Seyogyanya, Piknik Buku (PB) ini dilakukan seminggu sekali. Tapi apakan daya, dikarenakan sulitnya berkumpul dan seringnya tak ada yang menabuh genderang niatan, Piknik Buku bisa dilakukan setahun sekali ( udah kayak idul fitri aja). Padahal, sejatinya Piknik Buku bagi kami itu hanya tameng. Tameng untuk ketemuan, kemudian dilanjut makan-makan.
Seperti  yang dilakukan dua minggu paska lebaran (16 Juni 2019), kami berwacana PB di lapangan Bapor Cilegon seperti biasa.  Tapi hari itu tempatnya kami ubah di  saung jogging track, karena malamnya hujan lebat, jadi tak sesuai untuk gelaran. Di dekat lapangan Bapor yang tak jauh dari saung Jogging track, setiap hari Minggu pagi biasanya ada car free day (yang bagi saya bukan car  free day, tapi eat free day.Â
Hawong isinya orang jualan semua wehehehe) nah di dekat itulah kami menggelar lapak buku. Digelar begitu aja, sedang kami sendiri asyik mengunyah dan berbincang kesana kemari.  Jika ada "tamu" yang datang menjamah dan meminjam buku kami akan menyilakan mereka memilih buku sesukanya. Pun tak jarang, kami  memotretnya.Â
Atau biasanya, setelah melihat-lihat dan memegang buku sebagian dari mereka akan mengajak kami berbincang. Tak sedikit pula yang menawarkan bukunya untuk didonasikan kepada kami.Â
Dan tak sekali dua kali juga ada anak yang cemberut karena menginginkan bukunya, tapi tidak dijual oleh kami. 85% buku yang kami bawa adalah buku anak.
Begitulah... Piknik Buku semacam pikni biasa. Yang membuatnya berbeda sedikit, kami membawa buku dengan jumlah banyak, lalu menggelarnya dan bebas dibaca siapa saja. Namanya piknik, tentunya tak jauh dari menenteng bekal. Sambil menikmati bekal, sambil berbincang entah apa-apa, terkadang obrolan kami sampai ke mana-mana. Termasuk waktu itu, kami sampai pada obrolan tentang sampah.Â
Sampai saat ini, kepedulian kami tentang sampah baru sebatas membuang di tempatnya. Kami sadar, sesadar-sadarnya bahwa upaya untuk membuang sampah pada tempatnya adalah selemah-lemahnya peduli dengan sampah. Karena sejatinya, sampah yang kita buang berakhir kembali menjadi sampah dalam jumlah yang lebih melimpah.
Perbincangan sana sini, akhirnya mengantarkan kami pada obrolan tentang ecobricks. Sebuah metode pengurangan sampah baru yang mulai booming di berbagai negara dan beberapa kota di Indonesia. Ecobricks adalah botol plastik yang diisi padat dengan limbah non-biological untuk membuat blok bangunan yang dapat digunakan kembali. "Eco" dan "brick" artinya bata ramah lingkungan. Disebut "bata" karena ia dapat menjadi alternatif bagi bata konvensional dalam mendirikan bangunan.(dikutip dari lama ecobricks.org).Â
Tentunya, tak semua dari kami paham apa itu ecobricks. Bahkan, saya sendiri. Dengan kemampuan yang masih sangat terbatas hasil googling dan melihat teman, saya sudah memulai membuat ecobricks pada pertengahan Ramadan lalu. Berbagai group dan forum mengenai ecobricks saya ikuti, pun tak sekali dua kali melihat tutorialnya di youtube.
Saya pribadi, sudah agak lama mengenal ecobricks. Tapi ragu untuk ikut membuatnya. Karena saya sendiri belum tahu akan diapakan setelah membuat ecobricks nantinya. Sampai akhirnya saya mengubah mindset, setelah awal Ramadan lalu membuat target untuk mengurangi penggunaan sampah plastik pada diri sendiri dengan selalu membawa botol minuman dan tempat makan, akhirnya mengantarkan saya untuk memulai belajar ecobricks.Â
Juga, tak luput dari unggahan salah seorang teman mengenai komunitasnya di mana enam botol ecobricks berukuran 600 ml air mineral dengan berat 200 gram bisa ditukarkan dengan 1 tumbler.
Bagi saya bukan perihal tumblernya. Tapi seperti menemukan ke mana akan saya kirim setelah membuat eocbricks.
Nah, di Piknik Buku hari itulah kami membicarakan bagaimana caranya setelah membuat ecobricks nanti ada nilai guna. Bukan hanya diganti dengan tumbler nantinya.
Salah seorang dari kami yang aktif mengelola Rumah Baca di kampungnya,  aktif menggerakkan Bank Sampah. Rumah Baca yang ia beri nama Sanggar Wuni Kreasi itu juga memiliki tempat membuat kerajinan kayu dari bekas limbah  drum untuk dijadikan meja kursi. Dengannya, kami berharap bahwa nantinya ecobricks yang dikumpulkan akan menghasilkan benda yang tepat guna.Â
Bagaimana pun, tidak menggunakan sama sekali plastik adalah hal yang sangat sulit. Tapi setidaknya ada hal yang kecil yang bisa kami lakukan, dengan mulai menguranginya. Minimal, dari diri sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H