Mohon tunggu...
Andang Masnur
Andang Masnur Mohon Tunggu... Relawan - Komisioner

Komisioner KPUD Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara | Sedang Belajar Menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Kuasa Kekerabatan dalam Pilkada 2020

22 Januari 2021   10:11 Diperbarui: 22 Januari 2021   10:14 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Andang Masnur


Pilkada 2020 telah usai digelar, secara normatif semua berjalan aman, lancar dan kondusif. Sampai saat ini dari 270 daerah yang menggelar Pilkada sebagian sebentar lagi akan melakukan pleno penetapan pemenang Pilkada. Sedangkan sebagian lagi masih berproses di Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan sengketa hasil yang digugat oleh para pemohon.

Sejak kita menggelar Pilkada secara langsung pertama kali pada Juni tahun 2005, perkembangan demokrasi di Indonesia begitu dinamis. Masyarakat semakin hari semakin dewasa dalam menentukan pilihan dan sadar akan pentingnya menyalurkan hak pilih. Meski digelar dalam kondisi pandemi covid 19, angka partisipasi pemilih di beberapa daerah mencapai target nasional yakni 77.5%. Tercatat 5 daerah yang mencapai angka partisipasi tertinggi se Indonesia adalah Pegunungan Arfak 99,5%, Mongondow Timur 95,94%, Mongondow Selatan 94,54, Raja Ampat 93,67% dan Dompu 93,53%.

Dari cerita panjang hajatan Pilkada 2020 ini saya mencoba membuat catatan dari salah satu fenomena yang terjadi yakni hadirnya beberapa calon kepala daerah yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan pejabat baik ditingkat pusat maupun daerah. Begitu banyaknya calon kepala daerah yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan pejabat negara maupun daerah membuat beberapa kalangan menilai bahwa politik dinasti tumbuh subur dalam dunia demokrasi kita dewasa ini.

Politik Dinasti dan Oligarki Politik


Pada konteks bahasa dinasti kita kenal sebagai sebuah istilah dalam praktik politik zaman kerajaan. Kekuasaan akan turun temurun kepada keluarga ahli waris yang berhak melanjutkan tahta kekuasaan jika yang memangku jabatan tersebut telah mangkat atau tidak dapat lagi melanjutkan kekuasaannya. Dinasti politik dapat diartikan sebagai upaya mempertahankan kekuasaan agar tidak jatuh kepada orang lain melainkan masih dalam lingkungan keluarga terdekat.
Praktik politik seperti ini telah ada sejak zaman kerajaan kuno baik di Indonesia itu sendiri maupun kerajaan lainnya di dunia. Seolah mengadopsi apa yang telah terjadi selama ini, maka dinasti politik juga berintegrasi dalam sistem perpolitikan kekinian. Jika cara kuno atau tradisional peralihan kekuasaan adalah dengan sistem penujukan kepada sang ahli waris kekuasaan maka dalam konteks kekinian peralihan kekuasaan dipraktikkan secara prosedural.


Sedangkan oligarki disebutkan adalah bentuk pemerintahan yang kekukasaannya dijalankan atau dipegang oleh suatu kelompok, baik kelompok keluarga maupun kelompok kelompok lainnya. Tumbuhnya oligarki kekuasaan bukan hanya terjadi saat ini. Menurut Vedi R Hadiz bahwa oligarki telah tumbuh pesat sejak zaman orde baru hingga setelah reformasi. Hanya saja yang membedakannya jika di zaman orde baru oligarki dipraktekkan hanya oleh penguasa, lain halnya dengan oligarki pasca reformasi yang mulai menyebar hingga ke daerah. Hal ini tentunya didorong oleh pola pemerintahan desentralilasi.

Dinasti dan Konstitusi

Jika melihat sejumlah calon yang berasal dari kalangan keluarga pejabat maka tentu isu politik dinasti akan menjadi topik pembicaraan. Kolom-kolom diskusi menjelang Pilkada kemarin tidak sedikit yang membicarakan hal ini. Di beberapa daerah ada yang kepala daerahnya telah mencapai periode maksimal atau periode kedua dan tidak dapat lagi mencalonkan lalu kemudian digantikan oleh istrinya. Setidaknya ada enam daerah yang istri-istri bupati/wali kota memenangi kompetisi dan kemungkinan akan melanjutkan kekuasaan suami mereka. Misalnya Bupati Sleman, Sri Purnomo yang akan digantikan oleh istrinya Kustini. Bagitu juga yang terjadi di Banyuwangi, Sukoharjo, Pasangkayu dan Indragiri Hulu. Ada juga bupati yang nantinya akan digantikan oleh anaknya seperti yang terjadi di Tuban. Aditya Halindra merupakan anak dari Bupati dua periode Haeny Relawati yang berhasil ungul dari 2 pesaingnya di Pilkada kemarin.

Tetapi apakah hal tersebut menyalahi konstitusi demokrasi kita? Jawabannya tentu tidak. Sebab setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 33/PUU-XII/2015 tentang pengujian Pasal 7 huruf r UU nomor 8 tahun 2015 maka keluarga dan kerabat dibolehkan untuk maju mencalonkan sebagai calon Kepala Daerah. Padahal dalam pasal tersebut dengan tegas berbunyi "warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota adalah memenuhi persyaratan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana". Pada penjelasan UU, konflik kepentingan dengan petahana yang dimaksudkan adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 kali masa jabatan.


MK berdalih bahwa pasal tersebut bersifat diskriminatif dan melanggar hak asasi manusia. Andai saja pasal tersebut tidak diujikan dan masih berlaku dalam UU Nomor 10 tahun 2016 tentu saja kita akan mendapati fenomena yang lain dalam gelaran Pilkada tahun 2018 dan 2020 yang lalu. Tentu sanak family yang masih ada hubungan keluarga dengan kepala daerah incumbent tidak dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Peralihan kekuasaan dengan cara mengikuti kontestasi pemilihan ini yang disebutkan sebagai praktik dinasti dengan cara prosedural. Fasilitas yang melekat secara alamiah pada diri calon yang berasal dari keluarga petahana dimungkinkan menjadikannya mampu dengan mudah mengungguli rivalnya pada setiap gelaran pemilihan. Sebagian kalangan menilai bahwa praktek politik dinasti ini mengkhawatirkan bagi demokrasi kita. Sebab orientasinya adalah bagaimana mempertahankan kekuasan tersebut dikalangan keluarga tertentu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun