Secara umum, kinerja pembangunan ditunjukkan oleh tingkat pertumbuhan ekonomi yang cenderung membaik, tingkat kemiskinan dan pengangguran yang cenderung  menurun. Namun demikian, kecenderungan tersebut justru diikuti dengan meningkatnya kesenjangan dalam pemerataan pembangunan itu sendiri.
Pada Maret 2020, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur oleh Gini Ratio adalah sebesar 0,381. Angka ini meningkat 0,001  poin  jika  dibandingkan dengan Gini Ratio September 2019 yang sebesar 0,380 dan menurun 0,001 poin dibandingkan dengan Gini Ratio Maret 2019 yang sebesar 0,382.
Gini Ratio di daerah perkotaan pada Maret 2020 tercatat sebesar 0,393, naik dibanding Gini Ratio September 2019 yang sebesar 0,391 dan Gini Ratio Maret 2019 Â yang sebesar 0,392. Gini Ratio di daerah perdesaan pada Maret 2020 tercatat sebesar 0,317, naik dibanding Gini Ratio September 2019 yang sebesar 0,315 dan tidak berubah dibanding Gini Ratio Maret 2019 yang sebesar 0,317.
Itu artinya ketimpangan pendistribusian kekayaan negara tidak merata terutama di perkotaan. 1 persen penduduk menguasai hingga 40 persen total kekayaan di Indonesia. Sehingga disparitas antar daerah  masih  terjadi terutama Jawa dan kawasan Indonesia Bagian Timur. Berdasarkan data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) RI pada Maret 2020, berikut adalah 7 provinsi dengan persentase penduduk miskin tertinggi di Indonesia.
Dari 7 provinsi dengan persentase kemiskinan tetinggi, 5 provinsi diantaranya berasal dari Indonesia timur.
Kontribusi PDRB Tidak Merata
Selain diukur dari indeks Gini Ratio, kesenjangan juga tercermin dari kontribusi PDRB terhadap PDB. Dalam rentang 2015-2019, kontribusi PDRB Jawa-Sumatera sangat dominan dan tidak pernah kurang dari 80 persen terhadap PDB.
Target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2020 terkait pemerataan pembangunan tidak tercapai secara maksimal. Kekayaan negara masih terpusat di Pulau Jawa sementara daerah-daerah terdepan, terpencil, tertinggal (3T) yang lebih membutuhkan pembangunan tidak mendapatkan porsi pembangunan yang semestinya. Pulau Jawa yang hanya 7 persen dari luas total daratan Indonesia mendapatkan jatah pembangunan hingga 59 persen dari total pembangunan nasional. Angka ini naik dari rencana awal yang hanya menargetkan 55,1 persen. Sementara daerah lain, Sumatera dan Kalimantan tidak memenuhi target, sedangkan Maluku dan Papua tidak mengalami kenaikan. Sehingga sasaran pemerataan pembangunan wilayah pada RPJMN 2015-2019 tidak tercapai secara maksimal.
Ketimpangan Pendapatan Daerah
Ketimpangan juga terjadi pada pendapatan provinsi tiap tahun dalam APBD. Akumulasi 10 provinsi dengan pendapatan terbesar di Indonesia mencapai 67 persen dari total pendapatan seluruh provinsi. Sedangkan sisanya 23% tersebar di 24 provinsi lainnya.
Ketimpangan yang sangat besar dalam hal anggaran pendapatan tiap provinsi terus terjadi tanpa ada solusi yang berarti dari pihak-pihak pemangku kepentingan.
74 Persen Daerah Kawasan Timur Berstatus Tertinggal
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 131 tahun 2015 tentang  Penetapan Daerah Tertinggal tahun 2015-2019, menetapkan sebanyak 122 daerah kabupaten berstatus tertinggal dari 514 kabupaten/kota se-Indonesia. Penetapan daerah tertinggal dan tidak tertinggal menurut Perpres ini berdasarkan pada 6 indikator yaitu; perekonomian masyarakat, sumber daya manusia, sarana dan prasarana, kemampuan keuangan daerah, aksesibiltas dan karakteristik daerah. Adapun jumlah dan persentase daerah tertinggal tiap kawasan adalah sebagai berikut;
Pada tabel terlihat bahwa sebagian besar berada di kawasan Indonesia Timur, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Kawasan ini menyumbang 74 persen dari total daerah tertinggal seluruh Indonesia.
Melalui Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2015 tentang Rencana Strategis Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (KDPDTT) tahun 2015-2019 menargetkan akan mengentaskan minimal 80 dari 122 daerah tertinggal di tahun 2019. Namun, pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 63 tahun 2020 tentang Penetapan Daerah Tertinggal tahun 2020-2024, menetapkan daerah yang berstatus tertinggal sebanyak 62 daerah. Artinya hanya 60 daerah yang berhasil keluar dari status tertinggal dalam kurun 2015-2019. Sekali lagi target RPJMN 2015-2019 terkait pengentasan daerah tertinggal dan target KDPDTT gagal terealisasi.
Saya berpandangan, berbagai ketimpangan pembangunan dan ekonomi disebabkan oleh permasalahan pokok yaitu distribusi penduduk yang tidak merata antara Jawa dengan luar Jawa. Sebelum persoalan distribusi penduduk ini dapat diselesaikan dengan baik maka ketimpangan pembangunan dan ekonomi tidak akan dapat diurai dan akan terus terjadi dimasa depan.
Sedangkan ketimpangan pembangunan dan ekonomi yang besar dari waktu ke waktu akan menimbulkan persoalan serius dalam bidang pangan, pertahanan keamanan, kesenjangan ekonomi yang lebih parah, pembangunan, demografi, lingkungan hidup, bahkan lebih jauh, ketimpangan pembangunan dan ekonomi dapat mengancam kedaulatan dan keutuhan bangsa.
Persoalan demi persoalan yang muncul sebagai implikasi dari kebijakan pembangunan yang bersifat sentralisasi kepada suatu wilayah dan cenderung mengabaikan wilayah lainnya tentu tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila terutama sila ke-5. Hal ini akan memperlambat dan bahkan dapat menghambat terwujudnya keadilan sosial dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. (penulis, Don Jaya Putra)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H