Mohon tunggu...
Anastasia Tutik Ariani
Anastasia Tutik Ariani Mohon Tunggu... Guru - Teacher

Saya adalah seorang pendidik di Yayasan Tarakanita

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pentingkah Peringkat Anak dalam Kurikulum Merdeka

3 Agustus 2024   10:00 Diperbarui: 3 Agustus 2024   10:08 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun ini adalah tahun ketiga bagi sekolahku untuk mengikuti Kurikulum Merdeka. Ternyata susah sekali untuk mengikuti perkembangan kurikulum yang diberlakukan dari Pemerintah. Tidak ada pelatihan secara khusus untuk para guru. Para guru diminta untuk belajar secara mandiri untuk mengikuti kurikulum ini. Tentu saja kemampuan setiap guru akan berbeda-beda jika belajarnya secara mandiri.

Untuk mendalami kurikulum banyak ditawarkan webinar. Selain webinar, para guru diminta untuk belajar mandiri dengan materi yang sudah disiapkan oleh pemerintah. Pemerintah menyiapkankan wadah untuk belajar para guru, yaitu dengan membuka Media Mengajar. Segala kebutuhan kurikulum merdeka telah disediakan di sana. Perlahan-lahan saya sebagai guru mulai memahami apa dan bagaimana kurikulum merdeka. Oke lah kami move on perlahan-lahan dari kurikulum sebelumnya.

Ada beberapa hal yang kami pamami dari kurikulum tersebut, antara lain adanya Capaian Pembelajaran, Alur Tujuan Pendidikan, dan Modul Ajar. Dari para guru berusaha semaksimal mungkin untuk menyampaikan kepada orang tua. Di antaranya, bahwa tidak ada anak yang bodoh, semua anak mempunyai kompetensi yang harus dikembangkan dengan baik. Ada ungkapan yang pas untuk hal ini, bahwa anak burung tidak mungkin dipaksa untuk berenang. Oleh karena itu sekolah tidak menyediakan peringkat dalam setiap kelasnya. Jika peringkat atau ranking masih diberlakukan maka apa yang akan terjadi? Bagi anak yang nilai-nilainya bagus, tentu saja hal ini tidak masalah, tetapi bagi anak yang nilai-nilainya rendah, tentu saja akan membuatnya rendah diri, malu, merasa bodoh dan lain-lain.

Jika para guru sudah berusaha untuk memahami kurikulum merdeka, bagaimana dengan orang tua? Tentu hal ini tidak mudah. Masih banyak orang tua yang memaksakan agar nilai anak-anaknya tinggi, syukur-syukur anaknya mendapatkan ranking atau peringkat  tinggi di kelasnya. Dengan berbagai cara dilakukan orang tua agar nilai-nilai anaknya maksimal atau sempurna. Antara lain mendatangkan guru les, masuk ke tempat les, anak mengalami kekerasan ( KDRT ) jika nilai-nilainya jelek dan lain-lain. Yang jelas untuk saat ini, masih banyak orang tua entasi pada nilai, gak peduli dengan aturan Kurikulum Merdeka.

Demikian juga dengan kantor-kantor atau perusahaan-perusahaan tempat bekerja orang tua. Mereka akan memberikan bea siswa jika anak karyawannya mendapat peringkat 10 besar. Nah, bagaimana ini? Akhirnya, yang terjadi adalah orang tua menanyakan anaknya ada di peringkat ke berapa supaya mendapatkan bea siswa dari kantor orang tuanya. Kemudian yang terjadi adalah sekolah membuatkan peringkat untuk memenuhi permintaan orang tua.

Menurut saya, alangkah baiknya jika kantor-kantor atau perusahaan-perusahaan juga diminta untuk memahami Kurikulum Merdeka. Sehingga antara sekolah, orang tua, pemerintah, dan persahaan-perusahaan bisa sejalan dalam menerapkan Kurikulum merdeka. Bagaimana menurut anda?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun