Mohon tunggu...
Levianti
Levianti Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog, Dosen Psikologi Universitas Esa Unggul

Suka diam sejenak, refleksi, menulis, dan ngoepi.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Emang Boleh, Memberi untuk Orang Lain dan Merugikan Anak Sendiri?

25 Desember 2023   16:03 Diperbarui: 25 Desember 2023   16:09 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Memberi (https://www.thewoodeneffect.com/)

Pengantar

Tulisan ini diawali dengan sebuah kisah nyata dari seorang anak bernama Dan Clark. Kisahnya kemudian dibagikan oleh Captain Alpha Abraham pada https://www.mylovematters.com/post/the-circus. Kisah tersebut selanjutnya banyak digunakan dalam tulisan-tulisan mengenai "tindakan memberi". Saya sendiri membaca kisahnya dalam modul "Memberi dan Bersyukur", yang disusun oleh Ibu Safitri, untuk digunakan dalam perkuliahan Character Building sesi 11 di Universitas Esa Unggul -- Jakarta.

Tulisan ini merupakan refleksi pribadi atas reaksi batin penulis yang spontan bertentangan dengan respon positif Clark atas tindakan memberi ayahnya (paragraf akhir dalam kisah). Apa yang sedang terjadi saat seseorang kurang setuju dengan tindakan orang tuanya dalam memberi?

Baca juga: Main Jigsaw

Sebuah Episode dalam Hidup Dan Clark

Ada seorang anak berumur belasan tahun bernama Clark, yang pada suatu malam akan menonton sirkus bersama ayahnya. Ketika tiba di loket, Clark dan ayahnya mengantri di belakang serombongan keluarga besar, yang terdiri dari bapak, ibu, dan 8 orang anak. Keluarga itu terlihat bahagia karena dapat menonton sirkus.

Dari pembicaraan mereka yang terdengar oleh Clark dan ayahnya, Clark tahu bahwa Bapak ke-8 anak tadi telah bekerja ekstra untuk dapat mengajak anak-anaknya menonton sirkus malam itu. Namun, ketika sampai di loket dan hendak membayar, wajah bapak 8 anak tadi tampak pucat pasi. Ternyata uang 40 dolar yang telah dikumpulkannya dengan susah payah, tidak cukup untuk membayar tiket bagi 2 orang dewasa dan 8 anak, yang total harganya adalah 60 dolar.

Pasangan suami istri itu pun saling berbisik, bagaimana harus mengatakan kepada anak-anak mereka, bahwa malam itu mereka batal menonton sirkus karena uangnya kurang. Sementara anak-anaknya tampak begitu gembira dan sudah tidak sabar untuk segera masuk ke tenda sirkus.

Tiba-tiba Ayah Clark menyapa bapak 8 anak tadi dan berkata:
"Maaf, Pak, uang ini tadi jatuh dari saku Bapak", sambil menjulurkan lembaran 20 dolar dan mengedipkan sebelah matanya.

Baca juga: Terima Kasih, Ibu!

Bapak 8 anak tadi takjub dengan apa yang dilakukan oleh Ayah Clark. Dengan mata berkaca-kaca, ia menerima uang tadi, mengucapkan terima kasih kepada Ayah Clark, dan menyatakan betapa 20 dolar tadi sangat berarti bagi keluarganya. Tiket seharga 60 dolar pun terbayar, dan dengan riang gembira keluarga besar itupun pun segera masuk ke dalam sirkus.

Setelah rombongan tadi masuk, Clark dan ayahnya segera bergegas pulang. Ya, mereka batal menonton sirkus, karena uang Ayah Clark sudah diberikan kepada Bapak 8 anak tadi. Malam itu, Clark merasa sangat bahagia. Ia memang tidak jadi menyaksikan sirkus, namun ia telah menyaksikan dua orang ayah yang sungguh-sungguh hebat.

Refleksi Penulis

Wahai! Bagaimana remaja Clark dapat langsung ikhlas dengan tindakan memberi yang dilakukan oleh ayahnya, meski itu berakibat merugikan kepentingan dirinya sendiri sebagai anak?

Jujur, penulis sempat merasa marah, saat haknya sebagai anak menjadi berkurang ketika ayah memberikan sebagian harta milik dan waktu hidupnya kepada keluarga barunya.

Apa yang membuat penulis marah dan tidak ikhlas dengan tindakan memberi ayah? Adakah itu perasaan belum cukup dan hasrat ingin menerima lebih dari yang sudah diberi?

Ignasius Loyola (dalam Darminta, 1993) merumuskan tiga dosa pokok manusia sebagai berikut:

  • Dalam keadaan (yang sesungguhnya) penuh rahmat, saya tidak cukup menaruh hormat, dan bersyukur tidak secara penuh, melainkan marah terhadap pemberi rahmat.
  • Dalam keadaan (yang sesungguhnya) penuh rahmat, saya tidak cukup menaruh hormat, dan bersyukur tidak secara penuh, melainkan menginginkan yang lain (yang tidak ada).
  • Dalam keadaan (yang sesungguhnya) penuh rahmat, saya tidak cukup menaruh hormat, dan bersyukur tidak secara penuh, melainkan (ngotot) berusaha untuk memperoleh keinginan saya.

Rumusan ketiga dosa pokok manusia dari Loyola tersebut di atas mengandung satu benang merah. Situasi hidup yang ada di depan mata sesungguhnya berkelimpahan rahmat. Ibaratnya seperti hidup di dalam kerajaan surga pada masa sekarang. Hanya saja, kebanyakan manusia pada umumnya tidak mengalami keberlimpahan rahmat tersebut. Karena sikapnya sendiri yang tidak cukup menaruh hormat terhadap rahmat hidup yang terberi di depan mata, dan bertingkah syukur tidak secara penuh.   

Saat seseorang protes dengan tindakan orang tuanya dalam memberi, yang sedang terjadi adalah ia tidak sadar bahwa ia tidak cukup menaruh hormat dan bersyukur tidak secara penuh atas rahmat terberi di hadapannya. Alih-alih menaruh hormat dan bersyukur, ia bersikap membanding-bandingkan dan menghakimi pemberian rahmat.

Setelah bercermin, dan menyadari bahwa rasa marah penulis yang menggugat tindakan memberi ayah berasal dari ketidaksadaran diri, sikap penghakimannya pun berhenti; Berganti dengan sikap penerimaan. Secara alamiah, penulis pun menaruh hormat atas segala yang ada, dan bersyukur penuh atasnya. Dan spontan muncul semangat untuk belajar ikhlas memberi. Semoga tulisan ini bermanfaat.***

Rujukan:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun