Mohon tunggu...
Hesti Fazrul
Hesti Fazrul Mohon Tunggu... profesional -

Psikolog, Bekerja Paruh Waktu Pada Beberapa Biro Konsultasi Psikologi ,Ibu dari seorang anak lelaki ganteng & Istri dari seorang lelaki ganteng, Sedang belajar jadi penulis & yakin kegiatan menulis bisa menjadi sumber penghasilan :)

Selanjutnya

Tutup

Money

Gak Perlu Naikin Harga BBM, Jualan Film Sekelas The Raid Aja Pasti Nambah Devisa

1 April 2012   07:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:10 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Film dimulai dengan adegan seorang lelaki yang tengah shalat dan seorang lelaki lain yang sedang berlatih bela diri. Tentu sebuah pemandangan menarik bagi orang-orang di belahan dunia lain yang kurang/samasekali tidak mengenal ritual ibadah Islam. Satu poin untuk Gareth Evans, sang sutradara sekaligus penulis skenario karena menurut saya sangat jeli memamfaatkan keingintahuan bangsa-bangsa non muslim tentang Islam ditengah isu yang kurang sedap tentang agama ini.

Adegan selanjutnya adalah sedikit sisipan romantisme ala Amerika ketika seorang lelaki serdadu akan meninggalkan istri yang tengah hamil hamil tua ke medan laga. Diteruskan dengan penyerbuan anggota khusus kepolisian ke sebuah apatemen yang terlihat tak terurus untuk menangkap gembong narkotik sadis bernama Tama yang diperankan Ray Sahetapy. Perasaan saya ketika menonton rangkaian adegan berantam antara pasukan SWAT dan anak buah Tama dilorong-lorong apartemen itu mengatakan bahwa adegannya mirip sekali dengan permainan game online perang-perangan yang yang biasa dimainkan anak saya di komputer. Laga gaya "Hollywood" nya terasa sekali, apalagi ketika akhirnya pasukan yang dipimpin seorang yang bernama Sersan Jaka hanya tinggal beberapa orang saja harus melawan sekian banyak penghuni apartemen tersebut. Aksi seperti ini tampak disengaja karena yang dibidik sang sutradara adalah pasar Amerika. Setelah itu aksi heroik pemeran utamanya bernama Rama yang diperankan Iko Uwais pun dimulai. Poin ke dua dari film ini adalah adegan sadis dan berdarah-darah dikemas dengan sangat apik sehingga saya (ibu-ibu) tidak menjadi takut dan jijik melihatnya dan tak perlu harus menutup mata dengan sepuluh jari karena diselipi dengan humor yang cukup lucu.

Adegan berlanjut terus, bagaimana sang hero menyelamatkan temannya dari kepungan, kesadisan sang good father, dan aksi anak buah sang gembong. Adegan dibuat alami dan penonton awam seperti saya dapat membayangkan kejadian tersebut mungkin saja terjadi di beberapa wilayah ibukota, toh buktinya ada kasus pembunuhan oleh gangster kan belum lama ini di sebuah hotel. Poin ketiga saya katakana karenah film ini benar-benar memanjakan mata penonton karena para bintang tak perlu nyinyir bicara, dari gambar yang tersaji penonton bisa merangkai sendiri apa yang tengah dirasakan oleh pemeran masing-masing suatu hal yang tampaknya perlu dilakukan sineas lain. Film adalah wilayah virtual bukan audio, jadi gambarlah yang seharusnya berbicara.

Selain Iko Uwais yang bermain memang cantik, peran Tama yang dimainkan Ray Sahetapy tampak menjadi poin lain dari film ini. Kepiawaiannya memainkan peran menunjukkan bahwa dia belum habis dimakan jaman. Kejayaannya dulu yang sering diakui jagad perfilman Indonesia masih tetap terasah.

Nilai jual tertinggi dari sekian adegan adalah ketika terjadi laga antara Rama dan kakaknya Jaka (yang diperankan oleh Donny Alamsyah) dan Mac Dog (Yayan Ruhiyat) karena keindahan seni beladiri Indonesia asli yaitu silat sangat terlihat. Di sini selain bela diri cantiknya tampak pula kepandaian Yayan Ruhiyat dalam berakting. Dia mampu memerankan bagaimana seorang yang benar-benar setia kepada bos. Mukanya yang lugu dan tak memiliki pretensi apapun selain kesetiaan itu sendiri. Poin lain dari sang sutradara adalah kepandaiannya menemukan bakat-bakat hebat dan punya daya jual tinggi dari orang-orang Indonesia kebanyakan.

Terakhir pujian saya terhadap film ini adalah kehebatan mereka yang mampu memamfaatkan hanya sedikit sekali lokasi shooting tanpa membuat kita tidak bosan, tentu saja biaya bisa ditekan sedemikian rupa. Pepatah ekonomi lama berlaku di sini dengan biaya semurah-murahnya untuk menghasilkan laba sebesar-besarnya (semoga semua pihak yang terlibat telah menikmatinya)

Namun demikian, sebagai seorang ibu saya tetap memiliki kritik bahwa film ini terlalu sadis untuk anak-anak remaja, sepertinya perlu ada peringatan agar mereka tidak menirukan adegan tersebut. Terus hal lain adalah gayanya yang sangat Amerika itu mungkin bisa dikurangi sang sutradara pada film-film berikutnya.

Selamat Menonton dan Hiduplah Perfilman Indonesia !!!

HF

Tangerang, 1 April 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun