Pemerintah Provinsi Sumatera Barat masih membutuhkan biaya yang lebih besar dalam upaya pengentasan kemiskinan di perdesaan dibandingkan perkotaan. Hal ini tercermin dari indeks kedalaman kemiskinan yang dihitung Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Maret 2019.Â
Indeks kedalaman kemiskinan di perdesaan menyentuh angka 1,093; jauh lebih tinggi dibandingkan perkotaan yang hanya 0,771 poin. Selain itu, jumlah penduduk miskin di perdesaan hampir dua kali lipat penduduk miskin perkotaan. Indeks keparahan kemiskinan di perdesaan pun juga lebih tinggi daripada perkotaan. Dana desa sebesar Rp 60 triliun pada tahun 2018 belum bisa mengangkat derajat kesejahteraan masyarakat miskin perdesaan secara masif.
Budaya kerja penduduk perdesaan yang identik dengan pertanian belum bisa memberi harapan lebih jauh kepada petani untuk meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Indeks harga komoditas yang diterima petani bulan Juni 2019 turun dari bulan sebelumnya disaat indeks harga yang dibayar petani untuk biaya produksi dan konsumsinya terus meningkat (BPS, Juli 2019).Â
Hal ini mengindikasikan bahwa rata-rata usaha pertanian yang sebagain besar terletak di daerah perdesaan tidak untung, dan kalaupun untung hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan primer. Terlebih kepahitan ekonomi pertanian ini dirasakan oleh petani tanaman perkebunan mengingat berbagai permasalahan global komoditas ini tidak kunjung usai dan ekspor Sumatera Barat terus menurun.
Nagari sebagai pusat pembangunan ekonomi kerakyatan
Sebagian besar wilayah perdesaan di Sumatera Barat tersebar ke dalam 1.045 nagari. Indeks Pembangunan Desa (IPD) 2018 untuk semua nagari ini mencapai 67,70; tertinggi di Pulau Sumatera. Namun pemerintah dan masyarakat tetap harus bahu-membahu membangun nagari karena hanya ada satu dari lima nagari yang sudah mandiri. Selain itu, masih ada sebanyak 31 nagari tertinggal di Sumatera Barat, 22 diantanya berada di Kabupaten Kepulauan Mentawai dan sisanya tersebar di Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Solok, Kabupaten Sijunjung, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Pasaman, dan Kabupaten Pasaman Barat.
Menjadikan nagari sebagai pusat peradaban ekonomi kerakyatan di perdesaan sejatinya elok untuk dimaksimalkan. Pemberian bantuan langsung tunai dan skema padat karya tunai harusnya diimbangi dengan bantuan yang memandirikan masyarakat secara sosial dan ekonomi. Kemandirian masyarakat nagari ditingkatkan untuk menjamin keberlangsungan hidup masyarakat perdesaan dalam jangka waktu yang lebih panjang.Â
Kita sama-sama tahu bahwa bantuan langsung tunai hanya bisa mengurai benang kusut kemiskinan dalam jangka pendek. Bantuan hanya habis untuk memenuhi kebutuhan primer tanpa bisa digunakan sebagai modal usaha. Jika pun bisa, jumlah nominal uangnya hanya sedikit dan masyarakat belum mempunyai kemampuan baik untuk berusaha sendiri.
Salah satu cara namun tidak menambah anggaran bisa dengan mengubah target penggunaan dana desa. Pengalokasian dana desa yang sebelumnya terfokus pada ketimpangan aksesibilitas dan transportasi seharusnya sudah bisa dialihkan ke pemberdayaan ekonomi kemasyarakatan melalu badan usaha milik nagari (Bumnag). Pendapat ini didasarkan kepada nilai dimensi pembentuk IPD yang dirasa masih kurang merata. Dimensi aksesibilitas/transportasi merupakan dimensi dengan nilai yang tertinggi dengan angka mencapai 82,88 dari skala 100. Artinya, dimensi ini sudah cukup baik untuk mendukung kegiatan perekonomian masyarakat. Sedangkan dimensi yang lain masih jauh tertinggal, seperti dimensi pelayanan dasar (68,26), dimensi kondisi infrastruktur (54,36), dimensi pelayanan umum (60,50), dan dimensi penyelenggaraan pemerintahan (75,71).
Dimensi dengan nilai terkecil adalah dimensi kondisi insfrastruktur. Dimensi ini mewakili kondisi kebutuhan dasar, sarana, prasarana, pengembangan ekonomi lokal, dan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan dengan memisahkan aspek aksesibilitas/transportasi. Dimensi ini bisa dibilang menggambarkan kemajuan dan kuat atau tidaknya geliat kegiatan ekonomi kerakyatan suatu wilayah. Dimensi ini disusun oleh berbagai macam variabel ekonomi, seperti kelompok pertokoan, akomodasi hotel dan penginapan, perbankan, ketersediaan infrastruktur energi, air bersih dan sanitasi, serta ketersediaan dan kualitas infrastruktur komunikasi dan informasi.
Rendahnya nilai dimensi ini menyadarkan kita bahwa kemajuan dimensi aksesibilitas/transportasi belum tentu sejalan dengan kemajuan kegiatan ekonomi kerakyatan suatu wilayah. Pembangunan jalan dan jembatan yang masif tidak bisa dioptimalkan manfaatnya ketika masyarakatnya tidak tahu urgensi ekonomi dari pembangunan fasilitas tersebut. Kecakapan dan kepandaian masyarakat dalam berusaha perlu menjadi perhatian pemerintah dengan memanfaatkan peran bumnag yang sudah banyak terbentuk di berbagai nagari. Dusun Umbul, Desa Ponggok yang terletak di Klaten bisa menjadi acuan.
Desa ini memiliki Badan usaha milik desa (Bumdes) terbaik nasional kategori Desa Wisata Perberdaya Masyarakat dan berdiri sejak tahun 2009. Butuh waktu panjang memang, namun hasilnya bisa dinikmati masyarakat dalam jangka panjang pula. Dengan 13 unit usaha dan 9 diantaranya telah berbentuk PT, masyarakat bisa diberdayakan dengan membuka lapangan pekerjaan yang luas. Bahkan, masyarakat setempat telah melek investasi. Masyarakat bisa mendapatkan pendapatan pasif setiap bulannya sebesar Rp 400.000 sampai Rp 500.000 dengan ikut berperan sebagai investor di perusahaan desanya sendiri.
Mengubah fokus alokasi dana desa dari yang sebelumnya menggunakan skema padat karya tunai dalam membangun jalan dan jembatan menjadi skema pemberdayaan masyarakat tentu berimplikasi kepada semakin rumitnya pekerjaan perangkat nagari. Mulai dari kerumitan administrasi, penyiapkan materi pembinaan yang komprehensif dan berorientasi jangka panjang, serta mencari tenaga pengajar yang tepat. Butuh waktu yang lama untuk merealisasikannya disaat desakan pemerintah pusat untuk segera mencairkan dana desa semakin kuat. Namun hal itu bukanlah alasan untuk mundur. Pemerintah pusat tidak bisa hanya memberikan uang tanpa ada pembinaan kepada perangkat nagari. Perangkat nagari harus bisa berjuang demi terwujudnya pusat ekonomi kerakyatan di nagarinya sendiri. Dengan munculnya pusat kegiatan ekonomi kerakyatan di nagari tersebut, fungsi dan manfaat dana desa semakin luas dirasakan oleh setiap individu, dan tentu bisa bertahan dalam waktu yang lama. Beribu-ribu lapangan pekerjaan bisa terbentuk, beratus-ratus persen pendapatan masyarakat bisa meningkat, dan puluhan nagari mandiri bisa tercipta. Angan-angan ini diharapkan bisa mengurai benang kusut kemiskinan perdesaan dengan memanfaatkan alokasi dana desa yang sudah ada. Semua terlibat, pemerintah dan juga masyarakat itu sendiri.
Padang Ekspres, 30 Juli 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H