Mohon tunggu...
Ana Surjanto
Ana Surjanto Mohon Tunggu... Freedom Writer -

Orang Boyolali - Alumni LPDP RI - Student Ambassador Monash University - Dosen Fakultas Dakwah IAIN Salatiga - Penulis Muda 7 Warna (E: ana.stnk@gmail.com, IG: ana_surjanto, Twitter: @AnaSurjanto)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

'Move on' dari Penjajahan dengan Bahasa, Keberagaman dan Pendidikan

10 Juli 2017   05:16 Diperbarui: 10 Juli 2017   08:38 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kata sejarah, negeri tercintaku yang gemah ripah loh jinawi pernah dikuasai VOC selama kurang lebih 3.5 abad. Ya sudahlah, itu kan masa lalu. Kini waktunya 'move on', siapa tahu gantian Indonesia yang mendunia, misalnya dengan 3 hal ini: bahasa, keberagaman dan pendidikan.

Bukankah kita tak akan bisa mengubah masa lalu kecuali melakukan sesuatu untuk menyiapkan bekal masa depan?

(Berorientasi akherat iyaaa (Idealis) tapi jangan lupa kita menginjakkan kaki di dunia untuk menjadi wakil-Nya di bumi yang bulat bukan datar ini. Realistis!)

So, what?

Jadi berawal ketika Tuhan mengizinkan kaki ini menginjakkan langkah di negeri kincir angin yang cukup nyaman, bersih nan mungil (juga denger dari teman kalau beberapa penjara ditutup karena kurangnya kriminalitas dan dialihkan menjadi tempat penampung pengungsi); kujumpailah kosa kata yang tak asing kudengar, seperti gratis, korting, rok, kios, lokasi, wastafel, dll.

Hal ini membuatku bersyukur bahwa 'founding father' kita juga luar biasa dengan menjadikan Bahasa Indonesia sebagai  alat pemersatu bangsa. Andaikan saja Bahasa Belanda menjadi bahasa kita, enak sekali Londo menjadi semakin terkenal karena bahasanya menjadi salah satu bahasa terbesar yang digunakan di dunia (ingat kita punya SDM yang jumlahnya no.4 di dunia dan geografi kita luas).

Berbeda sejarah andai dijajah Inggris, kita gak perlu capek-capek belajar Bahasa Inggris, paling gak warisan bahasa asing tersebut akan eksis, seperti di India, Filipina dan Malaysia. Memang ada kebaikan yang diwariskan karena yang namanya berbuat baik akan berbuah baik. Meski dalam hal ini Inggris juga Rajanya penjajahan namun cara mereka lebih strategis dengan mewariskan bahasa karena bahasa merupakan alat utama manusia untuk berkomunikasi, berinteraksi dan berdiplomasi.

Hari ini bisa kita lihat bahwa Bahasa Inggris menjadi bahasa terbesar yang digunakan di dunia. Dengan menjadi besar, mereka punya wewenang untuk mengatur dan mendirikan lembaga kebahasaan internasional, ambillah contoh IELTS (International English Language Testing System) yang digunakan untuk melamar kerja, beasiswa, belajar atau pindah ke luar negeri. Untuk sekali tes IELTS, biayanya sangat mahal bahkan ada yang bela-belain menghabiskan berjuta-juta untuk kursus dulu sebelum tes. Menurut saya, kita bisa belajar dari hal ini untuk menduniakan Bahasa Indonesia. Itu poin pertama.

Poin kedua yakni dengan keberagaman. Kita memiliki keberagaman yang luar biasa, mulai dari bahasa daerah, suku, agama, adat-istiadat, dan budaya. Ini merupakan bentuk kekayaan yang luar biasa dan hanya ada di Indonesia. Padahal banyak sekali negara yang pengen disebut ''multicultural' karena perbedaan itu indah kan? Bayangin saja kalau semuanya sama, bisa-bisa bosan karena perbedaan ialah karunia Tuhan.

Semoga jangan sampai lagi, keberagaman ini malah digunakan sebagai alat untuk memecah belah NKRI apalagi menimbulkan kebencian misalnya karena kita berbeda agama. Padahal Tuhan saja begitu toleransi, seperti yang disebut pada Al-Kafirun (6), "Untukmu agamamu, untukku agamaku." So, terserah pilihanmu apa atau siapa, hormati saja.

Harusnya juga sudah gak jaman, jika masih ada saling label-melabel, ngecap-mengecap hingga menimbulkan kebencian misalnya karena berbeda aliran keagamaan. Saya meyakini bahwa kebencian bukan ajaran yang bersumber dari agama, melainkan masih mewarisi 'mental penjajahan'. Bukankah dulu Londo pernah mengkotak-kotakkan masyarakat kita dengan dibentuk stratifikasi di masyarakat, misalnya ada Priyayi, Santri dan Abangan? Atau ada yang merasa terjajah karena membatasi diri kita dengan rasa benci? Itu hanya akan membuang waktu dan energi kita. Demi masa!

koleksi pribadi
koleksi pribadi
Poin ketiga yakni dengan pendidikan. Terserah apakah full day school atau apa namanya, semoga pendidikan di negeri tercinta mampu mengintegrasikan sejarah dengan realita kehidupan agar generasi muda tak gagap apalagi lupa dengan sejarah negerinya sendiri. Jangan sampai begitu gabung kelompok tertentu atau masuk lingkungan baru, bisa saja ikut membenci Indonesia karena melupakan jasa dan pengorbanan Para Pahlawan, Ulama' dan Founding Fathers kita.

Juga semoga pelajaran di sekolah bukan sekadar untuk dihafal, namun bisa diaplikasikan. Contoh kongkrit yang bisa saya usulkan, misalnya belajar PKn (Pendidikan Kewarganegaraan) dengan tema 'Toleransi' bisa diintegrasikan dengan Sejarah (Ilmu Sosial). Siswa-siswi bisa diajak langsung untuk berkunjung ke Masjid, Kuil terdekat atau ada wisata ke Candi (kalau belum mampu wisata ke Candi, bisa dengan permainan menggunakan gambar tentang tempat-tempat beribadah) yang membuat anak mengenal dan memahami sejarah munculnya agama di Indonesia. Tanpa mengetahui sejarah (jati diri sendiri) bagaimana bisa memahami orang lain agar konflik keagamaan atau konflik dengan diri sendiri bisa semakin minim dan pendidikan bisa mengawalnya.

 Let's move on and bring Indonesia to the world!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun