Mohon tunggu...
Andes Rozak
Andes Rozak Mohon Tunggu... PNS -

Lahir dan besar di Kuningan (Jawa Barat), kuliah di Nyayogyakarta Hadiningrat, dan bekerja di Bergtuin te Tjibodas-Tjiandjur. Saat ini sedang menyelesaikan studi doktoralnya di AgroParisTech (Prancis) dan University of Copenhagen (Denmark).

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Imunisasi di Prancis

21 Agustus 2018   01:57 Diperbarui: 21 Agustus 2018   02:19 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awal bulan ini, saya menerima kabar duka dari Indonesia. Salah satu teman kuliah di UGM berpulang ke rahmatullah. Penyebabnya hepatitis B. Dugaan saya, dia terpapar virus tersebut ketika sedang tugas. Tugas di pedalaman Indonesia. Yang kadang karena kebersamaan. Mungkin pernah makan bersama. Semacam liwetan di Sunda. Makan bersama di atas daun pisang. Sehingga mungkin ada kontak cairan dengan yang terinfeksi. Lewat makanan tersebut. Sementara itu, mungkin dia tidak terproteksi. Tidak pernah dapat imunisasi hepatitis B. Saat dia masih anak-anak. Atau mungkin sudah pernah. Tapi imunisasi tersebut tidak efektif. Karena konon hal tersebut bisa saja terjadi. Sehingga disarankan untuk cek darah. Dan melihat bagaimana efektivitas imunisasi tersebut. Jika belum terproteksi. Maka akan disarankan untuk imunisasi ulang. Entahlah...

Saya pun berkesimpulan. Di Indonesia, bahkan di dunia ini, virus tersebut masih menyebar. Dan memang demikian. Data WHO tahun 2015 menunjukkan bahwa 887.000 orang meninggal karena hepatitis B. Angka yang luar biasa pun keluar dari WHO. Sekitar 257 juta orang di dunia terjangkit hepatitis B tersebut. Luar biasa bukan?

Berhubung saya pun kadang ditugaskan di daerah pedalaman. Yang bisa jadi kesadaran akan imunisasi masih rendah. Sehingga virus tersebut masih merebak. Maka saya pun berinisiatif ke dokter. Dokter keluarga. Ya, dokter keluarga di Prancis. Tampak keren. Orang Indonesia punya dokter keluarga di Prancis. Padahal kenyataanya, itu hal yang lumrah. Bahkan wajib. Seperti halnya di Indonesia, yang harus mendeklarasikan dokter keluarga masing-masing. Saya akan ceritakan tentang dokter keluarga ini pada kesempatan lainnya.

Singkat cerita. Saya ke kliniknya. Untuk membuat RDV (rendez-vous) untuk konsultasi. Kliniknya hanya 1 km dari rumah kami. Dokter keluarga kami namanya dr. Karine Martinez. Tapi sayang, dia lagi liburan. Sampai 31 Agustus 2018. Jadi oleh resepsionis, untuk sementara dialihkan ke dokter lainnya. Namanya dr. Maeva Garin. Tak masalah. Yang penting bisa konsultasi.

Saya pun akhirnya ketemu dengan dokternya. Untuk konsultasi. Dia memasukkan carte vitale. Kartu BPJSnya Prancis. Dimasukkan kedalam alat pembacanya. Semacam EDC-nya kartu debit. Untuk melihat catatan kesehatan saya. Yang saya  yakin belum ada riwayat apapun. Karena ini pertama kali saya ke dokter. Dalam kurun 3,5 tahun tinggal di Prancis ini. Saat konsultasi tersebut. Saya ceritakan kronologinya. Dia bertanya tentang imunisasi yang pernah saya ikuti. Saya menjawab seadanya. Sepengetahuan saya. Yang saya dapatkan informasinya dari orang tua saya dua hari sebelumnya. Yang menyebutkan bahwa seingat orang tua, imunisasi saya telah lengkap. Namun tidak jelas imunisasi apa saja. Karena catatan imunisai entah ada dimana. Mungkin telah hilang. Atau entah dimana. Tapi saya masih ingat. Kartu tersebut adalah KMS. kartu legendaris itu. Yang ada gambar ibu sedang memberikan ASI pada anaknya. Yang cuma selembar itu. Yang ada catatan berat badannya. Dan catatan tentang imunisasi. Tapi sekali lagi. Saya tidak yakin imunisasi apa saja yang pernah saya terima. Dalam konsultasi tersebut dokter pun tidak langsung mengiyakan permintaan vaksinasi. Dia meminta saya untuk tes darah dulu. Vaksinasi akan diberikan berdasarkan hasil tes tersebut. Jika telah terproteksi, tidak perlu vaksinasi. Begitu ungkapnya. Lalu dibuatkanlah pengantar. Pengantar untuk tes darah ke laboratorium. 

Tapi, dia bertanya lagi. Kapan terakhir saya imunisasi. Imunisasi jenis lainnya. Selain hepatitis B. Saya jawab: long time ago, when I was a child! Dia tertawa. Dan meluncurlah usulan imunisasi DTP. Yang katanya harus diulang tiap 10 tahun itu. Menurut standar sini. Saya pun menyetujuinya. Lalu ia membuatkan pengantar untuk vaksinnya. Yang harus saya beli di apotek. Lalu dibawa saat konsultasi berikutnya. Untuk disuntikkan ke tubuh saya. Konsultasi selesai. Dia mengeluarkan carte vitale saya. Saya tidak membayar satu sen-pun. Semuanya sudah ditanggung. Sama asuransi kesehatan. Oleh BPJSnya Prancis. Lewat carte vitale tersebut.

Setelah dari dokter. Saya langsung ke laboratorium. Jalan kaki sekitar 10 menit dari klinik. Di laboratorium, saya serahkan surat pengantar. Saya serahkan juga carte vitale saya. Kemudian ditanya apakah saya ingin mendapatkan hasilnya lewat pos. Atau lewat internet. Saya pilih yang terakhir. Karena praktis dan cepat. Petugasnya lalu menyerahkan username untuk mendownload hasil lab-nya. Yang bisa saya dapatkan keesokan harinya. Setelah itu saya diminta menunggu.

Tidak sampai 5 menit saya dipanggil. Lalu dengan perawatnya menuju ruang pengambilan darah. Kemudian duduk di kursi. Diambillah 4 botol kecil dari tangan kiri saya. Tidak sakit. Tapi cukup terasa. Proses pengambilan darah itu akhirnya selesai. Saya meninggalkan lab tersebut. Oya, saya pun tidak membayar apapun. Karena semuanya telah ditanggung. Oleh asuransi.

Karena ada kepastian besoknya hasil sudah ada. Saya memutuskan untuk buat RDV dengan dokter. Yaitu lusanya. Sehari setelah hasil tes darah saya dapatkan.

Esoknya, saya dapatkan hasil tes darah. Ada 5 halaman. Saya print. Untuk diserahkan ke dokternya. Sorenya, saya ke apotek. Beli vaksin DTP. Saya serahkan surat pengantarnya. Beserta carte vitale saya. Ke apotekernya. Kemudian dia memberikan vaksin tersebut. Dan menyampaikan pesan kalau vaksin tersebut harus disimpan di lemari pendingin. Atau kulkas. Pada suhu antara 2-8 derajat C. Selesai. Tidak sepeserpun saya keluarkan di apotek tersebut. Ya... karena sudah ditanggung asuransi.

Saya akhirnya ke dokter lagi. Membawa dua hal. Hasil tes darah. Dan vaksin DTP. Yang diresepkannya itu. Dua hari yang lalu. Dokter membaca hasil lab-nya. Dia menjelaskan hasilnya. Kesimpulannya saya perlu vaksinasi ulang. Karena Anti-HBsnya <2 mUI/mL. Jauh dari batas terproteksi. Yang seharusnya >10 mUI/mL. Dia tanya bagaimana. Saya mengiyakan. Saya menyetujui vaksinasi. Dokter pun memberikan surat pengantar untuk ke apotek. Yang ini khusus untuk vaksin hepatitis B. Dalam resepnya itu. Ia juga menuliskan untuk 6 bulan. Karena vaksinasi ini dilakukan sebanyak 3x pada 0, 1, dan 6 bulan. Secara teori, 1 bulan setelah penyuntikan I akan memproteksi sebesar 11,3%. Satu bulan setelah penyuntikan II meningkat menjadi 26,4%. Dan satu bulan setelah penyuntikan III meningkat menjadi 96,7%. Setelah penjelasan tentang hepatitis B, saya kemudian disuntik DTP. Di tangan kiri. Awalnya saya agak takut. Tapi ternyata tidak terasa sama sekali. Konsultasi selesai. Hasil pertemuan dengan dokter ini: disuntik DTP dan pengantar vaksin hepatitis B. Saya pun diberikan kartu vaksinasi. Sebagai catatan dan pengingat bahwa saya sudah divaksinasi. Yang berisi tanggal vaksinasi, dokter yang memvaksinasi, nama vaksin, stiker hologram, dan tentu saja tanda tangan dan cap basah dokter. Selesai. Dalam proses ini. Saya pun tidak membayar sepeserpun. Ditanggung asuransi. Sebelum saya meninggalkan klinik. Saya kembali membuat RDV untuk vaksinasi hepatitis. Dengan dokter yang sama. Dengan waktu seminggu setelah vaksinasi DTP ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun