Mohon tunggu...
andaru rahutomo
andaru rahutomo Mohon Tunggu... rakyat jelata -

fulfilling a never ending purpose

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Analisa Fishbone Kasus Kerusuhan SARA Tarakan Tahun 2010

11 November 2015   19:57 Diperbarui: 17 November 2015   16:38 1554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

 

ANALISA KASUS KERUSUHAN SARA TARAKAN TAHUN 2010

  1. LATAR BELAKANG

Jika kita melihat sejarah bangsa Indonesia, maka kita akan tahu bahwa Indonesia dari sebelum merdeka terdiri dari berbagai macam suku bangsa dan budaya, ada suku Jawa, Aceh, Batak, Melayu, Sunda, Dayak, Bugis, dan lain-lain. Dari seluruh suku bangsa tersebut semuanya kemudian bersatu melawan penjajahan yang ada di Indonesia. Setelah merdeka, timbul perdebatan antara Soekarno dan Syahrir mengenai bentuk negara apakah sebuah negara republik kesatuan atau negara federal dengan mempertimbangkan banyaknya suku bangsa tersebut. Akhirnya diputuskan bahwa bentuk negara kita adalah negara kesatuan dengan maksud agar beragam suku bangsa yang tinggal di Indonesia dapat bersatu memperkokoh daya tangkal Indonesia.

Keragaman suku bangsa ini selain membawa keuntungan ternyata juga mememuncukan banyak masalah, terutama masalah yang berakar pada paham primordialisme yang berlebih. Paham kesukuan ini sering menyebabkan terjadinya konflik antar suku bangsa karena masing-masing suku ingin mempertahankan eksistensinya. Seperti yang terjadi di Tarakan pada tahun 2010 lalu, kerusuhan antar etnis telah menyebabkan banyaknya korban jiwa yang jatuh dan terganggunya stabilitas keamanan.

Tarakan merupakan kota yang kaya akan minyak, bahkan dari zaman Belanda kota ini mendapatkan perhatian yang lebih karena sumber dayanya. Kekayaan Tarakan yang meupakan kota industri ini kemudian mengundang banyak pendatang dari luar Tarakan untuk datang dan mencari pekerjaan. Membludaknya pendatang ini perlahan-lahan menyingkirkan  keberadaan suku asli Tarakan yaitu suku Tidung. Kesenjangan sosial dan ekonomi yang terjadi antara penduduk asli dan pendatang menjelma menjadi  sebuah bara api yang mudah disulut ketika ada permasalahan kecil yang timbul. Seperti yang terjadi pada tangal 26 September 2010 yaitu kerusuhan antara suku Tidung dengan suku Bugis Letta yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa, dirusaknya bangunan, serta lumpuhnya kegiatan perekonomian di Tarakan. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai apa penyebab dari kasus kerusuhan Tarakan ini, penulis kemudian membuat sebuah studi analisa ke dalam sebuah makalah berjudul "Analisa Kasus Kerusuhan SARA Tarakan Tahun 2010"

  1. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian singkat yang penulis uraikan dalam latar belakang masalah di atas, penulis merasa perlu untuk merumuskan permasalahan dengan maksud agar pembahasan dapat menjadi lebih fokus dan mempunyai batasan yang jelas. Adapun rumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:

1)    Faktor apa yang menyebabkan mendorong munculnya konflik di Tarakan yang berujung pada tawuran antara suku Tidung dengan suku Bugis Letta?

2)    Bagaimana solusi jangka panjang untuk mencegah situasi tersebut terulang kembali di Tarakan?

III. PEMBAHASAN

Tarakan merupakan sebuah kota industri di provinsi Kalimantan Timur yang multi etnis. Daya tarik ekonominya menarik banyak orang dari luar Tarakan untuk datang dan bekerja. Namun kondisi multi etnis ini kemudian menjadi sebuah potensi gangguan keamanan karena dewasa ini suku Tidung mulai tergeser oleh pendatang yang menempatkan suku Tidung sebagai suku kelas bawah lower class dalam kelas sosial di daerahnya sendiri. Hal ini terjadi karena secara sosial dan ekonomi suku Tidung memang tertinggal dari suku pendatang. Kesenjangan sosial ekonomi inilah yang kemudian menimbulkan rasa iri dan dapat menjadi potensi pertikaian antar suku.

Senin dini hari tanggal 27 September 2010 di Perum Korpri Tarakan, Kalimantan Timur dua kelompok warga di kota Tarakan terlibat bentrokan massal. Hal ini dipicu akibat tewasnya Abdullah bin H. Salim terkena tusukan senjata tajam yang dilakukan oleh warga suku Bugis Letta. Sebelumnya Abdul Rahmadsyah yang merupakan anak Abdullah dikeroyok oleh sekelompok pemuda Bugis Letta dan melaporkan kejadian itu kepada ayahnya. Kemudian Abdullah beserta 6 orang keluarga dari Suku Tidung mendatangi sebuah rumah yang diduga sebagai rumah tinggal satu diantara  pengeroyok di Perum Korpri , Tarakan Utara dengan membawa senjata tajam seperti mandau, tombak, dan parang. Penghuni rumah yang mengetahui bahwa rumahnya akan diserang segera mempersenjatai diri dengan senjata tajam berupa badik dan parang. Kemudian terjadilah perkelahian antara kelompok Abdullah dengan penghuni rumah tersebut yang mengakibatkan  Abdullah meninggal dunia terkena sabetan senjata tajam. 30 menit kemudian terjadi penyerangan dan  pengrusakan terhadap rumah milik Noodin (Warga Suku Bugis Letta) oleh 50 orang warga suku Tidung bersenjata mandau, parang, dan tombak. Kerusuhan kemudian masih berlanjut dengan serangkaian aksi pembakaran rumah, pengrusakan properti, dan pengeroyokan terhadap sejumlah warga Bugis Letta. [1]

Pukul 20.30 Wita hingga 22.30 Wita, berlangsung pertemuan yang dihadiri unsur pemda setempat, seperti Wali Kota Tarakan, Sekda Kota Tarakan, Dandim Tarakan, Dirintelkam Polda Kaltim, Dansat Brimob Polda Kaltim, Wadir Reskrim Polda Kaltim, serta perwakilan dari suku Bugis dan suku Tidung di Kantor Camat Tarakan Utara. Dalam pertemuan itu, disepakati bahwa masalah yang terjadi adalah masalah individu. Para pihak bertikai sepakat menyerahkan kasus tersebut pada proses hukum yang berlaku. Polisi segera bergerak mencari pelaku. Semua tokoh dari elemen-elemen masyarakat memberikan pemahaman kepada warganya agar dapat menahan diri. 

Selasa 28 September 2010 pukul 11.30 WITA, telah diamankan 2  orang yang diduga kuat sebagai pelaku pembunuhan Abdullah yaitu BAHARUDIN dan BADARUDIN. Namun pada Selasa malam pukul 20.21 WITA, terjadi lagi bentrokan warga dan aksi pembakaran terhadap rumah milik H SANI (salah seorang tokoh Suku Bugis Latte Pinrang). Massa yang diperkirakan berjumlah 300 orang melakukan aksi tersebut yang mengakibatkan 1 (satu) rumah terbakar dan 2 (dua) korban meninggal dunia. [2]

Situasi Tarakan masih mencekam, kedua kubu masih bersiaga membawa beraneka senjata tajam, jalanan menuju bandara dan pelabuhan pun diblokir oleh massa. Warga yang ketakutan kemudian berbondong-bondong menuju ke tempat pengungsian. Pada Rabu malam kemudian diadakan mediasi antara pihak suku Tidung dan suku Bugis di bandara Juwata oleh Gubernur Kaltim. Dari hasil mediasi dicapau kesepakatan bahwa kedua belah pihak sepakat untuk mengakhiri konflik dan menyerahkan proses hukum kepada kepolisian. 

Kerusuhan yang terjadi di Tarakan ini merupakan akumulasi dari faktor korelatif gangguan keamanan yang tidak tertangani dengan baik. Apabila masing-masing faktor penyebab dapat ditangani maka kerusuhan seharusnya dapat dihindari. Untuk mempermudah pembaca memahami permasalahan ini, penulis akan menggambarkan faktor korelatif pendukung terkait kerusuhan SARA Tarakan ini.

Dari bagan di atas terlihat berbagai faktor yang menurut penulis mempengaruhi terjadinya kerusuhan di Tarakan. Dari segi ideologi, paham primordialisme masih kental dianut oleh etnis di Tarakan. Mereka cenderung menganggap sukunya lebih unggul dan mengutamakan kepentingan satu suku. Suku Tidung pun menganggap bahwa mereka adalah penduduk asli yang berhak atas wilayah Tarakan. Penyebab lainnya adalah korban atas nama Abdullah merupakan tokoh masyarakat suku Tidung, hal ini kemudian membuat suku Tidung merasa harga dirinya dilecehkan oleh pendatang.

Bidang ekonomi mempunyai andil yang besar dalam timbulnya kasus kerusuhan ini. Pendatang yang datang ke kota Tarakan cenderung lebih sukses dibandingkan dengan suku asli, malah dapat dikatakan suku asli termasuk ke dalam masyarakat kelas bawah (lower class). Kesenjangan ekonomi inilah yang kemudian menyebabkan adanya kecemburuan, iri, bahkan dendam yang dirasakan oleh penduduk asli. 

Kondisi di bidang ekonomi ini kemudian berimbas juga pada kondisi sosial budaya di Tarakan. Kondisi multi etnis di Tarakan yang sudah merupakan kerawanan konflik diperburuk dengan enggannya masing-masing kelompok untuk saling bergaul antar etnis. Kelompok pendatang cenderung mengeksklusifkan diri dan membuat pengkotakkan kelompok masyarakat. Akulturasi budaya yang seharusnya dapat mempererat kerukunan antar etnis pun tidak terjadi karena kurangnya komunikasi. Dengan semakin majunya perekonomian pendatang, terjadi juga perubahan tatanan sosial yang menempatkan kaum pendatang di posisi sosial yang lebih tinggi dari suku asli. Terbentuknya tatanan yang baru di segala bidang akibat mobilitas pendatang mengakibatkan penduduk asli tersisih, dan hal ini dianggap oleh penduduk asli sebagai ancaman terhadap eksistensi mereka. Oleh karena itu timbullah gerakan mengembalikan dominasi lama dan membangkitkan semangat anti pendatang.

Faktor komunikasi juga mengambil peran penting dalam timbulnya kasus ini. Komunikasi yang buruk antar tokoh masing-masing kelompok membuat hubungan antar kedua kelompok menjadi kaku. Ditambah sebelum kejadian, ada isu yang beredar bahwa ada warga suku Tidung yang diperkosa oleh suku pendatang dan ada juga warga suku Tidung yang dikeroyok oleh suku Bugis. Isu negatif ini kemudian tidak mendapatkan penanganan yang baik oleh pemerintah sehingga menyebar secara cepat di masyarakat dan menyebabkan tersulutnya emosi massa. Pada saat itu massa sampai pada pemikiran tidak mempermasalahkan kebenaran dari berita dan menganggap bahwa keberadaannya telah terusik oleh kaum pendatang.

Faktor terakhir yang menyebabkan kerusuhan ini dapat terjadi adalah kurangnya kesigapan Polri dalam menangani bibit permasalahan. Lemahnya  early detection dan early warning sebagai bahan masukan pimpinan mengakibatkan keterlambatan penanganan yang akhirnya menyebabkan kerusuhan ini semakin meluas. Yang menjadi pemicu kejadian ini adalah pengeroyokan yang dilakukan oleh warga Bugis kepada anak Abdullah. Kalau saja pelaku dapat segera ditangkap oleh polisi mungkin saja Abdullah tidak akan mencari sendiri pelakunya. Lalu kenapa masyarakat tidak melaporkan kepada polisi setelah kejadian pidana terjadi? Hal ini karena tidak adanya kepercayaan masyarakat kepada polisi. Masyarakat mengambil tindakan pribadi dikarenakan masyarakat menganggap polisi tidak mampu mengatasi masalah yang timbul. Dan ketidakpercayaan ini tentunya tidak timbul dalam satu hari namun merupakan pandangan masyarakat terhadap sikap polisi di Tarakan.

Penyelesaian konflik jangka pendek telah dilaksanakana melalui mekanisme mediasi yang dihadiri oleh kedua pihak. Namun untuk mencegah kejadian ini terulang kembali maka dibutuhkan solusi jangka panjang yang melibatkan semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat Tarakan. Permasalahan yang terjadi di Tarakan sebenarnya adalah masalah kesenjangan ekonomi, sosial dan budaya antara penduduk asli dan pendatang, untuk itu penulis menyarankan untuk melakukan langkah-langkah antara lain:

Pertama, perlu dibuatnya sebuah kesepakatan perdamaian antara suku Tidung dan pendatang yang diwakili oleh tokoh-tokoh yang dianggap di kelompoknya masing-masing. Tokoh-tokoh yang mewakili ini haruslah benar-benar mempunyai pengaruh sosial yang kuat sehingga perkataannya didengar oleh warga. 

Kedua, pemerintah sebagai pranata sosial hendaknya menyusun kebijakan yang mendorong penduduk lokal untuk maju sehingga dapat mempunyai strata sosial dan ekonomi yang sama dengan warga pendatang. Dengan tidak adanya kesenjangan dalam sosial dan ekonomi maka kecemburuan akan terkikis dengan sendirinya. Untuk itu perlu diciptakan kebijakan peningkatan pendidikan bagi anak, pemberian ketrampilan, dan serta penciptaan lapangan kerja sehingga kesejahteraan penduduk asli dapat meningkat.

Ketiga, aparat pengampu tugas penjaga keamanan harus dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Mendeteksi segala ancaman kecil yang ada, cepat melakukan penindakan terhadap pelanggaran hukum yang dapat menyulut konflik, serta melaksanakan tugas dengan profesional sehingga meningkatkan kepercayaan masyarakat. 

Keempat, pemerintah harus lebih aktiv membuat kegiatan bersama yang dapat mempererat hubungan dan meningkatkan komunikasi antar etnis. Dengan komunikasi yang lancar maka batas-batas antar suku bangsa dapat cair dengan sendirinya.

  1. KESIMPULAN DAN SARAN.

Peristiwa kerusuhan SARA merupakan peristiwa yang timbul akibat adanya kesenjangan sosial dan ekonomi antara penduduk asli dan pendatang. Kesenjangan yang terjadi menimbulkan adanya kecemburuan sosial yang merupakan faktor penyebab perpecahan. Keacuhan pemerintah dan pembiaran terhadap peristiwa  yang dapat menyulut emosi warga kemudian dapat meningkatkan semangat anti pendatang yang berujung pada timbulnya konflik. 

Untuk mengatasi konflik ini diperlukan solusi jangka panjang yang melibatkan semua pihak baik pemerintah dan masyarakat, antara lain:

1)    Perlunya dibuatnya sebuah kesepakatan perdamaian antara suku Tidung dan pendatang untuk merajut kembali kebersamaan.

2)    Perlunya pemerintah membuat kebijakan yang mendorong penduduk asli untuk memcapai kesejahteraan ekonomi dan sosial yang sama dengan warga pendatang.

3)    Polri harus dapat menjalankan tugasnya dengan baik, profesional, sigap, bersikap adil, dan tegas.

4)    Pemerintah harus lebih aktiv membuat kegiatan bersama yang dapat mempererat hubungan dan meningkatkan komunikasi antar etnis.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

[1]http://www.tribunnews.com/nasional/2010/09/30/ini-kronologi-lengkap-kerusuhan-tarakan-versi-polri?

[2] https://id.wikipedia.org/wiki/Kerusuhan_Tarakan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun