Mohon tunggu...
Anastasia Retno Pinasti
Anastasia Retno Pinasti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Negeri Semarang

Adventurer who traces footprints with words and writings. Exploring the diverse world like a color palette to create eternal masterpieces.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Di Titik Nol: Perempuan Melawan Patriarki

27 April 2024   09:00 Diperbarui: 27 April 2024   09:01 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel Perempuan di Titik Nol (Gramedia.com)

Setiap membuka mata, realitas pahit mengenai perempuan seakan menjadi mimpi buruk bagi penulis. Budaya patriarki yang toksik adalah musuh utama bagi perempuan yang melawan. Figur perempuan yang lekat dengan stereotip tak berdaya sudah tidak lagi relevan di masa kini. Sudah saatnya perempuan menunjukkan keberdayaannya sebagai individu yang merdeka.

Berkembangnya zaman, berkembang pula caranya. Lewat musik, seseorang dapat mempengaruhi orang lain untuk sepaham dengannya. Lewat media sosial, seseorang dapat menyuarakan suara mereka yang dibungkam untuk memperoleh keadilan. Lewat tulisan, seseorang berkesempatan membuka mata orang yang buta terhadap penindasan.

“Perkawinan adalah lembaga yang dibangun atas penderitaan yang paling kejam untuk kaum wanita.” [PDTN: 143]

Kutipan tersebut merupakan refleksi kritis tokoh Firdaus akan keganasan budaya patriarki yang menggerus status “manusia” dalam diri perempuan. Novel Perempuan di Titik Nol karya Nawal El Saadawi mengangkat kisah nyata seorang perempuan bernama Firdaus yang dihukum gantung di Mesir. Setiap lembar novel ini membawa pembaca menilik betapa bobroknya kehidupan masyarakat yang didominasi kaum laki-laki.

Karya ini disusun dengan narasi kompleks dan kuat yang membuat pembacanya bergidik ngeri membayangkan kondisi penindasan perempuan di Mesir. Kekerasan dalam rumah tangga, pemerkosaan, ketimpangan pendidikan, dan objektifikasi perempuan disajikan secara gamblang sekaan susah untuk menyunting kekejaman budaya patriarki yang tak beradab. Pembaca diajak untuk menelanjangi akar permasalahan budaya patriarki yang menempatkan perempuan hanya sebagai komoditas.

Pada awal cerita, pembaca akan disambut pengenalan sosok Firdaus, perempuan muda di balik jeruji besi yang menanti hukuman gantung akibat membunuh lelaki yang hendak memperkosanya. Sebagai tokoh utama dalam novel ini, Firdaus dideskripsikan sebagai sosok yang cerdas, berani, haus akan pengetahuan, dan berontak melawan budaya patriarki.

Lembar Hitam Permulaan

Sosok Firdaus yang lahir dari keluarga miskin, sejak kecil menjadi korban pelecehan seksual oleh pamannya sendiri. Bingung, marah, dan kesakitan adalah kata yang dapat secara jelas mendeskripsikan masa kecil Firdaus. Belum lagi, situasi di mana hidupnya bergantung dan ditentukan oleh pelaku pelecehan seksual yang berperan sebagai walinya.

“Sebenarnya, apa yang sedang ia lakukan lebih dari itu. Sebenarnya ia melakukan hal yang lebih jauh dari itu.” [PDTN: 20]

Hal ini mengingatkan penulis akan kasus pelecehan seksual terhadap anak yang dilakukan oleh anggota keluarganya sendiri. Tanpa moral, seorang ayah dengan tega melecehkan seorang anak perempuan yang belum berdaya hanya karena nafsu semata. Sosok anggota keluarga yang seharusnya menjalankan fungsi proteksi serta afeksi malah berubah menjadi bahaya yang dapat mengancam kapan saja.

Menurut laporan terbaru dari UNICEF, Interpol, dan ECPAT, berjudul "The State of Online Child Sexual Exploitation in 2022”, 56 persen anak Indonesia pernah mengalami perlakuan yang salah atau eksploitasi seksual di dunia maya. Dan hanya 17 persen anak yang melaporkan kejadian tersebut kepada orang tua atau pihak berwenang. Sungguh miris melihat selisih yang jauh antara persentase korban yang memilih untuk melapor dan bungkam. Trauma dan ketakutan masih membelenggu korban untuk menyuarakan penderitaannya

Dalam novel ini, orang dewasa menilai anak-anak sebagai sosok tak berdaya dan tak paham akan apa yang dilakukan kepada mereka. Perilaku manipulatif oleh pelaku dapat dengan mudah dilakukan untuk menyamarkan kejahatan mereka. Belum lagi hal yang berbau seksual kental dengan stigma buruk dan tabu sehingga korban memilih untuk bungkam dan diam. Sayangnya bungkamnya korban dapat dapat berakibat fatal bagi perkembangan mental dan emosional mereka. Rasa terisolasi dan traumatis akan menjadi mimpi buruk yang tumbuh bersama mereka.

Dipaksa untuk Terbiasa

“Dan bukannya tetap tinggal di sisi saya untuk membuat saya hangat, Ibu biasanya membiarkan saya sendiri dan pergi ke Ayah untuk membuat dia hangat.” [PDTN: 24] 

Sosok ibu yang seharusnya menjadi pelindung, dalam novel Perempuan di Titik Nol malah berlaku sebaliknya. Ibu Firdaus memegang keyakinan tradisional mengenai peran perempuan dalam masyarakat. Dia meyakini bahwa perempuan seharusnya tunduk kepada laki-laki dan memusatkan perhatian pada tanggung jawab domestik.

Budaya patriarki dapat mematikan sisi humanis seseorang. Ibu Firdaus yang terbiasa tumbuh dengan didikan budaya masyarakat misoginis pun dipaksa menerima peran subordinat dan menormalisasi hal tersebut. Internalisasi patriarki adalah tahap di mana perempuan, tanpa disadari, mengadopsi serta mengikuti norma-norma serta nilai-nilai yang dominan dalam budaya yang dipengaruhi oleh patriarki.

Ibu Firdaus, memaksanya menjadi wanita "baik-baik" dan menikah dengan laki-laki yang tidak dicintainya demi mendapat mahar. Perwujudan belenggu norma dan nilai tradisional yang membatasi pilihan perempuan terlihat jelas pada karakter Ibu Firdaus. Hal ini menunjukkan jika korban warisan budaya patriarki juga berperan dalam melanggengkan penindasan perempuan.

Lantas mengapa hal tersebut bisa terjadi?

Tersesat, Disesatkan, Atau Menyesatkan?

Ilustrasi Perempuan yang Dikendalikan Budaya Patriarki
Ilustrasi Perempuan yang Dikendalikan Budaya Patriarki

“Lelaki memaksakan penipuan pada perempuan, dan kemudian menghukum mereka karena telah tertipu, menindas mereka ke tingkat terbawah, dan menghukum mereka karena masih jatuh begitu rendah.” [PDTN: 142]

Sebuah ironi yang juga terjadi di masa kini, korban pelecehan seksual distigmatisasi dan dikucilkan oleh masyarakat karena belenggu budaya patriarki. Mayoritas masyarakat mengalami kesesatan berpikir sehingga korbanlah yang dipersalahkan karena cara berpakaian, perilaku, atau keputusan yang diambil. Padahal hukuman, sanksi, dan tanggung jawab seharusnya menjadi ganjaran kepada pelaku kekerasan itu sendiri.

Fallacy of authority atau kesesatan berpikir karena kewibawaan terjadi ketika sekelompok masyarakat menganggap benar apa yang diucapkan oleh seseorang yang dihormati, dianggap panutan, atau memiliki kharisma. Dalam kesesatan ini, apapun yang diucapkan oleh individu tersebut, akan dipercayai dan dianggap benar oleh sebagian besar masyarakat. Padahal substansi dari pernyataan tersebut belum tentu benar.

Dalam budaya patriarki, laki-laki dianggap lebih unggul dan mendominasi perempuan. Fallacy of authority digunakan untuk melegitimasi norma dan nilai patriarki yang tidak adil serta merugikan perempuan. Hal ini menyebabkan perempuan terjebak dalam lingkaran setan bernama ketidakadilan.

Slowly but Surely 

“Saya bukan seorang pelacur. Tetapi sejak semula, Ayah, Paman, suami saya, mereka semua, mengajarkan untuk menjadi dewasa sebagai pelacur.” [PDTN: 162]

Hidup Firdaus bak terjebak dalam kubangan lumpur hidup, menjadi korban pelecehan seksual saat kecil, dinikahkan dengan pria berumur yang kasar, kesulitan mencari kerja akibat hanya memiliki ijazah sekolah menengah, ditipu dan dimanfaatkan oleh lelaki, hingga hidup sebagai pelacur. Pengalaman penindasan oleh karena budaya patriarki mendorong Firdaus untuk menghancurkan belenggu yang mengekangnya.

Di saat perempuan lain dengan “legowo” menerima penindasan akibat dominasi lelaki, ia berani mengambil langkah untuk bebas dari belenggu patriarki. Prinsip tubuhnya adalah miliknya sendiri adalah suatu pemikiran yang langka untuk disadari oleh para perempuan di lingkungannya. Ia mengambil langkah menjadi individu merdeka dengan menjadi pelacur yang berani memutuskan nilainya.

“Karena saya seorang yang cerdas, saya lebih menyukai menjadi seorang pelacur yang bebas daripada seorang istri yang diperbudak.” [PDTN: 151]

Pernyataan yang cukup ekstrim dan tajam, namun menampar realita pahit kehidupan akan budaya patriarki. Sosok Firdaus merupakan simbol pemberontakan dan penolakan terhadap takdir yang ditentukan oleh para lelaki. Tubuhnya tak lagi dikontrol dan dieksploitasi untuk kepentingan mereka, tanpa mempertimbangkan kehendak dan rasa sakitnya. Firdaus memulai “kemerdekaannya” dengan mengontrol diri sesuai kehendaknya sendiri.

Walau pada akhirnya ia sadar jika pekerjaannya sebagai pelacur adalah hal yang tak terhormat, tetapi ia berani untuk mengoreksi diri dan tidak bergantung pada lelaki. Firdaus tak memberikan lelaki kesempatan untuk memainkan peran sebagai seseorang “suci” yang akan menyelamatkan dan mengatur hidupnya lagi. Sosok Firdaus mengajarkan bahwa perempuan memiliki hak untuk memilih dan mengklaim kebebasan akan hidupnya.

Mengoyakkan Belenggu Patriarki 

"Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang dapat Anda gunakan untuk mengubah dunia." - Nelson Mandela

Mereka yang menderita hanya dapat berdiam diri karena ketidakberdayaan akibat kebodohan dan kebebalan. Kebodohan bisa terjadi secara alamiah namun bisa juga terjadi karena pembodohan. Oleh karena itu, pendidikan merupakan kekuatan utama yang dibutuhkan perempuan untuk lepas dari belenggu patriarki.

Perempuan dan laki-laki hidup sebagai partner. Tidak ada yang mendominasi dan tidak ada yang didominasi. Laki-laki dan perempuan memiliki hak, kesempatan, dan tanggung jawab yang sama dalam segala bidang baik dari segi ekonomi, pendidikan, hukum, dan politik.

Tak melulu soal sekolah atau pendidikan formal lainnya, pendidikan pertama seseorang berasal dari keluarga. Menilik kisah Firdaus yang sedari kecil diperkenalkan dengan kekerasan dalam rumah tangga, belenggu patriarki dapat dilepaskan dengan dengan memberikan teladan perilaku yang positif di keluarga. Anak cenderung meniru apa yang orang dewasa lakukan. Oleh sebab itu sikap saling menghormati, nilai keadilan, dan nilai kesetaraan harus ditanamkan kepada generasi penerus kita.

Sebagai generasi Z yang hidup di era serba digital, pendidikan anti diskriminasi dapat diberikan oleh semua orang. Lewat layar gadget seseorang dapat berperan sebagai guru untuk melawan diskriminasi gender. Memaparkan isu toxic patriarchy, berdiskusi dalam kolom komentar, mempengaruhi orang lain untuk peduli dan meningkatkan awarness masyarakat akan kesetaraan gender dan bahayanya stereotip gender. Kritik patriarki dapat diberikan lewat karya sastra, musik, dan konten yang bersifat entertain sehingga kita dapat belajar untuk merefleksikan norma-norma sosial dan budaya yang diskriminatif dan mendorong perubahan menuju masyarakat yang lebih adil dan setara.

Aku Hidup, Aku Meredeka

Bagi Firdaus, kemerdekaan melambangkan pembebasan dari kendali serta pembatasan fisik yang diberlakukan oleh lelaki. Ia menginginkan kebebasan untuk menjalani kehidupan yang mandiri, tanpa dibelenggu oleh norma dan aturan patriarki. Firdaus juga mengharapkan kesetaraan gender di mana perempuan memiliki hak dan peluang yang sama dengan laki-laki, baik dalam ranah politik, ekonomi, pendidikan, maupun kesehatan. Ia berambisi untuk terhindar dari diskriminasi serta stereotip gender yang menghambat potensinya. Baginya, konsep kemerdekaan adalah simbol perlawanan terhadap dominasi pria dan penindasan terhadap kaum perempuan.

Pendidikan adalah jalan menuju kebebasan. Sosok Firdaus mengajarkan bahwa setiap penderitaan yang ia alami pasti membuka pintu kebebasan lain. Harapan untuk menjadi individu merdeka ia realisasikan secara pelan namun pasti. Lewat pendidikan, ia mampu mengubah pandangannya yang semula tunduk menjadi sebuah perlawanan akan ketidakadilan.

“Karena kematian dan kebenaran adalah sama dalam hal bahwa keduanya mensyaratkan keberanian yang besar bila seseorang ingin menghadapi mereka.” [PDTN: 171]

Mati digantung bukanlah akhir tragis baginya. Firdaus telah tiada, tetapi sinarnya tetap menyala bak api abadi. Sinar yang menerangi langkah perempuan yang melawan. Tanpa jatuh dalam kubangan lumpur itu, Firdaus tak akan pernah paham bagaimana dunia yang didominasi lelaki itu berjalan. Firdaus tidak hanya menjadi korban tetapi ia juga menjadi sosok yang berani melawan dan mencari kemerdekaannya.

Referensi:

Nawal el Saadawi. (1989). Perempuan Di Titik Nol. (Amir Sutaarga, Terjemahan). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun