Contoh 2 pernyataan asertif:Â
"Saya merasa kesal, karena Bapak tidak mau mendengarkan dulu penjelasan saya, sehingga saya harus menanggung akibat kesalahan dari orang lain. Saya berharap, Bapak bisa bersikap adil dengan mendengarkan dulu penjelasan dari kedua belah pihak."
Bila Pembaca menerima pernyataan asertif tersebut di atas, apakah Pembaca turut dapat berempati dengan permasalahan yang dihadapi individu, tanpa merasa disudutkan oleh yang bersangkutan?
Meskipun bermanfaat, akan tetapi, bagaimana bila perasaan terhambat di dalam diri ini begitu kuat, sehingga kemungkinan besar kita tidak mampu berbicara dengan terus terang kepada orang lain?
Saya pribadi termasuk tipe yang demikian. Solusi yang saya terapkan adalah dengan menuliskan pernyataan asertif yang perlu saya sampaikan.
Menuliskan apa sebetulnya yang saya rasakan langsung berdampak melapangkan sebagian besar kegundahan yang melanda. Perasaan yang semula ruwet dan tidak menentu jadi seperti tertembak jitu tepat di titik pusat sasaran, sehingga pusaran emosi negatif pun menjadi berhenti.
Menuliskan perilaku yang mengganggu, berikut beban berat yang muncul sebagai konsekuensinya, serta perilaku solutif yang bisa mengatasi itu semua, akan menetralisir negativitas dan menciptakan optimisme. Kita menjadi siap dengan solusi untuk menghadapi masalah di depan mata.
Tulisan pernyataan asertif ini kemudian bisa kita baca dan serahkan di dalam doa. Seiring waktu, masalah dengan orang lain pun selesai melalui sikap kita yang legawa selama berinteraksi dengannya, meskipun naskah asertif tidak pernah kita ucapkan kepada yang bersangkutan.
Apakah Pembaca juga pernah mengalami kejadian yang serupa?*** Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H