Mohon tunggu...
Hamdan eSA
Hamdan eSA Mohon Tunggu... Penulis - Dosen

bukan siapa siapa, hanya orang biasa...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kedip Kecil Kemuning

17 Januari 2012   02:14 Diperbarui: 10 Maret 2024   07:04 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kedip kecil kemuning

 

cerpen hamdan

Setiap kali cakrawala malam datang ketika gemintang sedang memainkan tarian kedipnya, aku seperti terkurung dalam jebakan rindu malam. Jerujinya terbuat dari senyawa baja kemuliaan dan kasih sayang, sangat kokoh  dan rapat menutupi  lubang  yang memungkinkan jiwaku dapat keluar dari jebakan rindu itu.

Dalam jebakan itu, selalu saja aku mendatangimu yang mewujud di keramaian cakrawala malam. Mencarimu di antara reramai kedip gemintang. Selalu saja aku yang sembunyi di balik pandang mata, kembali menatapmu bintang kecil kemuningku. Selalu saja aku harus memberi pandang lebih padamu. Baru setelah itu mungkin jika mampu, sedikit kesempatan pandang kepada gemerlap gemintang lainnya. Kedip mungilmu, cahaya senyummu, membuatku tak kuasa untuk sekejap saja berpaling memandang yang lain, apalagi mengeluarkanmu sedetik dari ingatan nuraniku. Ya, jerujinya sangat kokoh.

Kini, senyawa itu tidak lagi menjadi jeruji jebakan yang mengurung, tetapi menjadi jajaran bidara yang teduh di dalam firdaus dan buahnya memendarkan kedipan cahaya hati. Ruang jeruji itu telah menjadi ruang surga yang dengan sadar dan sengaja aku menyerahkan diri ke dalamnya, dan aku ingin sekali tempat itu menjadi rumahku. Dan benar kini, aku tidak merasa sedang terkurung, melainkan sedang tinggal di dalam rumah jiwa yang memberi rasa cukup untuk segalanya dan tak membutuhkan apapun selainnya. Begitulah aku mulai mengenal pohon penyerahan yang tumbuh dari akar keikhlasan.

Sejak itu mengingatmu sama saja dengan memandangmu, dan memandangmu membawaku dengan sangat sadar masuk ke rumah itu. Tak ada lagi ruang dan waktu yang kosong tanpamu. Pernah suatu ketika aku ingin mengundang kebosanan mengingatmu. Aku mencoba sekedar menghitung seberapa saja bintang yang ada di sekitarmu sambil menghayati kedip senyum mereka, tapi aku tak mampu. Engkau selalu hadir di antara angka-angka hitungan dan bahkan di setiap durasi kedipan mereka. Kebosanan memang datang juga, tapi untuk mereka gemintang yang ramai itu, tidak untuk kau. Dan kini memandangmu sama saja bila berada di sampingmu; bersama menjadi kedip kecil kemuning.

Aku sengaja telah memberimu tanda dengan tinta jiwaku, untuk membedakanmu dengan yang lain. Aku takut bila sekali waktu kehilanganmu hanya karena pandanganku dirayu oleh genit ribuan gemintang lainnya. Karena ketakutanku juga, diam-diam tanpa seizinmu, aku memindahkanmu ke dalam jiwaku. Dan engkau, bersama senyum kedip kemuningmu itu, menjadi jiwaku yang mendenyutkan nadi kehidupanku. Lalu dengan apologi aku kadang menuduhmu telah mencuri hatiku dan membawanya pergi bersamamu hingga aku harus merindu, merancang dan merangkai sepi, menanti malam; waktu dimana engkau selalu muncul bermain kedip dikejauhan. 

Karena kedip kemuningmu, aku kini sangat percaya bahwa engkau bintang kecilku adalah juga kunang-kunang yang bermain, menari, melintasi rimbunan pohon, ribuan pucuk dedaun. Kunang-kunang yang membutir tasbih di malam hari. Bintang kecilku adalah kunang-kunang, dan kunang-kunangku adalah bintang kecilku. Kini aku rajin menanam aneka pohon nurani, menyiraminya agar terus tumbuh dan merawatnya menjadi sebuah taman. Ya, agar kunang-kunang dapat bermain dalam taman pohonan itu, lalu juga menjadi taman kunang-kunang di malam hari. Belum cukup rasanya, hingga taman itu kujadikan rumahku, rumah tanpa kamar, aku tinggal di dalamnya. Tapi aku juga kadang menyebut rumah itu dengan kamar besar. Lebih kamar dari rumah. Kamar beratap dedaun, berpilar batang pohonan, berjendela cela dedaun sebagai lorong-lorong setapak untuk mengintipmu, dan berlantai tanah beralas permadani dedaun kuning kering.

Bahagianya hampir setiap malam dapat bermain bersama kunang-kunang. Mengejarnya melintas bukit kecil, rimbunan pohon dan bunga, sungai-sungai mengalir dalam syair gemericik. Kadang kuterjatuh lalu bangun lagi sambil memanggilnya yang seolah sengaja terbang rendah agar aku selalu dapat mengejarnya. Kadang ia hinggap di daun yang agak tinggi, aku melompati meraihnya. Sebenarnya aku dapat meraihnya, tapi juga aku sengaja untuk tidak menggapainya, agar ia dapat terbang berlari dan kami terus bermain kejar-kejaran. Kadang ia menghentikan kedipnya, aku kehilangan dan mencarinya menyusupi belukar taman. Ia hinggap di atas rambut ubun-ubunku. Tentu saja aku tak melihatnya. Aku berbaring di hamparan daun kering memandang langit. Di atas sana ada bulan sedang tersenyum bersama jutaan gemintang. Jangan-jangan ia telah naik ke cakrawala malam menjadi bintang kecil di atas sana. Tapi tak kutemukan bintang kecil kemuningku itu. Marahkah ia padaku, atau ia telah kelelahan bermain? Tiba-tiba ia terbang berkedip di atas mataku, aku berdebar ternyata ia masih dekat. Aku senang dan memberinya kesempatan menarikan kedip kemuningnya tanpa kejaranku.

Bahagianya aku bila malam telah tiba. Karena itu aku hampir saja membenci siang, sebab sinar matahari begitu dominan dan menjadikan seluruhnya terang benderang. Tentu saja senyum kedip kemuningmu tak dapat kupandang, bahkan tak dapat ditemui oleh keterbatasan jarak pandang mataku terhadap ketajaman sinar mentari. Hampir saja aku tak bersikap adil. Di siang hari aku selalu menanti malam, namun di malam hari aku tak berharap datangnya siang. Bahkan aku tak ingin lagi menikmati kokok ayam sebagai ritual zikir semesta penyambut fajar. Yah, karena kokok itu tiba-tiba menjadi pemegang otorita untuk mengintruksikan pergantian waktu; malam harus bergeser dan fajar datang tersenyum. Ah, aku benci tanpa memandangmu meski sekejap, sedang pagi telah mengundang siang segera benderang.

Karena hampir membenci siang, Pernah aku senang saja kepada musim hujan yang segera tiba, yang dengan awan atau mendungnya dapat menginterupsi dominasi benderang dan panas mentari. Ternyata kebencian tak dapat menyelesaikan masalah dan menghadirkan kedip bintang atau kunang-kunang. Bahkan di musim itu, mendung dan hujan juga menginterupsi dominasi gemintang dan serangga kunang bila malam telah tiba. Permadani dedaun kering lalu menjadi lembab, basah, ada juga terbawa arus air. Embun malam yang menyelimuti daun dan ikut memantulkan cahaya, pun tak berdaya diterpa hujan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun