Tentunya, tak semua dari kami paham apa itu ecobricks. Bahkan, saya sendiri. Dengan kemampuan yang masih sangat terbatas hasil googling dan melihat teman, saya sudah memulai membuat ecobricks pada pertengahan Ramadan lalu. Berbagai group dan forum mengenai ecobricks saya ikuti, pun tak sekali dua kali melihat tutorialnya di youtube.
Saya pribadi, sudah agak lama mengenal ecobricks. Tapi ragu untuk ikut membuatnya. Karena saya sendiri belum tahu akan diapakan setelah membuat ecobricks nantinya. Sampai akhirnya saya mengubah mindset, setelah awal Ramadan lalu membuat target untuk mengurangi penggunaan sampah plastik pada diri sendiri dengan selalu membawa botol minuman dan tempat makan, akhirnya mengantarkan saya untuk memulai belajar ecobricks.Â
Juga, tak luput dari unggahan salah seorang teman mengenai komunitasnya di mana enam botol ecobricks berukuran 600 ml air mineral dengan berat 200 gram bisa ditukarkan dengan 1 tumbler.
Bagi saya bukan perihal tumblernya. Tapi seperti menemukan ke mana akan saya kirim setelah membuat eocbricks.
Nah, di Piknik Buku hari itulah kami membicarakan bagaimana caranya setelah membuat ecobricks nanti ada nilai guna. Bukan hanya diganti dengan tumbler nantinya.
Salah seorang dari kami yang aktif mengelola Rumah Baca di kampungnya,  aktif menggerakkan Bank Sampah. Rumah Baca yang ia beri nama Sanggar Wuni Kreasi itu juga memiliki tempat membuat kerajinan kayu dari bekas limbah  drum untuk dijadikan meja kursi. Dengannya, kami berharap bahwa nantinya ecobricks yang dikumpulkan akan menghasilkan benda yang tepat guna.Â
Bagaimana pun, tidak menggunakan sama sekali plastik adalah hal yang sangat sulit. Tapi setidaknya ada hal yang kecil yang bisa kami lakukan, dengan mulai menguranginya. Minimal, dari diri sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H