Perbincangan tentang isu-isu perempuan tidak pernah ada habisnya. Kesetaraan gender, kekerasan seksual, dan berbagai isu tentang perempuan lainnya yang sering kita dengar di berbagai tempat-tempat diskusi, di berita TV, dan sosial media. Terlebih lagi RUU TPKS (Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksua) baru saja resmi di setujui menjadi Undang-Undang pada 12 April 2022 kemarin,.
Hal ini membuat perbincangan tentang perempuan ramai di berbagai media.
Kembali berbicara tentang isu perempuan. Perbincangan tentang kesetaraan gender sudah begitu sering kita dengarkan, begitu banyak artikel-artikel yang membahas tentang kesetaraan gender yang hanya selalu mengarah kepada posisi kedudukan laki-laki dan perempuan dalam hal tangung jawab, pendidikan, dan pekerjaan.
Pembahasan yang monoton membuatnya tidak lagi menarik menurut saya, sampai akhirnya saya menonton film yang berjudul Virgin the Series, sebuah film yang merupakan hasil remake dari film berjudul “Virgin: Ketika Keperawanan Dipertanyakan” yang dirilis pada tahun 2004 silam.
Film ini menceritakan tentang seorang gadis popular di sekolah meninggal secara misterius sesaat setelah pesta ulang tahunnya yang ke-17. Seorang siswi bernama talita menggunakan kesemapatan ini untuk membuat sebuah film documenter yang dapat membantunya memperoleh beasiswa yang ia inginkan,
namun itu justru mengungkap sebuah fakta yang membuatnya terjerumus ke dunia yang mengerikan, dimana para predator mencari gadis muda untuk dijadikan korban kepuasan seksual mereka.
Serial 10 episode yang di sutradarai Monty Tiwa ini menganggat permasalahan-permasalahan yang sering terjadi dalam kehidupan realita. Setelah menonton film ini ada beberapa hal yang membuat saya mulai berfikir kembali tentang permasalahan perempuan.
Permasalahan yang menurut saya dititik beratkan pada pola pikir tentang perempuan yang sudah mendarah daging. Maksut saya adalah, pola pikir budaya patriarki, pemikiran yang menganggap bahwa perempuan hanya sebagai objek kepuasan seksual, wanita yang membicarakan sex selalu dianggap nakal dipandangan masyarakat, dan lain sebagainya.
Segala hal yang lumrah dilakukan laki-laki namun dianggap hina bila dilakukan oleh perempuan, bodohnya lagi kita para perempuan membenarkan dan menerapkan itu dalam kehidupan kita.
Ini yang kemudian membuat kita tidak berani untuk speak up saat melihat atau mengalami kekerasan seksual. Padahal, kita selalu memperjuangkan kesetaraan gender agar memiliki hak yang sama rata degan laki-laki, tapi sebagian besar bahkan hampir semua dari kita masih mengadopsi pola pikir yang memberikan standar moral berbeda bagi laki-laki dan perempuan. apakah bisa kita mencapai atau bahkan sekedar mendekati titik kesetaraan?