Adalah seorang kakak yang sulit menerima keberadaan adik-adik tirinya.
Sejak awal, ia tidak suka dengan keputusan ayahnya yang berpoligami.
Terhadap ayah, ia masih bisa menerima, memberikan perhatian, dan menjaga relasi baik.
Namun terhadap keluarga baru ayah, atau ibu dan adik-adik tiri, ia sekedar merespon santun, namun enggan berinisiatif untuk membina keakraban dengan mereka.
Ia tahu, agama mengajarkannya untuk mengasihi sesama, atau bahkan musuh sekalipun seperti ia mengasihi diri sendiri.
Namun pada praktiknya, ia merasa kesulitan.
Ia tidak mampu menerjemahkan ajaran tersebut ke dalam tindakan nyata khususnya kepada keluarga tiri ayah.
Lebih tepatnya: ia tidak mau, titik.
Hatinya sekeras batu.
Meski ajaran kasih setia menetesi batu hatinya agar luluh.
Ia lalu berdoa dan bertanya kepada Tuhan.
Ia jujur mengakui hatinya yang bulat-bulat tidak mau mengasihi mereka sekarang.
Ia bertanya, apa yang sebaiknya ia lakukan.
Selama beberapa waktu, ia terdiam.
Dalam diam, imajinya bergerak.
Ia berada di ruangan konseling, sebagai seorang konselor.
Di hadapannya, duduklah sang kakak.
Ia tersenyum penuh kasih menerima keadaan diri kakak secara apa adanya.
Sikap konselor membuat kakak turut menerima dirinya utuh.
Kakak tersenyum.
Batu es di hatinya mencair.
Ia mau belajar sabar dalam mengasihi sesama, seperti ia mulai tulus menerima dirinya.***(eL)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H