Pemilu tahun 1999 dan sebelumnya masyarakat tidak pernah mengenal siapa yang akan duduk menjadi perwakilannya di DPR. Interaksi antara calon legislatif dengan masyarakat tidak terjalin.Â
Sebab partailah penentu siapa yang akan ditunjuk menduduki kursi dan menjadi anggota DPR. Keran permainan justru akan terjadi pada internal partai. Proporsional tertutup juga tentu tidak akan mengurangi sarat terjadinya politik transaksional dan kembali menguatnya oligarki kepartaian.
Secara umum kita mengetahui bahwa menguatnya oligarki partai (politik) akan menjadi kemunduran sistem pemerintahan. Chek and balance diantara trias politica yakni eksekutif, legilatif dan yudikatif bisa tidak lagi berjalan dengan maksimal.Â
Sebab terminologi oligarki adalah pemerintahan yang dikendalikan oleh kelompok elit (bukan rakyat). Tentu saja dampaknya akan mengakibatkan pemerintahan yang tidak lagi pro rakyat dan tidak populis. Demikian diungkapkan Robert Michles (1915) dalam bukunya "Political Parties".
Kontrol masyarakat terhadap partai akan terbatas dengan sendirinya, hal ini akan berdampak kurang baik. Jika mengingat kasus Harun Masiku yang terjadi beberapa saat lalu mengindikasikan bahwa apa yang dikehendaki oleh rakyat belum tentu sejalan dengan apa yang dikehendaki parpol. Adanya upaya merubah rekomendasi Pergantian Antar Waktu (PAW) dari urut suara terbanyak selanjutnya kepada yang jauh lebih sedikit dibawahnya.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa partai lebih mengetahui kualitas kader yang dimilikinya. Banyaknya caleg yang secara intsant bergabung dengan mengandalkan popularitas tentu menjadi pesaing bagi kader yang selama ini membesarkan partai.Â
Tetapi bagi masyarakat dan wajib pilih komunikasi yang terbangun antara caleg dan masyarakat serta kedekatan secara emosional adalah salah satu faktor dalam menentukan pilihan. Untuk itu masyarakat harusnya mengenal siapa yang akan duduk mewakilinya dilegislatif sebagai perwujudan sistem pemilu kita.
Pembatasan Partisipasi
Jika mengacu pada prinsip demokrasi yang mengutamakan partisipasi rakyat seluas-luasnya maka sistem proporsional terbuka akan lebih tepat dan tetap harus dipertahankan.Â
Sebab pemilih tahu dan menentukan pilihan pada siapa yang dikehendakinya. Proporsional tertutup bisa saja akan mengurangi partisipasi publik terhadap pemilu. Â
Pertama adalah tentang partisipasi masyarakat untuk maju menjadi calon legislatif. Seseorang yang oleh masyarakat dianggap mampu membawa aspirasi untuk duduk menjadi anggota DPR bisa saja urung untuk berpartisipasi. Sebab minat untuk maju pasti akan tersandera oleh pemikiran bahwa penentu yang menduduki kursi adalah partai bukan rakyat.Â