Mohon tunggu...
Anastasia Mellania
Anastasia Mellania Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Selamat datang di tulisan Anastasia, si mahasiswa Ilmu Komunikasi yang sedang belajar membuat karya.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"Aku, Kau & KUA": Melihat Realita "Tak Kenal Maka Ta'aruf"

16 September 2020   20:58 Diperbarui: 16 September 2020   21:24 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

"Orang pikir pernikahan itu hanya sekedar resepsi, padahal masih banyak hal yang jauh dari itu"

Begitu pernyataan dari penulis skenario, Cassandra Massardi saat diwawancarai pada pemutaran perdana film "Aku, Kau, dan KUA"garapannya dan sutradara Monty Tiwa (Utami, 2014).

Mungkin potongan wawancara tersebut dapat menjadi sneak peek pembahasan kita kali ini tentang salah satu genre film yang sudah tidak asing lagi di layar kaca perfilman dunia, the wedding film.

Aku, kau dan KUA (2014)  adalah salah satu dari banyaknya film garapan anak bangsa yang memiliki genre the wedding film di dalam alur ceritanya.  Sebelum lebih jauh membahas film keluaran tahun 2014 ini, mari berkenalan dahulu dengan topik utama kita kali ini ;the wedding film atau film pernikahan.

Untayan Perjalanan Lewat The Wedding Film

The wedding film dapat masuk dalam salah satu subgenre dari melodrama, romansa, maupun film wanita. Selain itu, seperti halnya komedi dan musikal, terdapat bentuk campuran dari film pernikahan. Beberapa dikemas dengan hal-hal yang lucu, beberapa ada yang memasukan sisi gelap dari suatu hal, dan bahkan ada yang condong pada hal berbau politis.  

Pada dasarnya, tidak ada film yang bebas dari suatu nilai di dalamnya. Ada saja pertanyaan yang menyangkut tentang ideologi dan budaya yang harus dimasukan dan dibungkus rapih lewat alur cerita dan penokohan. 

Lewat genre ini sedikit banyak dapat kita lihat bagaimana sebuah 'ritual' dalam kehidupan sehari-hari berusaha dibentuk oleh doktrin agama, konsumerisme, romantisme dan kepercayaan lainnya yang mendasari kebiasaan pernikahan di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Seperti pemaparan Costanzo di bukunya yang berjudul World Cinema Through Global Genres,  dalam film-film bergenre the wedding film biasanya memiliki alur yang cukup mudah ditebak yaitu tentang sebuah alur perjalanan yang di dalamnya sangat memungkinkan adanya mentor untuk dipelajari, musuh untuk dilawan, sekutu yang mendukung, dan penipu yang menipu. 

Tahap perjalanan tersebut dapat dilihat sewaktu lamaran berlangsung, adanya perkenalan keluarga, proses perencanaan upacara pernikahan yang di dalamnya tak jarang terdapat ritual yang bervariasi tergantung pada Negara dan praktiknya. 

Tujuan adanya perjalanan ini juga sangat mungkin berbeda dalam setiap film, tergantung pada apa yang diwakilkan oleh sebuah pernikahan tersebut, misalnya sebagai bentuk cinta sejati, pemenuhan pribadi, status sosial belaka, kesatuan etnis, atau hanya demi harta tradisi (Costanzo, 2014).

Warna Dari Setiap Hubungan yang Dinamis


Mengacu pada banyak penyataan tentang film pernikahan, "Aku, kau dan KUA" memiliki alur yang dinamis namun menarik di dalam ceritanya. Film tersebut sebenarnya juga membawa pesan tersembunyi dibalik tampilan yang begitu segar karena dibalut nuansa kisah remaja yang tak jarang relate dengan sebagaian orang khususnya mereka yang idealnya telah sampai pada umur yang siap untuk membangun bahtera rumah tangga.  

Menceritakan Uci sebagai pemeran utama wanita dan Rico sebagai pemeran utama pria yang menjalani dinamika hidup di umur 20an bersama Fira, Deon, Mona, dan Pepi yang telah menjalin persahabatan sejak lama. 

Rintangan khususnya dalam hubungan mulai terasa sedari awal di mana diceritakan Fira yang batal menikah selang beberapa waktu sebelum mulainya upacara pernikahan dikarenakan sang (mantan) calon suaminya yang mengaku telah berlibur hingga sekamar dengan sepupu Fira sendiri tanpa sepengetahuannya.

Hingga cerita tentang tokoh Uci yang digambarkan sebagai wanita yang taat agama, selalu menolong sahabatnya ketika tertimpa masalah, dan sukses di karir maupun pendidikannya ternyata juga memiliki masalah hidup yang tak kalah berat dari sahabat-sahabatnya yaitu di kala semua sahabatnya telah merancang sebuah hubungan bahkan sampai pada pernikahan masing-masing, Uci masih bertahan pada kesendiriannya dikarenakan adanya rasa khawatir bila ia mengulang 'kecelakaannya' pada masa-masa kenakalannya dahulu yang membuat dirinya tak lagi perawan dan menarik diri dari suatu hubungan dengan lawan jenis.  

Lewat film ini, Monty Tiwa selaku sutradara juga membalut segala konflik kehidupan pernikahan sekaligus persahabatan dengan ajaran ajaran Islami di dalamnya. 

Seperti contohnya penekanan pada tata cara berhubungan antara pria dan wanita lewat Ta'aruf yaitu suatu cara 'mengenal' satu sama lain, memahami karakter, kebiasaan, kondisi fisik, hingga kondisi materi maupun non material antara dua belah pihak menurut ajaran Islam (Syaefullah, 2018). 

Hal ini diperlihatkan dari tokoh Fira dan Deon yang melangsungkan hubungan Taaruf ini sampai pada akhirnya bisa berada di jenjang pernikahan menandakan bahwa sang sutradara hendak membingkai segala kebiasaan remaja pada umumnya dalam hal menjalin hubungan --seperti contohnya nonton di bioskop, makan berdua, jalan-jalan dan menghabiskan waktu bersama --dalam bingkai agama khususnya Muslim yang menjadi kepercayaan paling dominan di Indonesia.

Film ini juga menghadirkan sosok Jerry sebagai kekasih Mona yang menginginkan 'hubungan tidak sehat' sebelum sah sebagai suami dan istri namun Mona menolak sehingga ia menerima konsekuensi untuk mengakhiri hubungannya dengan Jerry. 

Namun, terdapat statement yang cukup lekat dengan kejadian sesudahnya dimana Mona memutuskan untuk berhijab dengan alasan ingin mempunyai jodoh orang baik. Hal ini seakan menjelaskan jika kita hendak mendapatkan orang yang baik sebagai jodoh kita, maka kita juga harus menjadi orang baik, dengan salah satu langkah awalnya dalam ajaran Muslim adalah menutup aurat.

Kisah Mona juga lagi-lagi diangkat dalam beberapa keadaan dimana ia jatuh hati pada Ka Emil, seorang guru agama yang kebetulan mengisi workshop yang dihadirinya dengan Uci. Mona rela jika Ka Emil yang telah memiliki istri melakukan poligami demi dapat menjadi pendamping hidupnya. 

Hal ini memperlihatkan bahwa meskipun dalam ajaran Islam diperbolehkan melakukan poligami, ada suatu prinsip yang masih dipegang oleh sebagian orang bahwa ia hanya mau menikah dengan satu orang.

Terdapat pula konflik pada proses lamaran yang dilakukan Rico kepada pacarnya, Aida, yang diwarnai dengan penolakan dari orang tua pihak wanita dikarenakan mereka telah menjodohkan anaknya dengan seorang pengusaha sukses. Hal ini seakan dijadikan suatu konflik sosial dimana dalam film terlihat orang tua ingin anaknya menikahi seseorang yang 'sederajat' dengan status sosial keluarganya. 

Hal itu juga bisa ditafsirkan sebagai 'adat' dimana seseorang menikah bukan semata-mata karena jalinan cinta, tetapi juga jalinan bisnis yang semakin lancar setelah kedua belah pihak memiliki ikatan darah.

 "Pernikahan Besar dan Mahal (BELUM TENTU) Menjadi Titik Tertinggi Kehidupan Seorang Wanita yang Tak Terelakan" 

Pada akhirnya film ini sampai pada karakter utama yang dipersatukan lewat rangkaian cerita dan kejadian. Rico lambat laun menyadari bahwa ia tertarik dengan Uci yang adalah sahabatnya sendiri dan secara spontan melamar Uci. Seperti dikutip dalam buku, dikatakan bahwa "tokoh protagonis harus selalu menghadapi dan berusaha mengatasi serangkaian rintangan sebelum mendapatkan hadiah" adalah benar adanya.

Rico dan Uci pada akhirnya harus melewati hubungan jarak jauh mengingat Uci yang akan melangsungkan studi beasiswa ke Jerman ditambah dengan Rico yang belajar untuk menerima 'kekurangan' Uci kaitannya dengan hal keperawanan dimana dalam film yang berlatar belakang budaya Timur yang dianut Indonesia ditambah dengan pembawaan Uci di dalam film yang memakai hijab serta pakaian tertutup membuat kesan kepada orang-orang bahwa hal seperti itu memiliki kemungkinan kecil terjadi. 

Hal ini kemudian menjadi budaya yang berusaha diangkat oleh pembuat film dimana idealnya hal keperawanan dilihat sebagai sesuatu yang harus dimiliki oleh setiap wanita dan bila diketahui sudah tidak perawan sebelum menikah, cap jelek dari masyarakat yang kemudian lahir dan menjadi label bagi orang tersebut.

Terakhir, hal tentang melangsungkan upacara pernikahan yang lekat dengan ikonografi ritual dan pernyataan "kegagalan untuk memberi penghormatan pada gagasan bahwa pernikahan besar dan mahal adalah titik tertinggi kehidupan seorang wanita yang tak terelakan" dibantah oleh film ini dimana Uci dan Rico akhirnya melangsungkan pernikahan kecil mereka di KUA (Kantor Urusan Agama) tanpa adanya pesta nan megah seperti budaya pernikahan yang tertanam dalam benak kita. 

Hal itu juga sekaligus menjadi pengingat bagi penonton bahwa derajat kebahagiaan sebuah pasangan tidak melulu soal seberapa megah upacara pernikahannya, melainkan tentang bagaimana suatu hubungan dapat resmi secara hukum dan agama walaupun dengan cara yang sederhana.

#Filmologi03 

Sumber:
Costanzo, W. V. (2014). World Cinema Through Global Genres. John Wiley & Sons.

Saefullah, A. (2018). Agama Sebagai Kritik Sosial Pada Film Aku, Kau dan KUA (Dalam Tinjauan Teknik Sinematografi). Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Utami, E. (2014). Aku, Kau dan KUA, Potret Pernikahan Dalam Komedi Romantis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun