Mohon tunggu...
Andari Thaneshafitri
Andari Thaneshafitri Mohon Tunggu... Mahasiswa - UNJ

An Education Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Peranan Pendidikan Karakter dalam Pembentukan Generasi 'Indonesia Baru'

7 Juni 2022   21:34 Diperbarui: 7 Juni 2022   21:52 548
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perubahan merupakan suatu keniscayaan dan tidak ada seorang pun yang dapat menghindarinya. Terlebih pada saat ini, kita tengah berada di era revolusi industri 4.0. Menurut Schwab (2016), perbedaan era revolusi industri 4.0 dengan era revolusi sebelumnya terletak pada pemanfaatan teknologi yang menggabungkan antara teknologi mesin dan teknologi kecerdasan buatan atau yang disebut dengan Artificial Intelligence (AI).

Revolusi industri 4.0 membuka peluang seluas-luasnya bagi siapapun untuk maju dan berkembang. Dapat kita lihat bahwa teknologi informasi kini semakin mudah diakses dan semua orang kini dapat dengan mudah terhubung melalui jejaring sosial. Informasi yang sangat melimpah tentunya akan memberikan manfaat yang sangat besar, salah satunya bagi dunia pendidikan. Namun demikian, di sisi lain revolusi industri 4.0 selain menyediakan peluang, era ini juga dapat diartikan sebagai tantangan bagi generasi abad ke-21. Hal ini sejalan dengan pandangan Loveder (2017) yang menyatakan bahwa era revolusi industri 4.0 memberikan kemudahan keterhubungan secara global, membuka kesempatan baru di dalam aktivitas pasar barang dan jasa, seperti pangan, pendidikan, dan pariwisata. Di sisi lain, perkembangan teknologi ini juga berdampak pada hilangnya 75% jenis pekerjaan manusia yang tergantikan oleh mesin (Karnawati, 2017). Oleh karena itu, pendidikan perlu hadir sebagai suatu instrumen pembelajaran yang sesuai dengan ‘tagihan’ pendidikan abad ke-21. Dalam dunia pendidikan, adanya revolusi industri 4.0 ini bukan hanya berdampak pada digitalisasi sistem pendidikan saja, melainkan juga tuntutan akan diperlukannya pengembangan Pendidikan Karakter. Melalui pendidikan karakter, diharapkan dapat dihasilkan output pendidikan berupa generasi ‘Indonesia baru’ yang siap menghadapi berbagai tantangan abad ke-21.

Kata karakter berasal  dari bahasa Inggris, character, yang juga berasal dari bahasa Yunani, charaissein, yang artinya ‘mengukir’ (Munir, 2010). Dirjen Pendidikan Agama Islam Kementerian Agama Republik Indonesia mengemukakan bahwa karakter (character) dapat diartikan sebagai totalitas ciri-ciri pribadi yang melekat dan dapat diidentifikasi pada perilaku individu yang bersifat unik, artinya dapat membedakan antara sifat satu individu dengan yang lainnya. Adapun pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras, dan sebagainya (Thomas Lickona, 1991).

Sejalan dengan hal tersebut, Aristoteles mengungkapkan bahwa karakter memiliki keterkaitan yang erat dengan habit atau kebiasaan yang dimanifestasikan dalam bentuk tingkah laku. Sedangkan Russell Williams (dalam Megawangi, 2007) mengilustrasikan bahwa karakter adalah ibarat 'otot', dimana otot-otot karakter akan menjadi lembek apabila tidak pernah dilatih, dan akan kuat dan kokoh kalau sering dipakai. Seperti seorang binaragawan (body builder) yang terus-menerus berlatih untuk membentuk ototnya, otot-otot karakter juga akan terbentuk dengan praktik-praktik latihan yang akhirnya akan menjadi kebiasaan (habit). 

Namun demikian, berbuat baik sebatas sebab ‘pembiasaan’ melalui praktik-praktik latihan saja tidaklah cukup. Karakter baik perlu mengakar kuat pada diri setiap manusia hingga manusia tersebut dapat menyadari dan menghargai pentingnya nilai-nilai tersebut (valuing). Contohnya, seorang siswa yang berusaha datang ke sekolah tepat waktu karena adanya sanksi yang diberikan kepada siswa yang terlambat, belum tentu ia menjunjung tinggi nilai kedisiplinan itu sendiri. Oleh karena itu komponen penting yang juga harus diperhatikan pada pendidikan karakter bagaimana menumbuhkan rasa keinginan untuk berbuat baik adalah bersumber dari kecintaan untuk berbuat baik (loving the good). Aspek kecintaan inilah yang disebut Piaget sebagai sumber energi dari dapat berfungsinya secara efektif pengetahuan tentang moral, sehingga bisa membuat seseorang mempunyai karakter yang konsisten (Megawangi, 2007).

Di samping itu, pengembangan moral dan karakter juga tentunya tidak terlepas dari peran keluarga, sekolah, dan masyarakat. Misalnya, perkembangan rasa empati pada diri anak.  Rasa empati di dalam diri anak dapat terus hidup dan berkembang dan dapat pula hilang, tergantung bagaimana anak tersebut dididik dan dibesarkan oleh lingkungannya. Terkait dengan hal ini, Ibn Jazzar Al-Qairawani, seorang dokter dan filsuf abad ke-10, mengatakan bahwa “Sifat-sifat buruk yang timbul dari anak bukan berasal dari fitrah. Tetapi timbul karena kurangnya peringatan sejak dini dari orangtua dan para pendidikan. Semakin dewasa, semakin sulit meninggalkan sifat-sifat tersebut. Banyak orang dewasa yang menyadari sifat buruknya, tetapi tidak mampu mengubahnya karena sifat tersebut sudah mengakar di dalam dirinya dan menjadi kebiasaan yang sulit ditinggalkan”. Sejalan dengan hal tersebut, Thomas Lickona berpendapat bahwa aspek feeling, loving, dan acting the good, dapat diajarkan dan dibentuk, dan yang paling efektif dilakukan adalah sejak kanak-kanak.

Perkembangan awal memang sangat kritis jika dibandingkan dengan perkembangan selanjutnya. Bagaimana tidak? Selama masa krisis perkembangan, para ahli perkembangan sepakat bahwa pada saat itulah setiap neuron perlu distimulasi secepatnya sehingga dapat berintegrasi dengan neuron lainnya sebab jika tidak digunakan neuron akan mati. Maka tidaklah berlebihan apabila Woodworth, seorang ahli psikologi, mengatakan bahwa “The child is a father of a man”, yang dapat dimaknai sebagai masa kanak-kanak merupakan penentu bagaimana manusia itu kelak.

Sebuah riset otak yang dilakukan oleh Dr. Bruce D. Perry menunjukan bahwa mereka yang mempunyai fungsi batang otak dan otak tengah dominan, cenderung gemar melakukan kekerasan. Sebaliknya, fungsi bagian otak limbic (emosi/cinta) dan korteks (berpikir) mereka lemah. Sedangkan manusia yang bijak adalah mereka yang dapat menggunakan akalnya dengan baik serta mempunyai empati atau rasa cinta yang tinggi, yang ditunjukan oleh fungsi otak korteks dan limbic yang dominan. Perkembangan keempat bagian otak ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan pengasuhan (nurture) sejak kecil, yaitu apakah seorang anak kurang diberikan kasih sayang, rasa aman, dan stimulasi (neglect), atau banyak diberikan ancaman, makian dan pukulan (trauma). Seseorang anak yang mengalami neglect dan trauma, bagian otak reptilnya cenderung lebih banyak berperan, seperti halnya hewan yang cenderung dalam dalam keadaan siaga; menyerang, bertahan, atau lari. Sedangkan bagian limbic dan korteksnya menjadi kurang berfungsi, sehingga bagian otak korteksnya menjadi tidak berkembang secara optimal. Orang tersebut akan berkembang menjadi pribadi yang violence, atau menderita affective blindness, yaitu sulit untuk berempati dan bersimpati pada penderitaan orang lain. Hasil penemuan Dr. Perry menunjukan bahwa manusia yang agresif, impulsive, atau violent, mempunyai lapisan korteks yang lebih tipis dibandingkan manusia yang jiwanya sehat, termasuk juga bagian reptilnya yang lebih tebal.

Sebaliknya, seorang anak yang mendapatkan kasih sayang maka fungsi otak limbicnya berkembang dengan optimal,dan emosi yang positif ini akan merangsang keluarnya hormon yang dapat merangsang bekerjanya zat-zat neurotransmitter antar sel, sehingga otak korteks (berpikir) dapat berkembang secara optimal. Selain itu, apabila seorang anak mendapatkan pendidikan yang dapat menghidupkan rasa empati dengan latihan dan praktik nyata, maka ini akan meningkatkan fungsi luhur anak tersebut. Selain neglect dan trauma, pengaruh alkohol. Menurut Perry, perkembangan otak yang normal pun dapat dirusak oleh penggunaan alkohol yang terus menerus (Megawangi, 2007).

Oleh karena itu, menjadi penting bagi kita, para pendidik dan masyarakat, untuk menyediakan lingkungan yang kondusif bagi setiap anak untuk dapat berkembang menjadi manusia seutuhnya, bukan manusia reptil. Implikasi dari konsep pemahaman ini yang dapat kita praktikan ke dalam perilaku sehari-hari, antara lain dengan menghindari perlakuan nurture (pengasuhan) yang bersifat negatif, menghindari praktik metode pendidikan di sekolah yang kurang patut, seperti mengancam dan membebani siswa, serta melakukan internalisasi mendalam terhadap pengajaran nilai agama kepada siswa. Dengan demikian, diharapkan generasi ‘Indonesia baru’ dapat lahir sebagai generasi muda yang tidak hanya kreatif dan inovatif, tetapi juga berkarakter, yang tentunya mampu menjawab berbagai ‘tagihan’ pendidikan abad ke-21, serta membawa bangsa ini semakin maju untuk Indonesia yang lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun