Â
- PENDAHULUAN
Polisi adalah sebuah institusi pemerintah yang bergerak di bidang keamanan dan ketertiban dalam negeri. Dalam perkembangannya model perpolisian berubah dari waktu ke waktu dari polisi yang berparadigma kekuasaan menjadi polisi yang berparadigma masyarakat. Dahulu tugas polisi dijabarkan sebagai Bureaucratic Policing atau ‘Perpolisian Birokratik’ ditandai antara lain oleh kiprah polisi yang sifatnya impersonal, hirarkis, otoritatif, dan tersentralisasi. Era gaya perpolisian birokratik pada akhirnya tidak dapat diterima dengan baik.
Kemudian pada tahun 1840-an hingga 1930-an mulailah era Political Policing yang dicirikan oleh hadirnya pengaruh politis yang substansial dalam segala lini tugas kepolisian dimana ada campur tangan kepentingan politik dalam penyelenggaraan perpolisian yang menyebabkan polisi dianggap sebagai salah satu alat kekuasaan. Pada era ini masyarakat menganggap polisi mendapat pengaruh politis yang berlebihan, tidak efektiv dalam melaksanakan tugas, dan merupakan salah satu perwujudan aparat yang korup.
Mengatasi permasalahan di era political policing dimana polisi dianggap sebagai alat kekuasaan, kemudian dikembangkanlah era Legalistic Policing. Perpolisian model ini menerapkan prinsip organisasi klasik serta penegakan hukum yang ketat yang membuat polisi hanya sebagai alat penegakkan hukum formal semata. Gaya perpolisian ini kemudian juga tidak dapat mengambil hati masyarakat karena polisi dinilai sebagai sebuah mesin yang menjalankan hukum secara "text book" dan kaku. Kemudian untuk memperbaiki era legalistik yang kaku maka dimasukilah era Service Policing yang pengaruhnya mulai dirasakan sejak tahun 1960-an. Pada era ini hubungan antara polisi dan masyarakat mulai coba didekatkan dan menghindari jarak. Pada era ini kinerja polisi lebih ditekankan pada community relations serta pencegahan tindak kriminal.
Selain jalur di atas, ada juga gaya Paramilitary Policing yang ditandai dengan pendekatan militeristik dan otoriter terhadap penegakan hukum. Pada gaya ini polisi sering bersikap dingin, keras dan tanpa menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Gaya tersebut dianggap sebagai modal utama dalam menuju profesionalisme polisi, namun anggapan itu terbukti salah karena gaya perpolisian tersebut justru semakin menjauhkan polisi dari masyarakat. Gaya paramilitary policing ini dianut oleh Indonesia di masa Orde Baru dimana polisi merupakan bagian dari ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia).
Pada masa-masa tersebut, banyak permasalahan muncul terutama dalam hubungan polisi dan masyarakat. Berbagai permasalahan dan persepsi yang timbul di masyarakat terhadap polisi ini kemudian menjauhkan hubungan masyarakat dan polisi yang muaranya mengakibatkan menurunnya citra Polisi dimata publik. Melihat hal ini tidak sedikit pakar yang kemudian merasa rindu kepada suasana harmoni antara polisi dan masyarakat dulu. Masa dimana polisi hadir di tengah masyarakat karena masyarakat membutuhkan kehadiran polisi untuk menjaga kehidupannya. Kemudian para pemerhati kepolisian mencoba untuk merubah paradigma itu dan membawa suasana demokratik policing dalam kehidupan Polri dan masyarakat Indonesia. Dari sana berkembanglah beberapa paradigma perpolisian seperti Problem Oriented Policing, Community Based Policing (CBP), Community Oriented Policing, dan Community Policing.
Community policing adalah suatu strategi perpolisian dimana masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dilibatkan dalam berbagai kegiatan kepolisian untuk mencapai tujuan kepolisian yaitu mewujudkan public safety, dan pelaksanaannya dapat dilakukan bersama atau atas nama polisi. Polisi dalam paradigma community policing mendorong masyarakat untuk menyadari bahwa keamanan masyarakat merupakan tanggung jawab bersama dan oleh karena itu masyarakat didorong untuk aktiv dalam upaya menjaga keamanan tersebut. Community policing juga memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa dalam menangani masalah keamanan ini akan lebih maksimal pelaksanaannya apabila dilakukan hubungan yang kolaboratif dan konsultatif antara polisi, berbagai kelompok masyarakat, dan institusi publik maupun swasta.
Namun, perpolisian yang berparadigma masyarakat tidak dapat lepas dari sistem budaya yang ada dalam masyarakat tersebut. Jika polisi hadir sebagai sebuah sistem sosial yang berfungsi untuk menjaga sistem budaya tersebut maka corak dari perpolisian ini tidak dapat lepas dari corak sistem budaya masyarakat Indonesia. Pada akhirnya, segala paradigma itu teramalgamasikan dengan sistem budaya masyarakat Indonesia dan membentuk sebuah paradigma perpolisian baru yang bersifat Indonesiais yang disebut Polmas. Jadi penulis tegaskan kembali disini bahwa Polmas bukan merupakan community policing, Polmas adalah Community Policing as Democratic Policing yang bersifat Indonesia.
Polmas memegang peranan penting dalam mensukseskan tujuan kepolisian yaitu mewujudkan public safety karena dewasa ini permasalahan dalam kamtibmas semakin membesar dan multibidang. Sedangkan negara sebagai fungsi eksekutif mempunyai keterbatasan dalam mendukung pelaksanaan tugas Polri. Keterbatasan inilah yang harus disiasati oleh Polri sehingga tujuan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban di masyarakat tetap terwujud. Cara mensiasatinya menurut penulis adalah dengan melibatkan partisipasi masyarakat dalam mencapai tujuan tersebut. Sesuai dengan salah satu unsur utama polmas yaitu partisipasi masyarakat.
Melihat karakteristik masyarakat yang sangat beragam dan aktivitas yang selalu ramai selama 24 jam, penulis merasa perlu melihat dan meninjau pelaksanaan Polmas di wilayah hukum Polsek Metro Tamansari. Lokasi ini dipilih karena menurut berita yang berkembang pelaksanaan Polmas di Polsek Metro Tamansari merupakan salah satu yang berhasil di wilayah Polda Metro Jaya. Dengan melakukan kunjungan ini maka penulis berharap dapat mengetahui gambaran nyata pelaksanaan Polmas di wilayah Polsek Metro Tamansari dan menganalisanya sehingga dapat dijadikan bahan masukan untuk pengambil kebijakan level pimpinan Polri.
Â
- LANDASAN KONSEPTUAL