Dalam novel ini, orang dewasa menilai anak-anak sebagai sosok tak berdaya dan tak paham akan apa yang dilakukan kepada mereka. Perilaku manipulatif oleh pelaku dapat dengan mudah dilakukan untuk menyamarkan kejahatan mereka. Belum lagi hal yang berbau seksual kental dengan stigma buruk dan tabu sehingga korban memilih untuk bungkam dan diam. Sayangnya bungkamnya korban dapat dapat berakibat fatal bagi perkembangan mental dan emosional mereka. Rasa terisolasi dan traumatis akan menjadi mimpi buruk yang tumbuh bersama mereka.
Dipaksa untuk Terbiasa
“Dan bukannya tetap tinggal di sisi saya untuk membuat saya hangat, Ibu biasanya membiarkan saya sendiri dan pergi ke Ayah untuk membuat dia hangat.” [PDTN: 24]
Sosok ibu yang seharusnya menjadi pelindung, dalam novel Perempuan di Titik Nol malah berlaku sebaliknya. Ibu Firdaus memegang keyakinan tradisional mengenai peran perempuan dalam masyarakat. Dia meyakini bahwa perempuan seharusnya tunduk kepada laki-laki dan memusatkan perhatian pada tanggung jawab domestik.
Budaya patriarki dapat mematikan sisi humanis seseorang. Ibu Firdaus yang terbiasa tumbuh dengan didikan budaya masyarakat misoginis pun dipaksa menerima peran subordinat dan menormalisasi hal tersebut. Internalisasi patriarki adalah tahap di mana perempuan, tanpa disadari, mengadopsi serta mengikuti norma-norma serta nilai-nilai yang dominan dalam budaya yang dipengaruhi oleh patriarki.
Ibu Firdaus, memaksanya menjadi wanita "baik-baik" dan menikah dengan laki-laki yang tidak dicintainya demi mendapat mahar. Perwujudan belenggu norma dan nilai tradisional yang membatasi pilihan perempuan terlihat jelas pada karakter Ibu Firdaus. Hal ini menunjukkan jika korban warisan budaya patriarki juga berperan dalam melanggengkan penindasan perempuan.
Lantas mengapa hal tersebut bisa terjadi?
Tersesat, Disesatkan, Atau Menyesatkan?
“Lelaki memaksakan penipuan pada perempuan, dan kemudian menghukum mereka karena telah tertipu, menindas mereka ke tingkat terbawah, dan menghukum mereka karena masih jatuh begitu rendah.” [PDTN: 142]
Sebuah ironi yang juga terjadi di masa kini, korban pelecehan seksual distigmatisasi dan dikucilkan oleh masyarakat karena belenggu budaya patriarki. Mayoritas masyarakat mengalami kesesatan berpikir sehingga korbanlah yang dipersalahkan karena cara berpakaian, perilaku, atau keputusan yang diambil. Padahal hukuman, sanksi, dan tanggung jawab seharusnya menjadi ganjaran kepada pelaku kekerasan itu sendiri.
Fallacy of authority atau kesesatan berpikir karena kewibawaan terjadi ketika sekelompok masyarakat menganggap benar apa yang diucapkan oleh seseorang yang dihormati, dianggap panutan, atau memiliki kharisma. Dalam kesesatan ini, apapun yang diucapkan oleh individu tersebut, akan dipercayai dan dianggap benar oleh sebagian besar masyarakat. Padahal substansi dari pernyataan tersebut belum tentu benar.
Dalam budaya patriarki, laki-laki dianggap lebih unggul dan mendominasi perempuan. Fallacy of authority digunakan untuk melegitimasi norma dan nilai patriarki yang tidak adil serta merugikan perempuan. Hal ini menyebabkan perempuan terjebak dalam lingkaran setan bernama ketidakadilan.
Slowly but Surely
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!