Mohon tunggu...
Levianti
Levianti Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog, Dosen Psikologi Universitas Esa Unggul

Suka diam sejenak, refleksi, menulis, dan ngoepi.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Kepada Sang Guru: Hormaaaat, Grak!

24 November 2023   09:15 Diperbarui: 24 November 2023   10:20 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Kutipan Joaqin Phoenix dalam Rani R Tyas' Journal)

Tanggal 25 November diperingati sebagai hari guru nasional. Peringatan ini ditujukan untuk menghormati jasa guru dalam membangun generasi penerus bangsa (Nugroho, 2023).

Semasa kuliah, ada satu orang guru yang penulis sangat hormati oleh karena integritasnya. Beliau memotivasi: "Bilang A, lakukan A!" Bahkan teladan perbuatannya menunjukkan bahwa beliau tidak bilang A sebelum melakukan A secara signifikan.

Rasa hormat mendorong penulis untuk terbuka menerima dan patuh menjalankan nasihat guru. Salah satu nasihat utama beliau dalam hidup penulis adalah: "Diamlah! Hentikan omong kosongmu yang mendestruksi dunia!"

Baca juga: Dada Kelana

Sikap reaktif penulis pada waktu itu spontan belum sepenuhnya menerima. Bagaimana mungkin kepedulian penulis turut membahas permasalahan sosial malah berdampak merusak lingkungan sekitar?! Batin penulis beriak protes menggugat.

Namun gelombang hormat penulis kepada sang guru berkualitas bulat. Maka pintu hati penulis pun lapang terbuka. Keesokan harinya, penulis mulai berlatih melakukan aksi diam selama sebulan sesuai arahannya.

Tidak langsung berkomentar mengikuti keinginan hati. Tidak membuang sampah kata ke lingkungan untuk melegakan diri sendiri. Tidak usah menghubungi / sebentar-sebentar mencari interaksi. Diam sajalah! Apa pun yang bergejolak, bergemuruh, mendesak kuat, yakin sangat penting diungkap... tetap diam sajalah.

Belum seminggu berdiam diri, manfaatnya sudah terasa. Perasaan lebih tenang. Pikiran lebih jernih. Dampak keberadaan lebih kuat.

Baca juga: Murid

Seperti pada suatu pagi. Penulis sedang berlari seorang diri mengelilingi lapangan pada jalur yang tersedia. Sekelompok pemuda datang. Mereka berdiri dan berbincang di tengah-tengah jalur lari. Penulis melipir dari jalur lari, masuk ke lapangan, lalu kembali ke jalur setelah melewati kelompok pemuda itu.

Baca juga: I N T E G R I T A S

Mereka tidak sadar telah menghalangi jalur lari. Mereka juga mengeluarkan komentar yang tertuju kepada penulis, yang menimbulkan rasa tidak nyaman.

Namun penulis ingat arahan sang guru untuk latihan diam. Maka penulis fokus berlari dalam diam. Meski mereka bertahan menghalangi jalur dan masih berkomentar mengusik. Reaksi pikiran dan perasaan negatif tersalurkan dan kembali netral melalui napas.

Pada waktu penulis mendekati mereka di keliling ketiga, salah satu pemuda mengajak kelompoknya melipir masuk ke lapangan. Mereka melapangkan jalur lari untuk dilalui oleh penulis.

Penulis takjub. Sambil terus berlari dalam diam. Luar biasa dampak dari aksi fokus diam. Alih-alih marah dan reaktif bersolusi palsu.

Pada saat itulah, penulis sungguh sepenuh hati menerima dan baru paham maksud nasihat sang guru. Berhenti bicara destruktif. Mulai berdiam konstruktif. Masih terus penulis pelajari sampai dengan sekarang.        

Sang guru kini menua. Kekuatan fisiknya menurun, namun kelembutan hatinya memuai. Kutipan ini cukup dapat mewakili keadaannya dari sudut pandang penulis.

"Hal terlucu tentang kenyataan menjadi tua adalah: Penglihatan matamu mulai melemah, tetapi kemampuanmu untuk melihat omong kosong orang menjadi jauh lebih baik." (Joaquin Phoenix, dalam Tyas, 2023).

Meskipun semakin bijak, sang guru bukannya tidak pernah keliru. Ada kalanya prediksi/perhitungan beliau dalam diskusi kemudian tidak sesuai kenyataan. Atau beliau menegur dan ternyata kemudian tidak sepenuhnya tepat sasaran. Namun secara garis besar, beliau terpercaya. Oleh karena integritasnya yang tak lekang oleh waktu.

Rasa hormat kepadanya utuh. Termasuk memberi tempat untuk kekeliruan sang guru. Beliau sesama manusia. Boleh salah. Apalagi itu tidak beliau sengaja. Tanpa sedikit pun mengurangi rasa hormat kepadanya.    

Rasa hormat murid kepada guru membuat pengajaran guru efektif mengembangkan murid. Rasa hormat murid kepada guru adalah buah dari integritas guru. Bilang A, lakukan A. Tidak mengajarkan A kepada orang lain, sebelum diri sendiri mampu melakukan A secara adekuat.

Kepada sang guru: hormaaaat, grak!***

 

Referensi:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun