pandemi COVID-19 telah mengubah pola interaksi dan manusia, terutama komunikasi (Muqsith, 2020).
AdanyaSemua aktivitas dilakukan secara daring, mulai dari perkantoran hingga pembelajaran membuat manusia sangat jarang bertemu sesamanya selama pandemi untuk menghindari penularan virus ini.
Pandemi ini juga membawa dampak pada penyebaran berita palsu yang semakin menjadi. Patel dalam Muqsith (2020), direktur WHO telah menyatakan bahwa adanya berita palsu lebih baru dan lebih mudah menyebar dibandingkan virus ini dan tingkat bahayanya pun sama.
Fakta Pola Kerja JurnalistikÂ
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Masduki dan Prastya (2021), ditemukan beberapa fakta mengenai pola kerja jurnalistik selama pandemi.
Pertama, ditemukannya perubahan pola kerja jurnalistik. Adanya pandemi ini menghadirkan jarak antara jurnalis dengan pejabat publik. Adanya teknologi video converence seperti Zoom tidak membantu, justru  membuat kualitas produksi berita semakin tidak tercapai.
Kedua, terdapat implikasi ekonomi dan politik. Media dan jurnalis terjebak menjadi agen propaganda pemegang otoritas.
Kepentingan elit yang diutamakan ini menyebabkan konflik kepentingan antara publik dan pemerintah, pusat dan daerah, dan berdampak pada agenda proteksi kesehatan yang lambat.
Dalam masa ini, jurnalis menggunakan sumber berita dari pemerintah sebagai sumber utama. Liputan mengenai COVID-19 lebih dominan berupa data statistik, memberitakan yang ada, tanpa adanya pencarian fakta lebih lanjut karena keterbatasan ruang kerja jurnalis dalam meliput.
Peran dan Tantangan Jurnalis
Selama pandemi, jurnalis dan pekerja media cukup memainkan peran yang menyelamatkan jiwa dalam menghadapi berita-berita mengenai COVID-19.