Mohon tunggu...
Levianti
Levianti Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog, Dosen Psikologi Universitas Esa Unggul

Suka diam sejenak, refleksi, menulis, dan ngoepi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Aku kok Sulit ya Berbagi?

5 Januari 2025   19:08 Diperbarui: 5 Januari 2025   19:32 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Sulit Berbagi (Sumber: Unmasking the Narc.com/pinterest)

Masak sih? Berbagi harta pribadi kepada orang yang dikasihi, pasti terasa mudah bukan?! Apalagi saat sedang kasmaran. Hati rasanya terdorong untuk terus memberi kepada pasangan yang dicintai.

Bersedekah kepada sesama manusia yang membutuhkan juga lancar dilakukan sejauh kepentingan pribadi tidak terusik. Toh sumber daya yang tersedia berlebih dan tidak terpakai, sehingga apa yang disedekahkan tidak menyebabkan kebutuhan pribadi harus dikurangi.

Namun mulai muncul rasa keberatan di dalam hati saat diri diminta untuk membagikan sebagian nafkah hidup harian kepada orang "buangan" tak dikenal, atau musuh dan "sampah" masyarakat. Hal ini karena ada pengorbanan pribadi yang perlu dilakukan; apalagi peruntukannya adalah orang-orang yang dianggap kurang layak.

Nasihat bijak untuk "mencintai sesama seperti mencintai diri sendiri" dalam situasi demikian terasa sebagai sebuah utopia. Menolak reaksi batin dan memaksakan diri untuk dapat memenuhi nasihat bijak tersebut juga bukanlah tindakan yang sehat.

Secara pribadi, penolakan negativitas dan pemaksaan positivitas akan menjadi bom waktu yang meledakkan negativitas sewaktu-waktu. Ibarat orang yang menolak nafsu makannya dan memaksakan diri untuk berdiet, ia cenderung berhasil mengurangi makan hanya untuk sementara waktu dan makan berlebihan kemudian.

Secara sosial, penolakan negativitas dan pemaksaan positivitas tersebut akan mendorongnya untuk bertindak mudah menghakimi orang lain dan menyalahkan mereka secara berlebihan. Individu tidak sadar bahwa ia sedang mengkambinghitamkan sesama untuk menyembunyikan kambing hitam yang ada di dalam dirinya. Tanpa sadar, ia menjerumuskan dirinya ke dalam kemunafikan.

Kondisi batin di titik genting tersebut dapat kita alami tidak hanya dalam proses belajar memberikan diri tanpa pilih kasih. Setiap penolakan negativitas dan pemaksaan positivitas berisiko menyebabkan luka mental dan sosial. Kalau begitu, apa yang sebaiknya dilakukan?

Sesungguhnya, solusi yang perlu dilakukan bersifat sederhana, yaitu menerima negativitas dan merintis positivitas. Dari hasil baca beberapa sumber dan modifikasi praktik penerapannya, tahap awal hanya butuh 5 langkah praktis dalam 90 detik, yaitu sebagai berikut:

  • Individu perlu menyadari refleks penolakan negativitas dan nafsu memaksakan positivitas.
  • Lalu hening sejenak untuk mencerna rasa kegentingan batin tersebut.
  • Kemudian perlahan-lahan melepaskan ketegangan melalui napas panjang teratur.
  • Sampai tersisa ampas rasa tidak nyaman pada bagian tubuh tertentu setelah 90 detik, yang melalui napas biasa dapat kita salurkan ke arah telapak tangan yang terbuka.
  • Rambatan halus di telapak tangan bisa kita katupkan sambil batin menyatakan sikap namaste, yaitu apapun energi yang di-KASIH oleh kehidupan untuk dialami pada saat sekarang, mau di-TERIMA, terima-kasih.    

Namun demikian, pelaksanaan tahap awal tersebut seringkali tidak semudah yang dipahami. Dalam situasi batin genting, refleks penolakan negativitas berlangsung sangat cepat, sehingga mudah lolos dari kesadaran. Apalagi dorongan memaksakan positivitas begitu kuat untuk menjadi tindakan nyata. Kelupaan batin ini pun sering lalai terevaluasi karena diri sibuk beraktivitas tanpa berjeda sejenak untuk hening.

Sekilas info, ada beberapa alternatif yang dapat dipilih sebagai jeda hening. Antara lain menikmati rasa keberadaan sejenak setiap waktu adzan, atau selama 2-3 menit setiap selesai satu aktivitas dan sebelum lanjut ke aktivitas berikutnya. Sebuah artikel lawas di National Geographic juga pernah memuat hasil penelitian mengenai manfaat dari menikmati waktu leluasa secara pribadi selama 30 menit per hari untuk memelihara kesehatan mental.      

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun