selanjutnya. Nilai ikan tumbuh secara signifikan di banyak perikanan komersial (Diekert, 2012).
- Recruitment Overfishing
Jenis recruitment overfishing ini berarti penangkapan berlebihan pada induk ikan sehingga akan berdampak pada regenerasi ikan. Recruitment overfishing terjadi pada saat populasi ikan dewasa (ikan yang bertelur) mengalami deplesi hingga ke tingkat dimana kapasitas reproduksi tidak tidak lagi dapat bertambah, sehingga ada cukup ikan dewasa untuk menghasilkan keturunan. Selain itu, recruitment overfishing ini didorong oleh kondisi lingkungan. Oleh karena itu, penting untuk memperhitungkan stuktur usia dan potensi pertumbuhan alami stock ikan bila dihubungkan dengan masalah ekonomi seperti pada growth overfishing (Diekert, 2012).
- Ecosystem Overfishing
Ecosystem overfishingdiartikan sebagai bentuk pemanenan ikan berlebih yang dapat memberi dampak negatif dan merusak ekosistem daerah tangkapan. Jenis ini terjadi ketika keseimbangan ekosistem berubah dan terganggu akibat penangkapan ikan berlebih. Rusaknya ekosistem akibat overfishing ini dapat berakibat pada hilangnya ikan-ikan besar dengan nilai jual yang tinggi dan akan digantikan dengan ikan bernilai ekonomi rendah.
DAMPAK OVERFISHING
Armada industri penangkapan ikan menggunakan peralatan global satellite positioning, alat pencari ikan sonar, jaring besar dan pancing panjang, pesawat pengintai, dan kapal berpendingin yang dapat memproses dan membekukan tangkapan mereka yang jumlahnya sangat besar. Armada-armada yang sangat efisien ini membantu memasok permintaan akan makanan laut, tetapi para kritikus mengatakan bahwa mereka menyedot laut, mengurangi keanekaragaman hayati laut, dan menurunkan jasa ekosistem laut yang penting (Miller dan Spoolman, 2015).
Salah satu hasil dari perburuan global yang semakin efisien untuk ikan adalah bahwa individu yang lebih besar dari spesies liar yang bernilai komersial --- termasuk ikan cod, marlin, todak, dan tuna --- menjadi langka. Antara tahun 1950 dan 2006, menurut sebuah studi yang dipimpin oleh ahli ekologi laut Boris Worm, ada suatu waktu di mana lebih dari 90% jenis ikan tersebut dan ikan besar lainnya, predator laut terbuka menghilang.Â
Seperti yang terjadi pada ikan Atlantic Cod di Newfoundland di tahun 1992. Dampak negatif lain dari penangkapan ikan berlebihan adalah bahwa ketika spesies predator yang lebih besar berkurang, dengan cepat mereproduksi spesies yang menginvasi seperti ubur-ubur dapat lebih mudah mengambil alih dan mengganggu jaring makanan laut (Miller dan Spoolman, 2015).
Selain itu, ketika spesies besar yang bernilai komersial sedang mengalami dampak negatif overfishing, industri perikanan langsung bekerja dengan beralih ke spesies laut yang lebih kecil seperti ikan teri, ikan haring, ikan sarden, dan krill. Sekitar 90% dari tangkapan ini dikonversi menjadi minyak ikan dan makanan ikan, yang sebagian besar diberikan ke ikan yang dibudidayakan.Â
Para ilmuwan memperingatkan bahwa ini akan mengurangi pasokan makanan untuk spesies yang lebih besar, yang kemungkinan akan memiliki waktu yang lebih sulit untuk pulih dari penangkapan ikan berlebihan. Hasil akhirnya kemungkinan akan menjadi gangguan lebih lanjut pada ekosistem laut dan jasa ekosistem mereka (Miller dan Spoolman, 2015).
Dampak negatif ekosistem tak langsung yang sangat besar dari penangkapan berlebih telah tampak pada sistem pesisir seperti terumbu karang dan hutan rumput laut (Scheffer, M, et al., 2005). Banyak terumbu karang di seluruh dunia menderita dampak negatif dari stok ikan yang habis, yang dapat mengakibatkan perubahan yang nyata dalam komposisi komunitas benthic. Ikan herbivor yang ikut tertangkap memainkan peran penting untuk pembentukan dan pemulihan terumbu karang (Roth, F., et al., 2015). Â
SOLUSI OVERFISHING
Mengingat aktivitas-aktivitas overfishing dapat menimbulkan deplesi/penyusutan sumberdaya biota laut, merusak ekosistem daerah tangkapan, mengancam konservasi serta mengganggu keseimbangan ekologi laut, untuk itu diperlukan solusi yang tepat agar dapat melakukan mitigasi dan minimisasi dampak dari aktivitas pemancingan yang berlebihan tersebut. Â
Petrossian (2015) menyatakan bahwa kapasitas MCS (Monitoring, Control and Surveillance) dan pengawasan yang ketat merupakan variabel penting dalam mengendalikan tingkat IUU (Illegal, Unreported and Unregulated) fishing yang terjadi di perairan suatu negara. MCS adalah semua ketentuan yang harus dipenuhi terkait langkah-langkah dalam pengelolaan perikanan dimana masing-masing elemen memiliki tujuan sebagai berikut: (1) pemantauan (monitoring) untuk mengumpulkan informasi tentang perikanan yang berguna dalam proses pengembangan selanjutnya, (2) controlling untuk menilai langkah-langkah pengelolaan yang tepat, dan (3) dengan memanfaatkan informasi yang diperoleh dilakukan pengawasan (surveillace) untuk memastikan agar kontrol ini dapat dipatuhi. Manajemen perikanan modern diharapkan dapat menempatkan strategi, perencanaan dan aktivitas MCS pada tempat yang lebih sentral dan terintegrasi pada seluruh bagian manajemen perikanan sebagaimana yang tertera pada Gambar 4.1 Hubungan Utama antara MCS dan Manajemen Perikanan.
Selain memperkuat MCS nasional, Johns (2013) menyatakan bahwa rencana aksi satu negara (aksi regional) tidak mencukupi untuk memperbaiki IUU fishing, sehingga diperlukan 'coordinated regional action' dengan dukungan pembangunan berkapasitas internasional. Terkait dengan 'coordinated regional action', saat ini telah terbentuk aliansi regional maupun internasional (seperti ASEAN-Wildlife Enforcement Network dan Regional Plan of Action (RPOA-IUU) di Asia Tenggara).Â
Paradigma regulasi pluralistik tersebut dapat memanfaatkan keterkaitan IUU fishing dan aktivitas kriminal transnasional untuk mencapai hasil positif yang berlipat (Lindley dan Techera, 2017). Khusus di wilayah Indonesia, telah disusun suatu Rancangan Peraturan Presiden Republik Indonesia Tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing Tahun 2016-2020.Â
Solusi lain untuk mengurangi overfishing agar populasi ikan dapat dikeola  berdasarkan prinsip berkelanjutan adalah dengan menggunakan teknologi akuakultur atau biasa dikenal dengan fish farming. Secara sederhana, teknik ini adalah dengan membuat batasan tertentu untuk membudidayakan ikan. Namun, akuakultur menghadapi tantangan seperti wabah penyakit, produksi pakan, dan pembuangan limbah. Â
Maka dari itu, terdapat teknologi baru dengan sistem resirkulasi air, sehingga bebas dari kontaminan dan patogen. Sistem ini dibuat dengan adanya pengolahan secara aerobik dan anaerobik, serta pengolahan lumpur yang dihasilkan dari pengolahan. Sistem ini terbukti menghasilkan produksi ikan yang efisien dari populasi dengan densitas tinggi yang terjaga dari agen penyakit (Tal et al., 2009).
Efisien dan produktif yang dimiliki oleh teknologi Akuakultur membuat permintaan terhadap teknologi ini meningkat pesat. Peningkatan permintaan penyediaan ikan dari Akuakultur akan mendorong kebutuhan perluasan wilayah untuk membentuk sistem Akuakultur (Tlusty et al., 2017; Gimpel et al., 2018).Â
Perluasan wilayah di daerah pantai dan persisir ini berpotensial konflik dengan sektor industri (Tlusty et al., 2017), aktivitas nelayan konvensional maupun pariwisata (Gimpel et al., 2018). Mengatasi hal tersebut dibutuhkan kajian analisis keruangan untuk memberikan decision support tool saat memberi penilaian pada perencanaan Akuakultur, antara lain yang tersedia saat ini adalah program AquaSpace (Gimpel et al., 2018) dan pemodelan Sistem Informasi Geografi (Vianna dan Filho, 2018).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H