Mohon tunggu...
anastasia nadine
anastasia nadine Mohon Tunggu... Diplomat - Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

mahasiswa Ilmu Komunikasi Atma Jaya Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jepang Mandiri, Bisa Sendiri

8 Oktober 2020   16:43 Diperbarui: 8 Oktober 2020   16:45 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Muenshakai () merupakan budaya yang dimiliki Jepang setelah pecahnya perang dunia ke II. Sederhananya, Muenshakai () mendefinisikan putusnya hubungan sosial dengan keluarga maupun teman. Latar belakang dari budaya Muenshakai (), adalah setelah pecahnya perang dunia ke II, korban jiwa di jepang bertebaran dimana-mana. 

Dari yang terbunuh, terkena penyakit serta terkena cacat fisik. Melihat perekonomian di jepang setelah perang dunia ke II yang menurun, para korban perang dunia ke II yang mendapatkan penyakit maupun cacat fisik tidak diterima oleh keluarganya dengan tujuan agar tidak menambah beban dalam hidup keluarganya (Prabowo & Tjandra, 2014). 

Hal ini terbawa hingga saat ini, konsep kehidupan berkeluarga di Jepang. Pada dasarnya anak yang sudah beranjak dewasa akan hidup mandiri dan tinggal di sebuah apartement. 

Tidak jarang yang tinggal bersama temannya baik sesama jenis maupun lawan jenis. Gaya kehidupan ini biasa disebut dengan kydseikatsutai () yang mempunyai tiga indikasi (Fukutake, 1989; Prabowo & Tjandra, 2014), yaitu: 

  1.  Jika bertemu dengan sesama jenis, mereka akan hidup bersama dengan tujuan saling membantu perekonomian

  2. Jika bertemu dengan lawan jenis dan menemukan kecocokan, mereka akan melanjutkan ke pernikahan

  3. Jika bertemu dengan pasangan lain jenis, mereka akan hidup bersama layaknya suami istri namun tidak dilanjutkan sampai ke pernikahan

Hal ini dapat dipandang dengan kacamata pola budaya yang diklasifikasikan oleh Hofstede. Hofstede mengklasifikasikan pola budaya sebagai empat kategori, namun budaya Muenshakai () dapat dilihat dari pola budaya individualisme dan pengurangan ketidakpastian yang tinggi. 

Dimulai dari definisi pola budaya individualisme, pada dasarnya pola budaya individualisme adalah budaya yang menekankan pada hak-hak pribadi, hanya fokus pada kebebasan, privasi dan pendapat pribadi (Samovar, Porter, Stefani & Sidabalok, 2010). 

Berangkat dari definisi ini dapat dilihat bahwa budaya Muenshakai () memiliki unsur individualisme (Prabowo & Tjandra, 2014). Kurangnya empati yang tergantingkan dengan kebebasan atas beban, yaitu mengurus dan menjaga anggota keluarganya yang menjadi korban perang merupakan bentuk konkrit dari budaya indivualisme. 

Tidak selamanya individu alisme merupakan budaya yang negatif, berangkat dari budaya individualisme dapat dilihat bahwa Jepang ternyata berpikir dua langkah lebih maju. 

Mendidik penduduk jepang untuk dapat hidup mandiri tanpa orang tua sejak dini membuat jepang menjadi negara yang maju di dunia. Pelepasan anak saat beranjak dewasa ternyata sebuah tindakan yang dinilai akan mendapatkan benefit pada diri sendiri dan negara. 

Budaya ini dalam klasifikasi Hofstede adalah budaya menghindari ketidakpastian yang tinggi. Pola budaya jenis ini berangkat dari asumsi Hofstede yang mengatakan bahwa tidak akan ada yang tau akan masa depan. 

Untuk mereduksi kegelisahan ini, diterapkan budaya yang akan dimanifestasikan kepada hukum, rencana, peraturan, protokol sosial perilaku, yang dipercaya akan membentuk sistem yang meminimalisir bertambahnya ketidakpastian itu sendiri (Samovar, Porter, Stefani & Sidabalok, 2010). Oleh sebab itu Jepang membentuk budaya hidup mandiri, membangun karakteristik individualisme agar pada masa depan tidak bergantung dengan orang lain.

Refrensi:

Prabowo, R. M., & Tjandra, S. N. (2014). Fenomena Muenshakai sebagai Akibat Pola Hidup Individualisme serta Dampaknya terhadap Keadaan Sosial dan Ekonomi di Jepang. Lingua Cultura, 8(2), 116-122. 

Samovar, L. A., Porter, R. E., Stefani, L. A., & Sidabalok, I. M. (2010). Komunikasi lintas budaya. Salemba Humanika.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun