Muenshakai () merupakan budaya yang dimiliki Jepang setelah pecahnya perang dunia ke II. Sederhananya, Muenshakai () mendefinisikan putusnya hubungan sosial dengan keluarga maupun teman. Latar belakang dari budaya Muenshakai (), adalah setelah pecahnya perang dunia ke II, korban jiwa di jepang bertebaran dimana-mana.Â
Dari yang terbunuh, terkena penyakit serta terkena cacat fisik. Melihat perekonomian di jepang setelah perang dunia ke II yang menurun, para korban perang dunia ke II yang mendapatkan penyakit maupun cacat fisik tidak diterima oleh keluarganya dengan tujuan agar tidak menambah beban dalam hidup keluarganya (Prabowo & Tjandra, 2014).Â
Hal ini terbawa hingga saat ini, konsep kehidupan berkeluarga di Jepang. Pada dasarnya anak yang sudah beranjak dewasa akan hidup mandiri dan tinggal di sebuah apartement.Â
Tidak jarang yang tinggal bersama temannya baik sesama jenis maupun lawan jenis. Gaya kehidupan ini biasa disebut dengan kydseikatsutai () yang mempunyai tiga indikasi (Fukutake, 1989; Prabowo & Tjandra, 2014), yaitu:Â
 Jika bertemu dengan sesama jenis, mereka akan hidup bersama dengan tujuan saling membantu perekonomian
Jika bertemu dengan lawan jenis dan menemukan kecocokan, mereka akan melanjutkan ke pernikahan
Jika bertemu dengan pasangan lain jenis, mereka akan hidup bersama layaknya suami istri namun tidak dilanjutkan sampai ke pernikahan
Hal ini dapat dipandang dengan kacamata pola budaya yang diklasifikasikan oleh Hofstede. Hofstede mengklasifikasikan pola budaya sebagai empat kategori, namun budaya Muenshakai () dapat dilihat dari pola budaya individualisme dan pengurangan ketidakpastian yang tinggi.Â
Dimulai dari definisi pola budaya individualisme, pada dasarnya pola budaya individualisme adalah budaya yang menekankan pada hak-hak pribadi, hanya fokus pada kebebasan, privasi dan pendapat pribadi (Samovar, Porter, Stefani & Sidabalok, 2010).Â
Berangkat dari definisi ini dapat dilihat bahwa budaya Muenshakai () memiliki unsur individualisme (Prabowo & Tjandra, 2014). Kurangnya empati yang tergantingkan dengan kebebasan atas beban, yaitu mengurus dan menjaga anggota keluarganya yang menjadi korban perang merupakan bentuk konkrit dari budaya indivualisme.Â
Tidak selamanya individu alisme merupakan budaya yang negatif, berangkat dari budaya individualisme dapat dilihat bahwa Jepang ternyata berpikir dua langkah lebih maju.Â