Mohon tunggu...
Andarbeny
Andarbeny Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Merajut pikiran lewat tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Malpraktik Jurnalisme dan Selera Konsumen Media Online Kita

8 Juli 2018   19:21 Diperbarui: 8 Juli 2018   19:52 868
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa tahun belakangan ini kita dapat merasakan betapa mudahnya mendapatkan sebuah informasi baik dalam skala lokal maupun mancanegara. Hal ini juga didukung dengan tumbuh pesatnya pengguna internet Indonesia.

Berdasarkan data yang  dirilis oleh Kominfo pada tahun 2014 jumlah pengguna internet mencapai 83,7 juta jiwa dan meningkat tajam pada tahun 2017 menjadi 112,5 juta jiwa.

Pesatnya pertumbuhan pengguna internet disambut baik oleh hadirnya banyak media daring baru yang memiliki segmentasi dan perspektif yang berbeda-beda.

Dengan semakin menjamurnya media daring belakangan ini, tentunya tak sulit bagi masyarakat saat ini untuk mendapat akses berita dan informasi. Tak heran jika ungkapan ' dunia berada dalam genggaman' sangat relevan dengan kondisi saat ini dimana seluruh informasi dari penjuru dunia dapat diakses dengan mudah hanya dengan bermodalkan smartphone dan kuota internet.

Meskipun kita dapat menuai banyak manfaat dari tersedianya sumber informasi yang melimpah, namun tak sedikit juga dampak yang diakibatkan oleh terbuka lebarnya keran informasi di era saat ini.

Ibarat air yang dapat memberi manfaat untuk kebutuhan hidup sehari-hari namun dapat menjadi bencana ketika jumlahnya melimpah dan tak dikelola dengan baik, begitupun juga berita dan informasi.


Pertama, banyak yang lebih mengutamakan kecepatan ketimbang validitas isi berita. Biasanya hal ini umum dijumpai pada berita-berita viral yang ada di media sosial.

Di era citizen journalism masa kini penyampaian berita memang jauh lebih cepat ketimbang melalui media mainstream dimana validitas berita harus teruji dan melalui editor redaksi.

Ironisnya, saat ini banyak juga dijumpai media-media daring mainstream yang seharusnya mengikuti kode etik jurnalistik dalam melakoni praktik kerja jurnalisme namun memiliki cara kerja yang tak jauh berbeda dengan berita- berita yang berseliweran di media sosial yang hanya mengutamakan kecepatan dibanding validitas berita.

Beberapa media daring cenderung berlomba-lomba untuk mengejar page views dengan kerja jurnalisme 'cepat' dan mengesampingkan validitas berita.

Ditambah lagi berita cepat semacam ini juga biasanya dibumbui oleh judul clickbait untuk membuat daya tarik yang mendatangkan pageviews yang tinggi.

Bahkan ada beberapa media daring yang sangat gamblang menunjukan bahwa sumber informasi artikel mereka adalah dari sosial media yang juga menaruh keterangan dalam postingannya "info valid menyusul".

Lalu siapakah yang patut disalahkan atas kondisi ini? Mungkin sebagian lantang menuduh bahwa media tersebutlah yang salah karena memberikan berita informasi dengan judul clickbait yang menarik perhatian dan tak jarang terjadi ketidaksesuaian antara isi dan judul yang boombastis serta validitas sumber informasi tersebut.

Tuduhan ini sebenarnya cukup rasional ketika industri media yang ada saat ini sebagian lebih cenderung menjadikan berita sebagai komoditi yang mendatangkan keuntungan bagi sebuah industri.

Namun sialnya, media sebagai sumber informasi yang kerjanya mengikuti kode etik jurnalistik justru mengesampingkan esensi dari media itu sendiri dan memfokuskan eksistensinya sebagai sebuah industri.

Tuduhan kedua yang juga lantang berbunyi adalah minimnya literasi masyarakat dan minimnya sikap kritis masyarakat terhadap sebuah informasi yang beredar atau dapat dikatakan masyarakat lebih suka memilah dan memilih informasi yang sesuai kehendak hatinya dan membenarkan informasi yang sesuai dengan kesukaannya dan menepis jauh-jauh informasi yang tidak disukainya sekalipun informasi itu adalah fakta.

Misalnya ketika seseorang mengidolakan penyanyi A dan tersiar kabar bahwa penyanyi tersebut memberi sumbangan senilai 1M pada 10 desa di Jawa Tengah maka tanpa ragu dan mencari fakta atas sebuah kebenaran orang tersebut pasti akan mengamininya.

Sebaliknya, jika tersiar kabar tentang penyanyi A yang tertangkap polisi karena penyalahgunaan narkoba maka orang tersebut akan mengatakan bahwa info tersebut adalah hoax meskipun pihak kepolisian telah melakukan konferensi pers yang membuktikan kasus tersebut.

Tuduhan kedua tersebut juga tidak bisa Dikatakan salah karena faktanya memang sebagian masyarakat kita masih lebih gemar memilah dan memilih berita berdasarkan kesukaan, bukan berdasarkan kebenaran.

Sebelum kita terlampau jauh melakukan kritik terhadap praktik media yang hanya mengejar kecepatan pemberitaan tanpa memperhatikan validitas sumber informasi, tak ada salahnya jika kita lebih dulu melakukan introspeksi diri untuk melihat kesalahan dari yang terdekat yakni diri kita sendiri dan orang-orang disekeliling kita.

Mungkin seperti pepatah gajah di pelupuk mata tak terlihat, semut diseberang lautan nampak terlihat.

Alangkah baiknya kita melihat dari sesuatu yang terdekat dulu karena seringkali kita terlalu jauh melihat padahal sesuatu yang kita cari ada didekat kita.

Bisa jadi kondisi ini adalah salah kita dan orang-orang disekeliling kita. Mengapa?

Dalam hukum pasar dimana ada permintaan disitu ada penawaran mungkin bisa jadi disinilah celah yang dimanfaatkan oleh industri media ketika menangkap peluang ada ceruk pasar yang cukup besar dari konsumen yang menyukai berita dengan judul fenomenal dan pola konsumen berita yang memilih berita berdasarkan kesukaan bukan kebenaran.

Minimnya sikap kritis kita sebagai konsumen ditangkap oleh industri media sebagai kesempatan yang turut melanggengkan praktik jurnalisme yang tidak bertanggung jawab tersebut.

Ada baiknya kita terlebih dahulu membenahi mindset kita saat menerima sebuah berita dan informasi.

Salah satu caranya adalah dengan mencari kebenaran atas sebuah informasi dimulai dari cara-cara yang paling mudah seperti membandingkan informasi sejenis dan melihat kesamaan fakta pada media-media lainnya yang kredibel.

Selain itu, dari media-media lain juga kita dapat melihat sudut pandang yang digunakan media tersebut dalam menyajikan informasi tersebut seperti apakah berita yang disajikan tendensius menyalahkan salah satu pihak saja atau mungkin berita tersebut hanya memberikan ruang bagi salah satu pihak saja tanpa memberikan ruang yang berimbang bagi pihak lainnya untuk mengeluarkan pendapat sehingga pemberitaan tersebut bisa jadi berat sebelah.

Kemudian kita juga dapat memastikan kebenaran sebuah informasi melalui tayangan yang pernah diupload di situs video streaming seperti youtube. Mengapa demikian?

Karena saat ini marak bermunculan video berita yang beredar di media sosial yang dibumbui dengan caption provokatif padahal video yang digunakan tersebut adalah video yang sudah lama di upload di situs video streaming macam youtube namun diupload kembali di media sosial dengan caption yang berbeda (fabricated news).

Hal ini bisa kita lihat ketika ada video yang memberitakan tentang sebuah desa yang dibakar oleh sekelompok orang dari desa lainnya.

Padahal video tersebut merupakan aksi pembakaran yang sudah lampau dilakukan dan bukan melibatkan masyarakat kedua desa tersebut meskipun video tersebut adalah video aksi pembakaran yang sekalipun mirip dengan lokasi sebuah desa tertentu.

Jika hal ini disikapi dengan emosional tentu dapat membuahkan sebuah konflik horizontal yang memecah belah masyarakat.

Saat ini informasi memang menjadi sebuah senjata yang cukup berbahaya untuk dapat mengadudomba dan mematikan lawan tanpa harus mengokang senjata di medan laga. Siapapun dapat menjadi korbandan juga pelaku. Oleh karenanya penting bagi kita untuk pandai membawa diri ditengah derasnya arus informasi baik di media mainstream maupun media sosial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun