Ruangan gelap....
Cahaya kekuningan hanya berasal dari panggung. Menerangi seorang perempuan ayu mengenakan kebaya putih dan kain jarik tak lupa konde menghiasi kepalanya. Ia duduk di kursi jati menghadap ke kami, penonton. Ia bercerita tentang kehidupannya kepada kami seperti layaknya bercerita kepada sahabat karib yang lama tak berjumpa.
Cerita tentang dirinya, keperempuanannya, keibuannya, keIndonesiaannya. Kisah tentang kemanusiaan yang jarang terungkap dalam sejarah kolonialisme yang khatam dipelajari orang Indonesia.Kali ini kolonialisme dituturkan dari seorang perempuan desa tak berpendidikan, yang awalnya tak punya andil bahkan untuk menentukan hidupnya sendiri. Ia diceburkan dalam putaran arus kehidupan pelik oleh kedua orang tua yang menjualnya kepada Tuan tanah Belanda, Helmen Mellma.
Sepanjang pertunjukkan ia bertutur tentang rentetan peristiwa-peristiwa penting dalam hidupnya serta bagaimana ia menyikapi setiap peristiwa itu. Tak lelah ia bercerita dengan segenap ekspresi dan emosi yang muncul dari setiap dinamika kehidupan yang ia alami. Di sinilah kepiawaian Sita Nursanti, pemeran Nyai Ontosoroh diuji. Penguasaan naskah, penghayatan peran dan kualitas vokalnya patut diacungi jempol. Bagaimana setiap kata demi kata bahasa Indonesia lama dapat ia lafalkan dan tuturkan dengan baik, bukanlah suatu hal yang mudah.
Terbiasa menonton film Hollywood membuat ada harapan bahwa kisah akan berakhir dengan happily ever after. Namun, Nyai Ontosoroh malah kalah di meja pengadilan. Kehilangan hak atas anaknya, atas warisannya. Kembali lagi mengumpulkan fragmen hidupnya bersama dengan Minke yang sudah dianggap anaknya sendiri. Sekali lagi menunjukkan ketegaran seorang perempuan, seorang ibu, seorang Indonesia yang tak akan lelah berjuang sampai titik darah penghabisan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H