Seorang ibu merasa sedih terpukul, saat anaknya, yang baru masuk kuliah, menyampaikan berita bahwa ia tidak lulus dalam lima dari delapan mata kuliah yang ada di semester pertama.
Penyebabnya sederhana, yaitu sang anak bangun kesiangan sebanyak dua kali dan memilih main bersama teman daripada masuk kuliah sebanyak satu kali. Namun konsekuensinya ternyata kompleks!
Anak tidak diizinkan meneruskan perkuliahan setelah tiga kali absen oleh dosen salah satu mata kuliah, sehingga ia mendapat nilai E untuk mata kuliah tersebut. Namun celakanya, mata kuliah itu menjadi prasyarat dari keempat mata kuliah yang lain, sehingga meski masih bisa mengikuti perkuliahan sampai akhir di keempat mata kuliah serangkai, nilai akhir keempat mata kuliah serangkai itu tetap terdampak menjadi nilai E. Â Â
Awalnya, ibu mengekspresikan rasa terpukulnya dengan nyerocos seolah-olah menasihati anak dengan ajaran kebaikan. Mendengar bisingnya suara sendiri kemudian membuat ibu tersadar dan ingat kembali dengan anak di hadapannya.
Ibu pun menanyakan bagaimana perasaan anak. Meski anak menjawab "biasa saja", ibu masih lanjut bercerita mengenai kegagalan dari orang yang awalnya sukses, maupun kesuksesan dari orang yang awalnya gagal, dalam rangka meneguhkan anak, bahwa kegagalan yang dialaminya memang tidak apa-apa dan wajar-wajar saja.
Ibu kemudian kembali tersadar bahwa ia sesungguhnya sedang berusaha menguatkan dirinya sendiri yang masih merasa sedih dan terpukul. Namun, ia tidak dapat melakukan apa-apa untuk mengubah kenyataan, selain menghadapinya.
Maka dengan tegas, ibu berkata kepada anaknya: "Keadaan yang kamu alami sekarang ini memang tidak enak. Namun ini adalah pilihanmu sendiri untuk tidak masuk kuliah pada waktu itu. Konsekuensi sekarang adalah satu paket dengan pilihanmu waktu itu. Sebagai ibu, saya selalu mendukung kamu. I love you. Dihadapi saja, meski tidak enak, dan teruslah melangkah maju." Setelah menyatakan penerimaan dan dukungan kasihnya, ibu pun merasa lega.
Omon-omon, bagaimana caranya ibu dalam cerita di atas bisa ikhlas menerima kondisi anak yang tidak sesuai harapan?
Pertama, ibu menumpahkan gerak-gerik pikirannya dalam ucapan. Mendengar kembali ucapan sendiri membuat ibu bercermin dan menemukan bahwa ucapannya belum tepat sasaran.
Maka, ibu pun bertanya. Namun ia masih lebih dikuasai oleh perasaannya sendiri, sehingga lagi-lagi tidak sungguh-sungguh menyimak, melainkan bicaranya tumpah ruah.
Sampai akhirnya, tidak ada lagi tirai kata yang dapat digunakan untuk menutup kesedihannya. Ibu berhadap-hadapan dengan kesedihan yang menguak. Ia berani menyatakan keadaan secara apa adanya. Â Â