Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Manajemen ASN, yang merupakan turunan dari UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara, bertujuan menciptakan pegawai sipil yang profesional, beretika, bebas dari intervensi politik, dan bersih dari praktik KKN. RPP yang dijadwalkan disahkan pada April 2024 ini menimbulkan perbincangan hangat karena beberapa substansinya dinilai perlu ditinjau kembali. UU 20/2023 Pasal 19 memberikan kesempatan bagi prajurit TNI-Polri untuk mengisi jabatan sipil tertentu dan sebaliknya, yang disebut sebagai mobilitas talenta. Pasal 46 UU tersebut mengatur pengembangan talenta dan karier ASN melalui mobilitas talenta untuk mengatasi kesenjangan talenta dan mendapatkan yang terbaik dari TNI-Polri maupun ASN di posisi yang diperlukan, baik di dalam satu instansi, antar instansi, maupun ke luar instansi pemerintah, berdasarkan sistem merit. Salah satu poin dalam RPP Manajemen ASN mengizinkan TNI-Polri aktif menduduki jabatan sipil Eselon I di berbagai kementerian atau lembaga di level pemerintahan pusat. Menurut Imparsial, kebijakan ini berpotensi menghidupkan kembali praktik Dwifungsi ABRI yang mengancam demokrasi dan mencederai amanat reformasi yang memisahkan peran TNI-Polri dari agenda politik. Gufron Mabruri, Direktur Imparsial, menilai penyusunan RPP ini menunjukkan kebijakan pemerintah yang semakin bertentangan dengan semangat reformasi.
Membuka kembali ruang bagi TNI-Polri untuk mengisi jabatan sipil melalui keberadaan RPP yang dikelola ASN merupakan  langkah mundur menuju demokrasi dan meningkatkan intervensi militer dalam urusan sipil dan politik (KontraS, 2024). Lebih lanjut, poin tersebut dinilai tidak sesuai dengan isi Pasal 28 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyatakan bahwa personel Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. Hal serupa juga tertuang dalam Pasal 47 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang menyatakan bahwa seorang prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah pensiun atau pensiun dari dinas aktif militer. Ada tiga ancaman utama yang bisa muncul jika TNI-Polri menduduki jabatan sipil (Al-Ar'af, 2024). Pertama, tanggung jawab utama  menjaga pertahanan dan keamanan melalui kegiatan lain mungkin terabaikan ketika menduduki jabatan di kementerian/lembaga sehingga dapat melemahkan profesionalisme. Kedua, TNI-Polri dan birokrasi mempunyai fokus dan tugas pokok yang berbeda sehingga membingungkan birokrasi sipil. Ketiga, perselisihan antara ASN dan TNI-Polri bisa saja terjadi karena  salah satu pihak merasa tidak adil dan mempertimbangkan untuk merampas ruang karier.
Ketidakjelasan batasan-batasan yang disebutkan secara umum dalam RPP Manajemen ASN berpotensi menimbulkan kebingungan dalam pembagian peran, yang mungkin menghasilkan konflik kepentingan saat pemerintahan dilaksanakan. Kehadiran TNI-Polri dalam jabatan sipil dan sebaliknya juga dapat menciptakan ketidakjelasan dan ketidaksesuaian dalam penerapan hukum, mengingat perbedaan dalam mekanisme pertanggungjawaban etik dan penegakan hukum antara TNI-Polri dan ASN. Dampaknya dapat mengganggu skema pembangunan tata kelola pemerintahan yang demokratis. Kehadiran RPP Manajemen ASN dipandang sebagai awal untuk membuka kembali kemungkinan bagi TNI-Polri untuk berperan ganda dalam bidang pertahanan dan terlibat dalam administrasi pemerintahan. Adanya ketentuan yang memungkinkan TNI-Polri untuk menempati posisi tertentu dalam struktur pemerintahan sipil membuka peluang bagi kehadiran kembali dwifungsi di Indonesia. Namun, kenyataannya, dampak dari kemungkinan dwifungsi tersebut semakin terlihat hingga saat ini, meskipun telah melewati masa reformasi.Â
Dwifungsi ABRI, sebuah konsep yang memungkinkan ABRI menjalankan peran ganda di bidang pertahanan serta sosial-politik, telah menjebak Indonesia dalam otoritarianisme selama 32 tahun di era Orde Baru. Meskipun awalnya dianggap baik sebagai stabilisator dan dinamisator pemerintahan, pelaksanaannya menyimpang akibat eksploitasi kekuasaan oleh Presiden Soeharto dan oknum militer. Penyimpangan ini disebabkan oleh kekuatan besar ABRI yang dimanfaatkan untuk melemahkan demokrasi dan mendominasi pemerintahan, yang berujung pada pelanggaran HAM dan campur tangan berlebihan dalam urusan sipil. Akibatnya, konsep ini yang semula diharapkan mendukung pemerintahan justru melemahkan peran masyarakat sipil, mencederai amanat reformasi, dan menurunkan kualitas demokrasi serta pelayanan publik. Pengesahan RPP Manajemen ASN pun dirasa hanya untuk melegalkan praktik penyimpangan yang sudah terjadi. Seperti halnya yang disebutkan oleh Ombudsman bahwa telah terjadi penyimpangan, kurang lebih 27 anggota TNI aktif menjabat BUMN (Kompas, 2024). Dengan disahkannya RPP ini maka akan menumbuh suburkan penyelewengan kedudukan TNI dan Polri sebab kedua lembaga tersebut tidak ditetapkan untuk kegiatan politik dan menjabat kedudukan sipil. Penyelewengan kedudukan ini juga disebabkan TNI-Polri bukan merupakan fungsi dan tidak memenuhi kompetensi tersebut (Thea, 2024).
Kehadiran RPP Manajemen ASN di Indonesia menjadi momentum penting untuk memahami bagaimana gaya kepemimpinan politik dapat mempengaruhi warna kebijakan publik. Gaya kepemimpinan yang dominan dalam proses perumusan kebijakan publik dapat mencerminkan orientasi, nilai, dan prioritas pemerintah. Dalam konteks RPP Manajemen ASN, gaya kepemimpinan yang otoriter cenderung menonjolkan keputusan tunggal tanpa keterlibatan luas dari para pemangku kepentingan, yang dapat menghasilkan kebijakan yang kurang responsif terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Di sisi lain, gaya kepemimpinan demokratis akan melibatkan partisipasi luas dari berbagai pihak, seperti ASN, akademisi, dan masyarakat sipil, yang dapat menghasilkan kebijakan yang lebih inklusif dan berkualitas.
Meski RPP pengelolaan ASN dipandang sebagai langkah menuju implementasi transformasi di bidang manajemen ASN, tetapi kenyataannya belum sepenuhnya mencerminkan hal tersebut. Masih banyaknya pasal terkait diperbolehkannya anggota  aktif TNI-Polri menduduki jabatan sipil menjadi salah satu hal yang meresahkan masyarakat. Terbukanya ruang tersebut tentu saja akan dibarengi dengan terbukanya kemungkinan bangkitnya kembali praktik dwifungsi. Oleh karena itu, Kementerian Penguatan Lembaga Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) perlu mempertimbangkan isi UU 20/2023 dan RPP Manajemen ASN terkait diperbolehkannya TNI- Polri aktif  menduduki jabatan pejabat sipil. Selain itu, pembahasan ini juga harus diikuti oleh Komisi II DPR RI, Komite I sebagai mitra pengawasan institusi TNI, dan Komite III sebagai mitra  institusi Polri. TNI-Polri harus tetap profesional dalam melaksanakan tugas dan tugas pertahanan dan keamanan sesuai dengan konstitusi dan ketentuan hukum, serta tidak mencampuri urusan sipil dan negara melalui agenda politik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H