"Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya." (Mrk 9: 35)
Kontroversial, ya, kan?!
Mengakui ingin menjadi yang terdahulu saja tidak mudah, karena orang mengingkarinya agar diri terhindar dari rasa bersalah atas dosa kesombongan.
Setelah berhasil jujur mengakui adanya keinginan untuk menjadi unggul pun tidaklah menjadikannya lebih mudah. Ayat di atas ibarat pagar yang menghalangi nafsu seseorang untuk melompatinya.
Sungguh sulit untuk membelokkan hasrat unggul menjadi kesediaan hati agar menjadi yang terakhir dan pelayan dari semua. Terutama saat individu menempatkan dirinya sebagai bagian yang terpisah dari semua yang lain.
Namun ini rasanya akan langsung diterima hati manakala seseorang memandang dirinya sebagai satu kesatuan dengan semua. Seperti seorang dokter yang bertanggung jawab menyembuhkan sejumlah pasien, tentu ia akan mendahulukan dari yang paling kritis, dan baru melayani keluhan yang teringan di urutan terakhir.
Orang bilang, proses karya berawal dari rancangan ide yang tercipta di benak, lalu mendorong rasa antusias untuk merealisasikan ide, serta nyata melakukan karsa untuk mengeksekusinya. Cipta, rasa, dan karsa.
Namun bagaimana bila rasa ternyata menolak gagasan yang tercipta? Seperti hati yang belum sepenuhnya menerima, atau masih suka plin plan menerima-menolak terhadap gagasan "diri sebagai satu kesatuan, dan baiklah sang diri unggul rela menjadi yang terakhir dan pelayan untuk semua"?
Bukankah sebuah keindahan terasa menyentuh saat pikir berimaji tentang seorang istri pertama yang ikhlas melayani pemenuhan kepentingan istri-istri muda seperti seorang kakak yang mengasuh dan mengasihi adik-adiknya? Atau seorang pemimpin tertinggi negara yang melepas hak memperoleh layanan prioritas dan memilih bertekun untuk melayani rakyatnya daripada dilayani secara istimewa? Â
Bisakah genggaman rasa keberatan hati ini saya lepaskan? Bisa.