Mohon tunggu...
Suwarnadwipa
Suwarnadwipa Mohon Tunggu... Penulis - Think Sharp

Peduli, Mengamati, Mempelajari, Memahami, Menulis

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Ke Pangandaran, Bukan Liburan Biasa

23 Juli 2020   11:13 Diperbarui: 1 Agustus 2020   06:45 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai orang seberang (luar Jawa) saya terkagum-kagum sekaligus "ngeri" dengan Provinsi Jawa Barat ini. Kagum karena keramah-tamahan penduduk dan keindahan alam Priangan yang tiada duanya, sedangkan "ngeri" karena populasi provinsi ini yang teramat besar. 

Menurut hemat saya provinsi ini adalah provinsi terbesar di dunia dalam hal jumlah dan kepadatan penduduk. Bagaimana tidak, provinsi yang hanya memiliki luas 35.377,76 Km2 atau 1,85% dari luas total negeri ini dihuni oleh 49.316.712 jiwa penduduk atau hampir seperlima dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 267 juta jiwa di tahun 2019. 

Jika Jawa Barat adalah sebuah negara maka jumlah penduduk Negara Jawa Barat lebih banyak dibandingkan Negara Kanada maupun Australia. 

Rasa kagum dan ngeri sampai saat ini masih bercampur aduk dalam hati dan fikiran saya. Sehingga ada dorongan yang sangat kuat untuk mengetahui lebih jauh tentang keindahan alam dan keelokan budaya provinsi yang dihuni oleh mayoritas penduduk bersuku Sunda ini berikut aneka ragam persoalan yang ada disini. 

Belum lama ini saya dan 6 orang kawan saya dari Kota Bandung sengaja mengunjungi sebuah destinasi wisata yang sangat populer yang terletak di kabupaten Pangandaran Jawa Barat. Yaa, destinasi wisata yang saya maksud adalah Pantai Pangandaran. Saya sendiri sebelumnya belum pernah mengunjungi pantai ini walau sudah lebih 2,5 tahun tinggal dan pernah kuliah di salah satu PTN di Kota Bandung. 

Kabupaten Pangandaran, terletak di sebelah tenggara Provinsi Jawa Barat atau di pesisir selatan Pulau Jawa atau lebih dikenal dengan sebutan pantai selatan. Kabupaten ini berbatasan dengan kabupaten Ciamis di sebelah utara, Kabupaten Cilacap (Provinsi Jawa Tengah) di sebalah timur, Samudera Hindia di sebelah selatan dan Kabupaten Tasikmalaya di sebelah barat. 

Luas kabupaten Pangandaran adalah 1.680 km, dengan jumlah penduduk 399.284 jiwa pada tahun 2019. Kabupaten Pangandaran merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Ciamis pada 25 Oktober 2012. 

Kabupaten yang beribukota di Parigi ini, saat ini terdiri dari 10 kecamatan, yaitu: Cigugur, Cijulang, Cimerak, Kalipucang, Langkaplancar, Mangunjaya, Padaherang, Pangandaran, Parigi, Sidamulih. 

Perjalanan menuju Pantai Pangandaran kami mulai dari masjid Pusat Dakwah Islam (PUSDAI) Provinsi Jawa Barat di Jalan Surapati Kota Bandung pada hari Jumat tanggal 17 Juli 2020 sekitar pukul 14.30 WIB. 

Sebagaimana yang sudah direncanakan, rute perjalanan kami adalah Kota Bandung, Rancaekek, Nagrek, Ciawi dan Tasikmalaya. Bermalam di Tasikmalaya dan lanjut pagi harinya ke pantai dengan rute kota Banjar, Banjarsari dan Pantai Pangandaran. 

Foto: Dok. pribadi
Foto: Dok. pribadi
Disepanjang perjalanan saya menyaksikan sajian pemandangan alam yang sangat mengagumkan di tanah Priangan ini. Hamparan sawah yang luas, pegunungan dan sungai-sungai menghiasi perjalanan kami disore itu. 

Oh ya, terkait dengan sawah, Provinsi Jawa Barat menurut data yang saya kumpulkan merupakan provinsi penghasil beras ke-3 terbesar di Indonesia. Hal ini sudah saya bahas pada tulisan sebelumnya. 

Namun dibalik pemandangan alam yang indah tersebut, saya mencoba melihat ke "dimensi lain" yang seketika membuat saya sedih. 

"Dimensi lain" itu adalah makin tergerusnya luas lahan pertanian oleh perumahan/pemukiman penduduk dan proyek infrastruktur, sungai-sungai yang mulai mengering dengan sisa air yang keruh, pegunungan serta bukit-bukit gundul menguning yang terlihat sejauh mata memandang. 

Saya bergumam dalam hati, keadaan ini akan menjadi bom waktu yang dapat memicu bencana yang sangat hebat di kemudian hari jika tidak ditangani dengan efektif, cepat dan tepat. 

Penggundulan hutan jelas merusak lingkungan dan alam. Banyak musibah yang terjadi bermula dari kerusakan ekosistem hutan. Penduduk Provinsi Jawa Barat yang sangat besar tentu membutuhkan cadangan air yang sangat banyak. 

Cadangan air itu diantaranya disediakan oleh hutan. Lalu, jika hutan terus digunduli dan gunung-gunung terus dicukur habis, maka bagaimana cadangan air dapat disediakan. 

Bahkan yang paling menyedihkan menurut laporan kajian resmi Pemerintah, memprediksi Pulau Jawa bakal kehilangan hampir seluruh sumber air bersih di tahun 2040. Ini berarti 150 juta penduduk Pulau Jawa akan kekurangan air, bahkan untuk sekadar makan atau minum. 

Disisi lain luas lahan pertanian yang terus tergerus seiring dengan makin meluasnya kawasan perumahan, pemukiman dan berbagai megaproyek infrastruktur. 

Apakah ini bukan ancaman? Jelas ini adalah ancaman nyata dalam bidang pangan. Jika sawa-sawah terus dirusak dengan berbagai alasan-alasan, lalu, padi mau ditanam dimana? 

Padahal menurut data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) RI hampir 52% dari produksi beras nasional berasal dari Pulau Jawa. Jika hal ini terus terjadi, maka satu-satunya jalan untuk menutupi kebutuhan pangan nasional adalah dengan impor. 

Angka impor yang semakin membengkak dari tahun ke tahun akan mengancam kedaulatan bangsa dalam bidang pangan. Baiklah, jika impor memang solusi terakhir untuk mengatasi krisis pangan, lalu apakah air bersih untuk sekedar makan, minum, memasak, kakus dan mencuci juga harus impor? 

Perjalanan kami terus berlanjut menyusuri jalanan provinsi yang padat penduduk. Seakan semua daerah sudah menjadi kota. Bagaimana tidak, jika dibandingkan dengan daerah tempat saya berasal, daerah berpenduduk lebih kurang 50 ribu jiwa saja sudah dinaikkan statusnya menjadi kota otonom. 

Di Provinsi Jawa Barat, daerah berpenduduk 50 ribu jiwa mungkin hanya dianggap sebuah perkampungan atau desa biasa. 

Ini mungkin termasuk kritik saya terkait daerah berstatus "desa" yang tentu mendapatkan dana desa di beberapa daerah urban pinggiran kota (yang termasuk wilayah kabupaten) di beberapa kota di Pulau Jawa khususnya di Provinsi Jawa Barat.

Ya, seperti, Kabupaten Garut, Singaparna, Kabupaten Bogor, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bekasi dan di beberapa daerah. Apakah masih layak disebut desan dan mendapat dana desa tiap tahun? 

Perjalanan berlanjut, hingga sekitar pukul 20.00 WIB rombongan kami akhirnya sampai di Kota Tasikmalaya. Kami disambut hangat oleh salah seorang teman baik kami orang asli Kota Tasikmalaya. 

Malam itu kami memutuskan untuk menginap di sebuah masjid karena suatu alasan. Singkat cerita, pagi hari, selepas menunaikan shalat shubuh berjamaah, perjalanan dilanjutkan ke arah selatan menuju tujuan terakhir, Pantai Pangandaran. Setelah berkendara sekitar 3 jam, kami sampai di kawasan wisata itu pada pukul 09.30 WIB. 

Setelah sampai di kawasan Pantai Pangandaran kami memutuskan untuk mencari penginapan murah untuk beristirahat sejenak dan makan siang. 

Lalu  perjalanan kami dilanjutkan dengan naik perahu sekitar 5 menit ke sebuah semenanjung berhutan cukup lebat dengan menyewa sebuah perahu kecil. 

Di semenanjung itu, petualangan di mulai dengan mengunjungi berbagai situs peninggalan purbakala dan beberapa goa. Saya amat bersyukur mendapati hutan di semenanjung kecil ini masih terjaga dengan baik walau beberapa sungai kecil kondisinya mengering, diduga karena pembalakan hutan di beberapa titik di semenanjung ini. Na'uzhubillah. 

Setelah jalan-jalannya dirasa cukup, kemudian kami memutuskan untuk kembali. Perahu yang mengantarkan kami tadi ternyata sudah menunggu di bibir pantai. Ketika semua rombongan sudah naik, perahu kecil ini kembali berlayar menuju pantai seberang. 

Di pantai, ritual wajib berupa renang (mandi ombak) dilakoni oleh beberapa kawan-kawan termasuk saya. Setelah puas berenang kami kembali ke penginapan untuk makan malam dan beristirahat. 

Foto: Dok. pribadi
Foto: Dok. pribadi
Keesokan harinya, Ahad 19 Juli 2020 pagi, perjalan kembali ke Kota Bandung dimulai pada pukul 06.50 WIB dengan rute, Pangandaran, Singaparna, Garut, Nagreg, Rancaekek dan berakhir di Kota Bandung. 

Dalam perjalanan pulang ini, persoalan yang sama tetap saya temukan sebagaimana perjalanan menuju Pangandaran. Hutan-hutan yang rusak dan gundul, sawah yang beralih fungsi dan sungai-sungai mengering tetap menjadi pemandangan menyedihkan disepanjang jalan. 

Akhirnya, sekitar pukul 15.00 rombongan kami tiba di halaman masjid PUSDAI Provinsi Jawa Barat Kota Bandung dan kegiatan dinyatakan usai. 

Demikian perjalanan pendek ini saya tuliskan. Bagi saya perjalanan ini tidak hanya sekedar liburan tapi bagaimana saya bisa mengenal daerah Priangan lebih dekat dengan segala persoalan dan tantangannya. 

Semoga segala persoalan yang saya kemukakan pada tulisan pendek terbatas ini dapat ditemukan solusi hakiki kedepannya. Satu hal yang ingin saya ungkapkan, kecintaan saya kepada negeri Priangan ini sungguh cinta yang luar biasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun