Mohon tunggu...
Anastasia Satriyo
Anastasia Satriyo Mohon Tunggu... -

Mahasiswi Magister Profesi Psikolog Klinis Anak yang gemar membaca, menonton dan menulis. \r\nMenyukai seni, sastra, bahasa, politik, budaya, pertumbuhkembangan anak dan manusia, serta segala segi kemanusiaan yang terdapat di dalamnya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Setitik Bulatan di Peta Buta dan Hal Lainnya

6 Januari 2012   12:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:14 620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin ini saya habis membaca tentang Danau Poso di koran Kompas tanggal 3 Januari 2012. Pada artikel tersebut digambarkan keindahan danau terbesar ketiga di Indonesia itu dengan penduduk setempat yang masih tradisional dan memegang nilai-nilai kearifan lokal. Di pojok kiri bawah artikel, terdapat peta kecil lokasi danau ini di wilayah Sulawesi Tengah. Saya tersadar, sesungguhnya Indonesia yang saya kenal dan pelajari sewaktu di sekolah dasar adalah titik-titik dan ceruk yang terdapat di peta buta.

Ya, peta buta menjadi pelajaran momok bagi anak-anak sekolah dasar yang mempelajari Ilmu Pengetahuan Sosial ataupun Geografi di bangku SMP-SMU. Sampai hari ini saya tidak mengetahui apa tujuan mempelajari peta buta. Terlebih eksekusi pelajaran peta buta di bangku sekolah membuat murid mengasosiasikan geografi sebagai pelajaran yang membosankan dan menakutkan. Keindahan alam Indonesia dengan aneka kota-kota dan kenampakan alam hanya menjadi titik-titik bulat dan segitiga di peta buta. Kami harus menghapalkan letak titik-titik itu pada selembar peta buta yang telah diperkecil jutaan kali dari ukuran wilayah yang sebenarnya. So what kalau hapal? So what kalau tidak hapal?

Yang jelas, titik-titik bulat dan segitiga itu telah mereduksi hasrat anak-anak Indonesia untuk mengenal, mempelajari dan mengeksplorasi negaranya sendiri, tanah airnya.

Tak akan pernah saya tahu kalau Danau Poso demikian indahnya atau Danau Kelimutu memiliki tiga warna kalau waktu kecil tidak membacanya melalui majalah Bobo. Saat itu internet belum semudah sekarang. Di saat ini jika mempelajari kenampakan alam seperti ini pasti dengan mudahnya kita bisa meng-googling dan melihat gambar aslinya. Namun hal seperti ini tidak selalu dimunculkan pada buku pelajaran yang menjadi pegangan wajib para murid. Geografi menjadi ilmu yan berjarak. Semua yang dimiliki Indonesia tertera sebatas teks saja. Tak mampu menjangkau jiwa-jiwa muda generasi penerus bangsa untuk penuh hasrat dan kekaguman menjelajah negerinya, meski hanya melalui buku dan tontonan.

Ketika masa mempelajari peta buta dulu, saya termasuk murid yang menyenangi pelajaran seperti ini. Saya merasa imajinasi saya dapat mengawang-awang. Tapi ini tak terlepas dari peran orang tua yang memfasilitasi tayangan bermutu dan memperkenalkan koran di mana terdapat Indonesia dalam wajah yang berbeda dari buku sekolah. Saya juga sering diajak jalan-jalan. Paling tidak Pulau Jawa pernah saya kelilingi dengan kereta api maupun mobil. Pernah menyeberang pulau dengan kapal feri dan pesawat. Maka manfaat experential learning nyata terasa. Saya tidak kesulitan menghapalkan kota-kota sepanjang Pantai Utara (Pantura) Jawa sebab pernah melewatinya secara langsung. Perjalanan melewati kota-kota itu, menjadi topik bahasan di dalam mobil bersama orang tua sehingga saya menjadi ingat dan bisa membayangkan kota-kota itu.

Tentu saja untuk melakukan kegiatan seperti ini membutuhkan effort yang besar. Serta kesadaran bahwa proses belajar tak semata-mata tanggung jawab guru dan sekolah formal. Sebab sekolah yang pertama dan terutama sebenarnya ada di dalam keluarga. Sekolah yang sampai hari ini tak kunjung ‘’lulus” karena masih ada hal-hal yang perlu dibenahi dan ditingkatkan sebagai individu. Setiap elemen dan pihak yang berinteraksi dengan anak menjadi agen dan media pembelajaran bagi anak. Menggunakan paradigma seperti ini seharusnya muncul kesadaran bahwa belajar bisa di mana saja, melalui hal apa saja, di sepanjang proses hidup dan seharusnya menyenangkan.

Namun seringkali proses belajar dikotakkan sebatas ruang formal sekolah, di dalam gedung, duduk di kursi, menghadap meja dan papan tulis serta guru yang menerangkan. Ini juga terjadi hingga bangku kuliah. Seakan belajar dengan aspek hidup yang lain terpisah.

Padahal ketika kita browsing gadget terbaru, itu juga merupakan pembelajaran.

Ketika browsing online shop, itu juga merupakan pembelajaran.

Ketika mengobrol dan bermain dengan teman, itu juga merupakan pembelajaran.

Bahkan ketika kita browsing hal-hal bokep atau pornografi di internet itu juga pembelajaran.

Saya teringat perkataan Ibu Siska Andanti, dosen Multikulturalisme pada suatu pertemuan kuliah tatap muka. “Kalau kamu begitu semangat browsing dan cari tahu tentang hal-hal bokep mengapa semangat dan hasrat yang sama tidak bisa kamu berikan untuk belajar di perkuliahan? “

Menemukan halangan dan batasan untuk browsing pornografi tidak menjadi halangan untuk terus mencari, bahkan semakin penasaran dan ingin tahu. Mengapa ketika menemukan halangan dan kendala di perkuliahan jadi cepat putus asa? *sambil ngomong ke diri sendiri juga*

,

Tulisan ini merupakan suatu head fake learning.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun