Pertama, jujur mengakui kekecewaan akibat kebutuhan pribadi yang tidak dapat dipenuhi oleh pasangan. Dengan begitu, masalah menjadi terangkat ke permukaan dan dapat dicari penyelesaiannya.
Kedua, mengambil tanggung jawab penuh untuk memenuhi kebutuhan pribadi. Hal ini akan mendorong individu untuk berperan aktif sebagai pelaku utama dalam memenuhi kebutuhannya sendiri. Bukankah tidak adil bilamana seseorang menuntut, mewajibkan, ataupun memaksakan keinginannya agar dituruti oleh pasangan? Â
Ketiga, sadari "bahasa korban" saat individu mulai meratapi kenyataan dan mengasihani diri sendiri akibat kelelahan dalam memikul tanggung jawab. Berhentilah sejenak. Istirahatlah. Pulihkanlah tenaga dan stamina jiwa.
Keempat, mitigasi self-pitty dengan mengendurkan pegangan jiwa terhadap stereotip budaya. Lepaskanlah atribut fiksi tersebut. Dengan begitu, jiwa bebas menaruh hormat terhadap rahmat kejadianNya untuk dialami penuh pada saat sekarang. Rasa syukur pun kan mengalir sejuk.
Kelima, daraskanlah kembali janji pernikahan yang sudah dibuat. Berdoalah memohon kekuatan hanya daripadaNya agar berkenan membimbing diri dalam menepati janji yang pernah gagah dikumandangkan.
 Semoga bermanfaat. Salam hangat!***(eL)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H