Â
(1). Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran.
Â
(2). Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya. [2]
Dengan meratifikasi konvenan internasional tersebut, berarti pemerintah Indonesia sependapat bahwa keyakinan agama merupakan salah satu hak asasi manusia yang harus dilindungi. Peratifikasian peraturan tersebut juga menegaskan bahwa pemerintah bersedia dan wajib untuk melindungi hak-hak warga untuk beragama. Hal ini juga berarti pemerintah memberikan segala perlindungan dan upaya penangkalan terhadap segala gangguan yang dapat mengancam kebebasan orang untuk memeluk keyakinan agama yang dipercayanya.Â
Kejadian Cikeusik banyak menimbulkan pertanyaan dari berbagai pihak mengenai komitmen pemerintah untuk melakukan perlindungan terhadap kebebasan untuk beragama tersebut karena sebenarnya gelombang penolakan terhadap Ahmadiyah ini sudah berlangsung sejak lama. Upaya pemerintah untuk melindungi kebebasan beragama semakin diragukan ketika terbit Surat Keputusan pemerintah yang diwakili oleh Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung mengeluarkan Surat Keputusan Bersama pada tanggal 9 Juni 2008, yang memerintahkan kepada penganut Ahmadiyah untuk menghentikan kegiatannya yang bertentangan dengan Islam.[3] Walaupun tujuan pemerintah adalah untuk menjaga situasi keamanan dan melindungi warga Ahmadiyah, kemudian menjadi pertanyaan apakah ini merupakan langkah yang terbaik dan satu-satunya? Karena dengan timbulnya surat keputusan bersama ini, warga Islam yang berpaham keras akan semakin gencar untuk melancarkan gelombang penolakan terhadap jamaah Ahmadiyah. Lalu dimana asas kebebasan dalam beragama dipahami dalam keputusan bersama ini?
Akumulasi gelombang penolakan itu akhirnya memuncak saat tragedi Cikeusik terjadi. Dalam tragedi ini potensi kerawanan sebenarnya sudah diketahui oleh pemerintah baik pemerintah daerah maupun pihak kepolisian. Pihak pemerintahpun sempat melakukan mediasi kedua pihak namun hal itu tidak membuahkan hasil. Dalam kejadian ini pihak kepolisian dinilai kurang siap dalam mengantisipasi terjadinya konflik. Hal ini dapat dilihat dari jumlah pasukan yang berjaga sangatlah sedikit dibandingkan dengan jumlah massa yang ada yaitu sekitar 1500 orang. Kerawanan ini tidak terprediksi oleh fungsi intelijen dengan baik yang mengakibatkan salahnya penanganan yang dilakukan. Saat kejadian pengeroyokan itu terjadi, petugas dibuat seolah tidak berdaya oleh kekuatan massa. Anggota polisi hanya bisa berdiri terdiam menyaksikan kejadian yang telah berlangsung. Jika kita melihat kembali video tentang tragedi Cikeusik, maka seolah-olah terlihat pembiaran yang dilakukan pemerintah sementara warga dengan penuh emosi menganiaya penganut Ahmadiyah.Â
Apabila kekuatan personil yang disiagakan lebih banyak dan cara bertindak direncanakan dengan baik, banyak pihak berpendapat bahwa kejadian ini bisa dihindari.Faktanya, pada saat kejadian personil kepolisian yang memimpin pengamanan hanyalah Kapolsek yang berpangkat perwira pertama, dan Kapolres bahkan tidak ada di lokasi. Ini berarti Kapolres masih belum menganggap serius permasalahan ini sehingga tidak perlu datang untuk menangani secara langsung. Lalu apakah salah jika masyarakat menganggap polisi kurang serius dalam melakukan tugasnya?Â
Menurut Routine Activities Theory yang dikembangkan oleh Marcus Felson, kejahatan bisa terjadi bila terdapat pertemuan antara 3 faktor yaitu : motivated offender, suitable target, dan absense of capable guardians.[4] Ketika masyarakat berkumpul untuk mengusir warga Ahmadiyah, tidak ada jumlah petugas yang cukup untuk mengahalangi kejadian tersebut. Jumlah yang tidak sebanding ini menimbulkan faktor ketiadaan penjaga yang berkompeten dalam faktor penyebab terjadinya kejahatan.
Setelah kejadian terjadi, dilakukan upaya penangkapan terhadap sejumlah pihak yang dianggap turut andil dalam terjadinya pengeroyokan tersebut. Beberapa polisi pun diperiksa secara internal dikarenakan lalai dalam melaksanakan tugas dan mendapatkan hukuman disiplin. Sejumlah pejabat Polda Banten termasuk Kapolda juga dimutasi karena dinilai lalai dalam bertugas.Â
Proses hukum bagi pelaku pengeroyokan tragedi Ahmadiyah telah dijalankan sampai proses persidangan. Namun keputusan hakim dalam menghukum pelaku kembali mendapat kritikan karena pelaku rata-rata hanya dihukum 6 - 12 bulan. Sikap dari penegak hukum yang merupakan bagian dari pemerintah mengundang keraguan dari para penggiat HAM. Putusan hakim dinilai tidak mewakili rasa keadilan masyarakat. Disini sekali lagi komitmen pemerintah untuk melindungi HAM dipertanyakan.