Mohon tunggu...
andari wardani
andari wardani Mohon Tunggu... Koki - swasta

suka memasak

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Kampanye Tanpa Narasi Besar

9 Januari 2019   23:17 Diperbarui: 9 Januari 2019   23:51 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika rakyat Malaysia terbeban pajak tinggi, sementara mereka tahu Najib melakukan korupsi, narasi PH yang ingin memberantas korupsi menjadi air penyejuk bagi rakyat. Sedangkan DPP Taiwan yang terlalu pede (percaya diri) menawarkan pemisahan dari China ditolak mentah-mentah oleh rakyatnya.  Rakyat Taiwan ternyata masih merasa nyaman bersama China.

Narasi kampanye jalan di tempat

Tak bisa dipungkiri bahwa kemenangan Trump pada Pilpres Amerika Serikat (AS) tahun 2016 dan cara-cara yang ditempuhnya, menginspirasi banyak pihak. Narasi kuat dari Trump, Make America Great Again diyakini menjadi salah satu faktor kemenangannya.

Make America Great Again sebenarnya bersandar pada logika keliru yang memanfaatkan bias kognitif pemilih. AS  dicitrakan alami kemunduran ekonomi atau krisis parah. Padahal data menunjukkan bahwa  banyak kemajuan dan program perbaikan termasuk ekonomi dalam dua dekade ini.

Slogan itu ditiru oleh Jair Bolsonaro yang menjadi Presiden Brazil awal Oktober 2018 lalu. Dia mengandalkan narasi Make Brazil Great Again.  Sebaliknya, Marine le Pen tersingkir ketika membawa slogan Make France Great Again di Pilpres Perancis 2017.

Slogan kampanye itu juga diadopsi oleh salah satu paslon Pilpres Indonesia tahun 2019, Make Indonesia Great Again.  Lalu tema kebangkitan Orde Baru (Orba) dipublikasikan. Yang menjadi pertanyaan, apakah kebangkitan Orba benar-benar diinginkan dan dibutuhkan oleh rakyat Indonesia saat ini ?

Memimpin Indonesia yang sedemikian besar, jelas tak mudah. Tidak ada sistem politik yang benar-benar sempurna, tapi kondisi demokrasi saat ini jauh lebih baik dibanding masa itu. Kaum milennials mungkin belum sepenuhnya paham soal 'stabilitas politik dan ekonomi' saat Orba. Mereka mungkin mendengar cerita sekilas dari orangtua atau uwaknya. Tapi bagi generasi lebih senior, sulit menerima narasi kebangkitan Orba itu.

Di sisi lain, meski pada awal masa kampanye ada deklarasi resmi kampanye damai anti hoax dan SARA (Suku Agama Ras dan Antar golongan) dimana para elit partai menyatakan tak akan menggunakannya, tapi di tataran akar rumput merasakan bahwa  narasi itu digunakan sebagai komoditas politik. Terasa benar dua tim paslon memainkan isu itu dengan kadar tertentu. Narasi minor sarat politik identitas sepertinya masih dipercaya efektif mempengaruhi pemilih di beberapa daerah.

Ketika kampanye Pemilu Malaysia digelar dimana PH dan BN bersaing,  mereka tidak terjebak pada narasi politik identitas. Meskipun simpatisan PH banyak dari kaum minoritas (keturunan China dan India).

Selain itu, hampir setiap minggu terjadi perang narasi nir-substansi menggunakan tagar-tagar. Saling serang, lalu ditangkis. Isu penandingnya masih miskin makna. Tagar #2019GantiPresiden ditandingi dengan #Jokowi2Periode. Atau #ReuniAkbar212diMonas ditandingi dengan #IslamSejuk.

Permainan narasi kampanye model ini dilakukan berulang-ulang di media sosial, termasuk oleh para influencer masing-masing paslon. Padahal masyarakat belum semuanya fasih menggunakan literasi berbasis digital ini. Akibatnya bisa diterka; kegaduhan terjadi di banyak lini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun