Masak sih? Berbagi harta pribadi kepada orang yang dikasihi, pasti terasa mudah bukan?! Apalagi saat sedang kasmaran. Hati rasanya terdorong untuk terus memberi kepada pasangan yang dicintai.
Bersedekah kepada sesama manusia yang membutuhkan juga lancar dilakukan sejauh kepentingan pribadi tidak terusik. Toh sumber daya yang tersedia berlebih dan tidak terpakai, sehingga apa yang disedekahkan tidak menyebabkan kebutuhan pribadi harus dikurangi.
Namun mulai muncul rasa keberatan di dalam hati saat diri diminta untuk membagikan sebagian nafkah hidup harian kepada orang "buangan" tak dikenal, atau musuh dan "sampah" masyarakat.Â
Hal ini karena ada pengorbanan pribadi yang perlu dilakukan; apalagi peruntukannya adalah orang-orang yang dianggap kurang layak.
Nasihat bijak untuk "mencintai sesama seperti mencintai diri sendiri" dalam situasi demikian terasa sebagai sebuah utopia. Menolak reaksi batin dan memaksakan diri untuk dapat memenuhi nasihat bijak tersebut juga bukanlah tindakan yang sehat.
Secara pribadi, penolakan negativitas dan pemaksaan positivitas akan menjadi bom waktu yang meledakkan negativitas sewaktu-waktu.Â
Ibarat orang yang menolak nafsu makannya dan memaksakan diri untuk berdiet, ia cenderung berhasil mengurangi makan hanya untuk sementara waktu dan makan berlebihan kemudian.
Secara sosial, penolakan negativitas dan pemaksaan positivitas tersebut akan mendorongnya untuk bertindak mudah menghakimi orang lain dan menyalahkan mereka secara berlebihan.Â
Individu tidak sadar bahwa ia sedang mengkambinghitamkan sesama untuk menyembunyikan kambing hitam yang ada di dalam dirinya. Tanpa sadar, ia menjerumuskan dirinya ke dalam kemunafikan.
Kondisi batin di titik genting tersebut dapat kita alami tidak hanya dalam proses belajar memberikan diri tanpa pilih kasih. Setiap penolakan negativitas dan pemaksaan positivitas berisiko menyebabkan luka mental dan sosial. Kalau begitu, apa yang sebaiknya dilakukan?