Mohon tunggu...
Levianti
Levianti Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog, Dosen Psikologi Universitas Esa Unggul

Suka diam sejenak, refleksi, menulis, dan ngoepi.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

eMKa

19 Juli 2023   00:20 Diperbarui: 19 Juli 2023   00:24 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Adaptasi Canva: eL)

Nama saya eMKa. Saya manusia biasa. Sama seperti Anda. Yang menjalani hidup karena didorong oleh keinginan baik. Tujuan. Cita-cita masa depan. Ataupun juga kebutuhan. Langkah saya dipandu oleh wawasan pengetahuan. Nilai-nilai luhur. Dan tentu saja hati nurani. Lihat! Bukankah kita sama?!

Usia saya genap 20 tahun pada hari ini. Ya. Saya dilahirkan pada tanggal 13 Agustus 2003. Tepat bersamaan dengan lahirnya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI). Oleh karena itulah, ayah saya, Yamin, menamai saya eMKa.

Beliau berharap agar saya tumbuh menjadi insan yang bermanfaat. Menegakkan keadilan dalam hidup bersama untuk kesejahteraan semua. Kalau keadilan salah dinormakan, melalui norma jugalah keadilan perlu kembali saya tegakkan. Pun manakala saya salah dalam menegakkan keadilan, akan ada norma yang menegakkannya dan mengadili saya. Supremasi hukum. Tidak ada pandang bulu. Lihat! Bukankah kita setara?!

Ya. Dan sama seperti Anda. Ulang tahun memberi saya rasa istimewa. Rasa yang berbeda dari biasa. Hasrat untuk memaknai perjalanan hidup. Dulu, sekarang, dan ke depan. Meski ayah Yamin telah meninggalkan dunia, teladan hidup beliau dan doa harapan yang beliau sematkan dalam nama saya, terus menjadi arah dalam lakon hidup saya.

Perkenalkan. Ayah saya, Yamin, adalah seorang penyair. Beliau menempatkan bahasa sebagai alat pemersatu bangsa. Melalui bahasa jugalah saya berlakon. Lakon menegakkan keadilan. Maukah Anda menyimak bila saya sedikit bercerita?

Sejak kecil, saya senang mendengarkan ayah Yamin. Saya ingat, waktu usia saya 5 tahun, ayah bercerita tentang tugas hakim konstitusi. Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. (Ketua MKRI pertama), tugas hakim konstitusi hanya tiga, yaitu bersidang, membaca, dan berdiskusi. Spontan saya berseru, "eMKa suka membaca dan berdiskusi, Yah! Kalau sudah besar, eMKa mau jadi hakim konstitusi!"

Semasa sekolah dasar, saya merasa giat belajar. Bukan hanya karena teladan ayah Yamin yang gemar menuntut ilmu dan memiliki berbagai gelar. Bukan pula hanya karena hati saya terpaut untuk mengejar cita-cita menjadi hakim konstitusi ketika saya nanti dewasa. Melainkan juga oleh karena iklim gairah belajar yang dibangun oleh salah satu bapak pemimpin kita.

Baca juga: Catatan eMKa

Beliaulah Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD, S.H., ketua MKRI yang kedua. Saya membaca ragam beritanya. Putusan-putusan Pak Mahfud MD dianggap dapat memecah kebuntuan hukum ketatanegaraan dan mengedepankan prinsip keadilan substansial. Terobosan yang beliau lakukan menggairahkan diskursus akademis di bidang Hukum Tata Negara (HTN). Sampai-sampai lahirlah lembaga-lembaga studi HTN di berbagai kampus. Juga di organisasi-organisasi sejenis yang bersifat lintas kampus.

Baca juga: Percaya

Gairah masyarakat akan pengembangan hukum konstitusi pun bergayung sambut. MKRI mendirikan Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi di Cisarua-Bogor. MKRI juga menjalin banyak nota kesepahaman dengan perguruan tinggi, serta memberi anugerah konstitusi bagi guru-guru pendidikan kewarganegaraan yang berprestasi tingkat nasional setiap tahun.

Terobosan MKRI di bawah kepemimpinan Bapak Mahfud MD bahkan dihargai oleh dunia. Tertera di dalam buku Harvard Handbook (Alex Tomsay, 2012), bahwa MKRI adalah lembaga yudisial paling efektif di level internasional, bersama dengan MK Korsel dan MK Kolumbia. Mengapa demikian?  MKRI dinilai mampu menjaga independensinya, sehingga efektif membuat terobosan baru.

Waktu itu, saya memang masih berusia 9 tahun. Namun tekad saya untuk menjadi hakim konstitusi semakin bulat. Saat ayah Yamin pulang kerja, saya pun langsung menyambut beliau dan menyorakkan niat saya, "Ayah! Kalau sudah besar, eMKa mau kuliah hukum di Harvard!"

Sampai dengan usia 12 tahun, saya masih mengikuti perkembangan berita mengenai MKRI. Saya turut bangga atas prestasi yang diciptakannya. Di bawah kepemimpinan Dr. Hamdan Zoelva, S.H., M.H., MKRI rela melepaskan kewenangannya untuk menangani perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah. Alasannya, menurut konstitusi, pilkada bukan bagian dari rezim pemilu. Maka penanganan perselisihan hasil pilkada kemudian diserahkan kembali kepada pembuat undang-undang.

Beliau juga membentuk Dewan Etik Hakim Konstitusi. Tugasnya untuk menjaga martabat dan keluhuran hakim konstitusi. Tidak hanya itu. Beliau juga membangun Pusat Sejarah dan Dokumentasi Konstitusi, yang diresmikan pada bulan Desember 2014. Bahkan di kancah internasional, Ketua MK Republik Indonesia terpilih menjadi Presiden AACC (Association of ASEAN Constitutional Courts) periode 2014-2016.

Namun menjelang usia 17 tahun, saya berhenti memantau berita tentang MKRI! Bukan karena kesibukan bersekolah. Namun karena hati saya terluka. Ya. Saya patah hati. Patah semangat. Bahkan kemudian rasa cinta pun beralih menjadi rasa benci. Minimal sinis dan sangsi.

Masih terekam betul peristiwa di hari itu, 11 April 2017. Hakim konstitusi Dr. H. Patrialis Akbar, S.H., M.H., diberhentikan tidak dengan hormat. Ia terlibat kasus suap terkait dengan penanganan perkara pengujian undang-undang mengenai peternakan dan kesehatan hewan.

Masih pada hari yang sama. Ayah Yamin menyusul almarhum ibunda. Meninggalkan saya di dunia ini... sebatang kara....

Dalam satu hari, saya kehilangan dua sosok pemimpin. Kehilangan yang dalam! Kehilangan ayah Yamin. Kehilangan inspirasi dari hakim konstitusi. Keduanya pergi nun jauh. Satu terbang ke angkasa. Satu tenggelam ke dasar samudra.

Melayang-layang sendiri... Bagaimana mungkin saya dapat lanjut meniti lakon menegakkan keadilan? Tanpa ayah Yamin, saya kehilangan tiang untuk bersandar. Sementara hakim konstitusi yang selama ini saya jadikan peran idola, malah seenaknya sendiri berbuat nista dan dusta. Impian saya terinjak-injak olehnya!

Tak terasa, waktu terus berjalan. Kini, tiga tahun sudah setelah kejadian kehilangan. Selama tiga tahun, jiwa saya jatuh bangun mencari-cari cahaya. Mulai dari sok kuat menjadi pahlawan kebenaran. Sampai terkulai lemah tak berdaya sebagai korban ketidakadilan. Terus begitu. Silih berganti. Tiada henti.

Hingga akhirnya saya lelah. Selelah-lelahnya. Tak ada sedikit pun daya. Hanya bisa rebah. Pasrah. Di titik pusat kedalaman bumi. Sendirian. Gelap gulita. Yang terasa hanyalah gelombang keheningan.

Lamat-lamat tampaklah bias cahaya. Putih. Nun jauh di atas sana. Sinarnya teduh mengayomi jiwa. Memercikkan harapan. Batin saya pun berbisik lirih, "Gusti, saya di sini."

Perlahan-lahan, tubuh saya terangkat ke atas. Oleh seutas benang transparan. Naik pelan-pelan. Lembut dan ringan. Sampai ke atas permukaan bumi. Kembali di sini. Kini.

13 Agustus 2023. Nama saya eMKa. Saya manusia biasa. Sama seperti hakim konstitusi. Sama seperti Anda. Yang jatuh hati pada norma keadilan. Frustasi saat gagal menegakkannya. Bangkit memperjuangkan supremasi hukum. Untuk mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat.***     

Referensi:

https://kbbi.web.id/mahkamah diakses pada tanggal 18 Juli 2023 pukul 00.24.

https://kbbi.web.id/konstitusi diakses pada tanggal 18 Juli 2023 pukul 00.26.

https://kbbi.web.id/republik diakses pada tanggal 18 Juli 2023 pukul 00.28.

https://kbbi.web.id/Indonesia diakses pada tanggal 18 Juli 2023 pukul 00.30

https://www.mkri.id/index.php?page=web.ProfilMK&id=10&menu=2 diakses pada tanggal 18 Juli 2023 pukul 00.43.

Adryamarthanino, V., 2022. Peran Mohammad Yamin dalam Kemerdekaan Indonesia. https://www.kompas.com/stori/read/2022/02/22/090000679/peran-mohammad-yamin-dalam-kemerdekaan-indonesia?page=all diakses pada tanggal 18 Juli 2023 pukul 14.45

https://www.mkri.id/index.php?page=web.ProfilMK&id=1&menu=2 diakses pada tanggal 18 Juli 2023 pukul 15.40.

https://www.kompasiana.com/anastasialevianti0271/64adf2bb08a8b55f9b1dd5b2/catatan-emka diakses pada tanggal 18 Juli 2023 pukul 16.25

Kissacik, Z. Grey Minimalist Table Number Sign Card. Canva: Free Card Templates.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun