Mohon tunggu...
Anastasia Satriyo
Anastasia Satriyo Mohon Tunggu... -

Mahasiswi Magister Profesi Psikolog Klinis Anak yang gemar membaca, menonton dan menulis. \r\nMenyukai seni, sastra, bahasa, politik, budaya, pertumbuhkembangan anak dan manusia, serta segala segi kemanusiaan yang terdapat di dalamnya.

Selanjutnya

Tutup

Edukasi

Mama: Guru Bahasa Indonesia Pertamaku

21 Maret 2013   10:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:27 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beauty. Sumber ilustrasi: Unsplash

Saya memiliki kecintaan terhadap Bahasa Indonesia yang besar.  Saya senang membaca dan menulis dalam Bahasa Indonesia.  Saya begitu menikmati membaca karya-karya sastra Indonesia. Saya juga merasa dapat berbicara dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Saya mencintai Indonesia melalui bahasa dan sungguh merasakan Indonesia adalah tanah airku.

Kecintaan pada Bahasa Indonesia ini diperkenalkan oleh ibuku.

Ia selalu mengajakku bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia. Saya mulai belajar tentang konsep diri (self) dengan menggunakan Bahasa Indonesia. Melihat bagaimana ibu mendidik adikku yang terpaut usia delapan tahun denganku sejak usia bayi saya mengetahui bagaimana ia menggunakan bahasa Indonesia untuk memperkenalkan dunia kepada anaknya. Terlebih memperkenalkan tentang konsep diri (self) pada anak-anaknya melalui aktivitas-aktivitas sederhana. Misalnya, melihat diri di cermin atau belajar memanggil nama diri sendiri.

Saya menikmati bercerita dengan ibu dalam Bahasa Indonesia. Saya merasa bisa mengekspresikan diri dan perasaanku melalui bahasa Indonesia. Saya merasa bisa semakin mengenal dan memahmi diriku lewat Bahasa Indonesia.

Sepuluh tahun terakhir melihat maraknya penggunaan Bahasa Inggris pada anak-anak sejak usia dini saya jadi bertanya pada Ibu. Saya bertanya padanya mengapa ia tidak mengajarkan Bahasa Inggris sejak usia dini kepada kami. Padahal ibu saya adalah seorang guru dan lulusan FKIP Bahasa Inggris. Lima belas tahun pertama karirnya dihabiskan untuk mengajar Bahasa Indonesia untuk orang asing.

Ibu ingin anak-anaknya kokoh terlebih dahulu dengan bahasa pertamanya, Bahasa Indonesia. Sebab kalau bahasa ibunya sudah mantap, mau belajar bahasa apa saja jadi lebih mudah, demikian pendapat ibu.

Meskipun sebenarnya saya sudah familiar dengan Bahasa Inggris sejak kecil. Melalui tayangan Disney, mendengar ayah dan ibu saya mengobrol yang rahasia biasanya menggunakan Bahasa Inggris, pergi berlibur ke luar negeri dan belajar Bahasa Inggris di hari-hari tertentu dengan ibu yang kemudian dilanjutkan dengan kursus di tempat les.

Ketika saya kuliah Psikologi dan semakin melihat maraknya fenomena orang tua masa kini yang repot mengajarkan Bahasa Inggris pada anaknya, saya jadi semakin penasaran. Saya sering melihat orang tua yang mengajarkan bahasa Inggris sepotong-sepotong pada anaknya yang bahkan belum mencapai usia setahun atau dua tahun.

"Ayo dipegang ball-nya""Ayo shake-hand".

Banyak orang tua mereduksi makna bahasa menjadi sekedar kata pengganti saja. "Ball" sebagai pengganti bola, "shake hand" pengganti kata "bersalaman" dan sebagainya.

Padahal bahasa dan perkembangan bahasa pada seorang anak merupakan sebuah proses kompleks. Melibatkan berbagai aktivasi bagian otak dan proses kognitif pada anak (Sani, 2011). Sedemikian kompleksnya bahasa berkembang di dalam kognitif manusia sehingga bila kita pergi ke negara asing dan mendengar dari kejauhan saja ada orang yang berbahasa Indonesia, kita langsung bisa mengenalinya.

Situasi persaingan global saat ini membuat kita memacu anak-anak untuk sedini mungkin menguasai bahasa internasional. Ibarat mengajak mereka melompat meraih dahan yang tinggi tapi kita sering melupakan tanah tempat mereka berpijak.

Kita sering menyepelekan pentingnya bahasa Ibu diperkenalkan dan diajarkan pada anak. Menurut PBB, bahasa Ibu sebagai bahasa pertama anak berperan membentuk identitas pribadi, sosial dan kultural.

Bahasa sebagai Identitas

Sebenarnya ke mana sih kiblat negara maju menurut Indonesia? Amerika Serikat, Eropa, Australia, Jepang atau mana?

Jika kita memperhatikan sejenak dengan seksama, negara-negara maju ini tidak semuanya mengajarkan bahasa Inggris sejak usia dini. Terlebih pada negara-negara yang tidak menjadikan Bahasa Inggris sebagai bahasa pertamanya.

Anak Jerman akan diajarkan berbahasa Jerman terlebih dahulu di rumah dan di sekolah. Begitu pun anak Perancis dan Jepang. Semua buku-buku terbaik dalam sastra, seni dan teknologi diterjemahkan sesuai dengan bahasa negaranya.

Dampaknya bagi identitas diri sangatlah besar. Bahasa pertama membantu anak-anak mengetahui siapa mereka, di mana mereka berada lengkap dengan konteks sosial budaya yang melingkupi mereka. Bahasa membantu mereka untuk mengetahui keberakaran atau rootedness (Eric Fromm dalam Santrock, 2008).

Kemantapan dan kepercayaan diri ini merupakan bahan bakar yang sangat penting untuk memampukan anak-anak mengembangkan diri sesuai dengan potensi dan siapa diri mereka yang sebenarnya.

Seumpama sarang tempat anak-anak burung tumbuh di masa-masa krusial dalam hidup. Jika mereka sudah kuat, mereka dapat terbang ke dahan yang lebih tinggi bahkan membubung ke angkasa.

Bahasa sebagai Sarana Belajar Konsep

Pada lima tahun pertama kehidupan, anak belajar berbagai cikal bakal konsep hidup yang penting. Konsep tentang waktu, konsep tentang keluarga dan orang lain, konsep tentang diri, konsep tentang lingkungan sekitar. Konsep yang dipelajari lewat pengalaman hidup sehari-hari yang sederhana namun menjadi cikal bakal sistem nilai (values dan belief) di dalam dirinya kelak.

Belajar konsep-konsep seperti ini tentu akan lebih mudah dipahami jika menggunakan bahasa Ibu. Ibu pun akan dengan lebih mantap dan percaya diri menjelaskan segala sesuatu pada anaknya menggunakan bahasa yang ia kuasai.

Saya terinspirasi dengan cerita seorang teman ibu, orang Indonesia yang tinggal di Amerika lalu memiliki anak. Ia baru memperkenalkan bahasa Inggris pada anaknya setelah usia dua tahun. Selama dua tahun pertama kehidupan anak ia selalu berbahasa Indonesia dengan anaknya. Setelah itu karena mereka juga tinggal di lingkungan yang berbahasa Inggris, dengan cepat anaknya beradaptasi dengan bahasa Inggris.

Jika yang tinggal di luar negeri saja memberi waktu dan kesempatan untuk anaknya belajar bahasa Ibu-nya, mengapa kita yang tinggal di Indonesia terlalu repot mencekoki anak-anak usia dini dengan bahasa asing? Apalagi pengajaran bahasa asingnya tidak dalam satu kalimat utuh yang lengkap.

Bukankah lebih baik memberikan mereka kesempatan seluas-luasnya untuk mengeksplorasi diri dan lingkungan sekitarnya lewat bermain. Sebab melalui bermain banyak pembelajaran hidup yang akan berguna untuk membantu mereka beradaptasi di tahap-tahap kehidupan selanjutnya.

Tiga tahun sudah berlalu tapi saya masih mengingat perkataan penutup (closing statement) Gita, teman saya dalam lomba debat Olimpiade Psikologi di Surabaya tahun 2010. "Ajarkanlah anak bermain bola, bukan mengajarkan bola itu ball tapi anaknya bahkan tidak tahu bagaimana cara menendang bola. Bahwa bola itu digunakan untuk bermain bola, untuk ditendang. Ajak anak untuk mengetahui bagaimana menggunakan berbagai benda yang ada di sekitarnya. Jika mereka menikmatinya, mereka akan dengan mudah belajar penamaan tentang benda itu. Termasuk penamaan benda itu dengan bahasa asing"

Selamat Hari Bahasa Ibu Internasional (21 Februari 2013)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun